PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN DG RU-YATUL HILAL
Penetapan Awal
dan Akhir Ramadhan Dengan Ru’yatul Hilal
Sebagai
bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan
kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir
selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan
mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di
tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi
perbedaan tersebut?
Sabab Pelaksanaan
Puasa: Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang
wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR
al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu
Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya,
puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya
ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan
adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang
tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth,
al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah
wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu
hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl
merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan
tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan
Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah
Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian
karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).
Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari
no. 1776 dari Abu Hurairah).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu
melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka
berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ
غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh
bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu
Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah
kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya
menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no.
1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ
ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali
seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian
berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan
satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i
1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih
kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى
تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا
لَهُ
Sesungguhnya
bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung
menutupi kalian, maka perkirakanlah.”
(HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no.
2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan
bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam
al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat
hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan
Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan
ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan
menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap
dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li
ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian
ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3]
Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ
بِصِيَامِهِ
Orang-orang
melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya
melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk
berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi
no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw
berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu
Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat
diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang
seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya
telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak
ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah
Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai
Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu
Hiban).
Dalam Hadits tersebut dikisahkan,
Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah.
Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia
adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya
kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan
yang mempertanyakan keislamannya
Tidak Terikat
dengan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’
(tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu
kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah
bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius
itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat
daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada
Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ
فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ
رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟
فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟
فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ :
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ
ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ
وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl
telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku
memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan
tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat.
Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas
lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan
kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia
bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan
orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia
berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami
terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga
kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada
ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah
Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.
( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084;
Ahmad no. 2653).
Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini
dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena
perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat
ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini
tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya,
perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah
Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai
Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu,
kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan “Lâ,
hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan
Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni
terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali
puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah
melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas,
mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian
keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka
ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang
pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw
dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas
atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga
perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus
ini?”
Di sinilah letak syubhat Hadits ini,
apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa
membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang
sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari
Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw
memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya
orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai
Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas
suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi
jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa
perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian
yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian
ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu
Abbas.[4]
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim
diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk
dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas
tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya
tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]
Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti
ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa
jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka
diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah
dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan
mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga
tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan
Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang
diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’.
Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah
dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak
mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh
al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim.
Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua
batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka
Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan
penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan
awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang
jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah
disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih
diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari
Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu
Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak
diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا
ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu
‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian
berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena
melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga
puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu
Hibban no. 2301)
Juga Hadits-hadits lainnya yang
tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim
diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua
perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits
itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah,
berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah
seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum
untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang
Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi
(karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism
al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata
ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7]
yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada
yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu
mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal
Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka
ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka,
tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau
negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda
beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa
menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb
(seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu
telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal,
maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri
itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat
yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat
bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh
negeri-negeri yang lain.”[8]
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna
dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara
kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi
semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan
oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’.
Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا
فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ
يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan
Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada
keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke
Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah
melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum
Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya
(HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu
Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah
mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang
berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada
serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah
melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari
sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ
يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ
نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا
بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke
Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan,
perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah
hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya
berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata,
“Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada
orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut, Rasulullah
saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’
yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung
memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu
adalah seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi
tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya
perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari
kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya
perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10]
Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan
ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut
jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’).
Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas
seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum
mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di
tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila
ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain
juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara
negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang
telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa.
Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak.
Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para
pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah
hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk
yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di
antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya
kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak
wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut
madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim–
apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu
sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa
berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu
datangnya terlambat.”[13]
Tentang pendapat madzhab Hanafi,
Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat
dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum
dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua
Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah),
jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab
Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat,
maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki,
seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh
seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat
negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham
(khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh
negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum
Muslim” [16]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’
al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak
digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi
dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti
Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if)
karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila
seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat
maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal
pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu
yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]
Jelaslah, menurut pendapat yang
rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh
melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang
berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun
dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah
tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang
muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di
negeri yang lain.
Akibat
Nasionalisme dan Garis Batas Nation State
Patut digarisbawahi, perbedaan awal
dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan
disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu.
Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh
fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan
adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada
pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak
harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas
begara.
Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan
mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah
negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang
memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan
akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya
mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah
negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan
kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu
terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di
sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal
atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri
masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri
puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.
Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa
bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara
kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim
di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini
sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat
dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak
ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah.
Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan
oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah
Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak
kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara
kecil.
Khatimah
Perbedaan awal dan akhir puasa di
negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim.
Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di
samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk
nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah
sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah
Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah
inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh
negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Karena itu, solusi mendasar yang
benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin tersebut
sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan
sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan
kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah,
mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan menerapkan
syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama
khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat
manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina.
Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslimin
hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan
mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah
bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan
melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
WaLlâh a’lam bi
al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).
[3] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh,
28; Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
Komentar
Posting Komentar