KRITIK ISLAM TERHADAP UUD 1945



         

         

                                Kritik terhadap UUD 45 yang sekarang dalam pembahasan secara intensif untuk amandemen, dibuat semata untuk menunjukkan bahwa undang-undang dasar yang selama ini telah diterima begitu saja (taken for granted) bahkan selama lebih dari 30 tahun cenderung dikeramatkan, sesungguhnya mengandung kelemahan bahkan kesalahan yang sangat  mendasar bila dilihat dari kacamata Islam. Kesalahan mendasar ini wajar terjadi mengingat memang sejak dari awal undang-undang dasar ini memang tidak dibuat dalam kerangka sistem Islam.
                                Setelah sekian puluh tahun berlalu semenjak diundangkan, kelemahan dan kesalahan mendasar dari Undang Undang Dasar itu semakin terlihat dan ternyata memberikan pengaruh buruk yang sangat nyata di tengah masyarakat. Undang-undang yang dibuat semestinya untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tercipta masyarakat yang adil, damai dan sejahtera, yang terjadi justru sebaliknya. Berbagai krisis, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan terus menerus terjadi dan datang silih berganti, bahkan bersamaan seperti yang sekarang tengah berlangsung. Akhirnya, bukan masyarakat adil, damai dan sejahtera yang terbentuk, melainkan masyarakat yang sarat dengan kesenjangan, ketidak adilan dan ketidaknyamanan serta ketidakamanan.
                                Untuk itu diperlukan  perombakan bahkan pergantian, bukan sekadar amandemen atau perbaikan karena istilah amandemen mengandung arti sebagai suatu perubahan yang bersifat modifikatif tanpa meninggalkan bangunan dasarnya, dari Undang Undang Dasar 45 itu agar bisa didapat sebuah undang undang baru yang  sesuai dengan prinsip religiusitas bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Berangkat dari pemikiran itulah maka Hizbut Tahrir Indonesia mengajukan dua naskah, yakni Kritik Undang Undang Dasar 45 yang berisi kritik dalam perspektif Islam terhadap UUD 45, dan Rancangan Undang Undang Dasar Islam.  Harapannya, semua itu bisa memberikan pencerahan kepada umat dan selanjutnya  terus diperjuangkan  oleh seluruh komponen umat baik para ulama, cendekiawan, polisi dan tentara, kaum profesional, buruh, tani, pemuda, pelajar dan sebagainya, lebih khusus para anggota parlemen yang beragama Islam yang bertanggungjawab atas setiap perundangan yang terlahir di negeri ini, sehingga akhirnya dapat diujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Insya Allah.

Wassalam

Pimpinan Pusat
Hizbut Tahrir Indonesia


Muhammad Ismail Yusanto 
HP: 0811-119697

 


         


       

Kata Pengantar ...........................................................................................................     1

Daftar Isi .......................................................................................................................     2


Pendahuluan ...............................................................................................................     4

 

Kritik Islam Terhadap UUD 1945 ............................................................................     8

Bab I Bentuk dan Kedaulatan .................................................................................     8

Bab II Majelis Permusyawaratan .............................................................................     8

Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara .................................................................     9

Bab XIII Pendidikan ...............................................................................................    23

Bab IV Kesejahteraan Sosial ..................................................................................    24

Bab XV Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan ..................    24



         

       




          PENDAHULUAN

Undang-undang Dasar sebuah negara merupakan sumber hukum terpenting, dan menjadi landasan hukum utama bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Undang-undang Dasar juga menghimpun seluruh mekanisme kerja sebuah negara, baik menyangkut hubungan antara rakyatnya, antara penguasa dan rakyatnya, antara lembaga-lembaga negara, dan antara institusi negara dengan negara lainnya.  Lebih dari itu Undang-undang Dasar merupakan penterjemahan secara umum namun praktis dari sebuah ideologi atau pandangan hidup tertentu, yang menjadi dasar/asas dari Undang-undang Dasar.
             Oleh karena itu, shahih tidaknya sebuah Undang-undang Dasar amat ditentukan oleh shahih tidaknya ideologi atau pandangan hidup yang menjadi landasannya.  Sama halnya dengan lurus tidaknya kehidupan masyarakat, kehidupan penguasa, hubungan diantara keduanya, dan interaksi negara tersebut dengan negara lain, amat ditentukan oleh shahih tidaknya muatan dari Undang-undang Dasar.
             Berdasarkan hal ini, maka kami Hizbut Tahrir Indonesia menyampaikan kritik terhadap Undang-undang Dasar 1945, sekaligus menyampaikan rancangan Undang-undang Dasar Islam (Dustûr Islâm).

1.        Undang-undang Dasar 1945 adalah produk akal manusia, sedangkan Undang-undang Dasar Islam merujuk kepada Wahyu Allah Swt dan tuntunan Sunnah Rasulullah saw.
      Undang-undang Dasar 1945 disusun berdasarkan kondisi masyarakat, kondisi politik dan keterbatasan akal para penyusunnya. Disamping itu juga sarat dengan berbagai kepentingan yang muncul saat itu dari para penyusunnya tersebut.  Adanya keterbatasan, kontradiksi antara peringkat hukum maupun antara butir-butirnya, berbagai persepsi yang tak berkesudahan dan munculnya berbagai kepentingan saat itu merupakan konsekwensi logis dari sebuah Undang-undang Dasar yang merujuk pada pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki tolok ukur sama dalam benar dan salah.  Islam mengkritisi hal itu dalam firman Allah Swt:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
      “Apakah (sistem) hukum Jahiliyah (yang bukan Islam) yang mereka kehendaki.  Dan (sistem) hukum siapakah yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”   (TQS. Al-Maidah [5]: 50)

Islam adalah sebuah ‘ideologi’ yang tidak memiliki cacat maupun kelemahan, karena berasal dari Al-Khaliq (Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta), yang memiliki Pengetahuan tanpa batas, Keadilan tanpa cela, dan tidak membutuhkan sesuatu apapun dari manusia maupun makhluk-makhluk-Nya.  Fakta seperti ini cukup menjadi alasan bagi kita bahwa standardisasi/tolok ukur benar salah yang hakiki adalah benar salah menurut ‘ideologi’ Islam.

2.     Undang-undang Dasar 1945 berlandaskan ideologi sekular yang tidak jelas.
      Undang-undang Dasar 1945 berlandaskan pada ideologi Pancasila.  Meskipun pada butir pertama diletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi Pancasila tidak menjelaskan peran agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Hal ini berakibat pada ketidakjelasan konsep negara. Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekular, tidak termasuk  negara Komunis, lalu termasuk negara apa?
Ketidakjelasan konsep ini berimplikasi sangat luas, sehingga berakibat pada ketidakjelasan konsep-konsep lainnya.  Seperti konsep ekonomi, konsep politik dalam negeri, konsep politik luar negeri, konsep pendidikan, konsep peradilan dan hukum, konsep pertahanan dan militer, konsep kehidupan sosial kemasyarakatan dan sejenisnya. Apabila pada tataran konsep masih belum jelas, maka pada tataran praktis akan muncul kesimpangsiuran dan kerusakan fatal.  Pada akhirnya negara yang tidak memiliki ideologi atau lemah ideologinya pasti akan membebek terhadap negara lain yang memiliki ideologi kuat.  

3.     Undang-undang Dasar 1945 berlandaskan pada kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan Islam menjadikan kedaulatan itu di tangan Allah Swt.
Meletakkan kedaulatan ada di tangan rakyat bertentangan dengan konsep Islam yang menjadikan kedaulatan itu berada di tangan Syara’ (Allah Swt). Firman-Nya:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“(Hak) Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS. Al An’am [6]: 57)

أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ

“Ketahuilah, bahwa (hak menetapkan) hukum itu kepunyaan Allah. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (TQS. Al-An’am [6]: 62)

Apabila wewenang menetapkan hukum berada di tangan manusia, maka akan muncul kontradiksi, perubahan-perubahan hukum, dan hancurnya pilar-pilar hukum. Yang haram menjadi halal. Yang halal menjadi haram. Al-Quran menyebut produk-produk hukum buatan manusia itu sebagai hukum thaghut. Al-Quran menyebut pula para pembuat hukum dan perundang-undangan sebagai thaghut. Firman Allah Swt:

يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

“Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (TQS. An-Nisa [4]: 60)

Al-Quran bahkan memberikan sifat kepada mereka yang membuat-buat hukum –dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal- sebagai orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah. Firman Allah Swt:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)

Mendengar ayat tersebut Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah saw:
“Sesungguhnya mereka tidaklah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib itu, wahai Rasulullah.”



Maka Rasulullah saw menjawab:
“Tidak demikian, sesungguhnya orang-orang alim dan rahib-rahib itu mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram atas mereka. Lalu mereka mengikutinya.  Itulah bentuk penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Jadi, siapapun yang menetapkan suatu hukum dengan memutuskan kehalalan dan keharaman sesuatu tanpa seijin atau tanpa merujuk kepada Allah Swt, berarti ia telah melanggar batas yang ditetapkan Allah Swt, sekaligus telah mengangkat dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang mengikutinya telah menjadikan ia sebagai tuhan selain Allah!  Dengan demikian, manusia sama sekali tidak memiliki hak membuat hukum. Segala sesuatu yang akan diundang-undangkan, yang akan mengatur segala urusan rakyat, mengatur hubungan rakyat dan penguasa, mengatur lembaga-lembaga tinggi negara, dan mengatur hubungan institusi negara dengan negara lain harus diambil (argumentasinya) dari Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya.  Jika tidak, maka Al-Quran menggolongkannya ke dalam kelompok orang-orang kafir, zhalim dan fasik.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial, ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”(TQS. Al-Maidah [5]: 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial, ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang zhalim.”(TQS. Al-Maidah [5]: 45).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial, ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.”(TQS. Al-Maidah [5]: 47).



Naskah Lengkap UUD 1945
Dikoreksi Dengan Sistem Islam
Argumentasi
BAB I  BENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1 (1)
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.

Pasal 1 (1)
Negara Islam memang berbentuk kesatuan, tetapi pemerintahannya berbentuk kekhilafahan, karena pemerintahan republik hanya ada dalam sistem  demokrasi, sementara demokrasi sendiri tidak dikenal dalam Islam. Bentuk negara juga bukan federasi atau semi-federasi (dengan adanya desentralisasi atau otonomi daerah), karena desentralisasi hanya dibenarkan dalam konteks administrasinya saja.

Sabda rasulullah saw. : « Adalah Bani Israil dahulu selalu urusan pemerintahan mereka dipelihara oleh para Nabi.  Setiap seorang Nabi meninggal, dia digantikan oleh seorang Nabi lagi.  Dan sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku (yang akan memegang urusan pemerintahan kalian), yang ada hanyalah para khalifah… »
« Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang kedua (jika tidak mau melepas bai"atnya, atau klaimnya sebagai khalifah) »

Pasal 1 (2)
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

Pasal 1 (2)
Kedaulatan hanya ada di tangan Syari‘at Allah  (Al-Quran dan Sunnah), sementara rakyat hanyalah pemilik kekuasaan, yang kemudian memberikannya kepada khalifah. Kekuasaan khalifah, dengan demikian, dibatasi oleh syariat. Sementara itu, keberadaan MPR dengan seluruh kewenangannya di bidang legislasi, sebagaimana lazimnya dalam sistem demokrasi, tidak dibenarkan. Yang dibenarkan adalah adanya Majelis Umat dengan fungsi dan wewenang yang jauh berbeda dengan MPR.  Majelis Umat memang berhak untuk mencalonkan dan atau mengangkat khalifah, tapi tidak berhak untuk menurunkannya, atau membatasi masa jabatannya.
Tugas dan fungsi Majelis setelah itu, lebih pada penyaluran aspirasi umat dalam hal-hal yang mubah/teknis—bukan dalam wilayah yang telah jelas hukumnya—dan menyampaikan koreksi/kritik kepada penguasa dalam hal implementasi hukum atau kebijakan pengurusan rakyat. 

« Sesungguhnya hak menetapkan hukum itu adalah pada Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. »(TQS. Al An’am [6] :57)
BAB II  MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Pasal 2 (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 2 (1)
Majelis umat terdiri dari sejumlah wakil rakyat dari berbagai elemen yang ada di masyarakat tanpa membedakan aspek agama, jenis kelamin, etnisititas, golongan, atau mazhab. Syaratnya, harus orang yang berakal sehat dan sudah balig. Hanya saja, keanggotaan orang-orang non-Muslim terbatas pada hal pengaduan kezaliman penguasa, atau buruknya penerapan syariat Islam.

Ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah Rasulullah Saw. dan ijma shahabat.

Pasal 2 (2)

-


Pasal 2 (3)

-








Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar haluan negara

Pasal 3
Majelis Umat sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan UUD dan GBHN, karena yang berhak untuk itu hanyalah khalifah.


Ditetapkan berdasarkan ijma shahabat

BAB III KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA


Pasal 4 (1)
Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Pasal 4 (1)
Kepala Negara memegang kekuasaan pemerintahan tidak berdasarkan UUD yang tidak berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ia berhak memegang kekuasaan pemerintahan hanya jika UUD-nya bersumber dari al-Quran dan Sunnah.


« … dan hendaknya kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya (penguasa) kecuali setelah kalian menyaksikan kekufuran yang nyata. »(al hadits)


Pasal 4 (2)
Dalam melakukan kewajib-annya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.


Kepala Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu oleh seorang Mu’awin Tafwidl, sementara dalam tugas administrasi dibantu oleh Mu’awin Tanfidz, seorang atau lebih. Kedua-duanya haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah harus muslim dan pria dan tentunya kapabel.


Ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah Rasulullah Saw. dan ijma shahabat


Pasal 5 (1)
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan perwakilan Rakyat.



Pasal 5 (1)
Kepala negara (khalifah) bukan hanya berhak, tetapi satu-satunya pihak yang berwenang dalam melegislasi hukum (baca: syariat Islam) yang digali dari sumber-sumber hukum Islam, tanpa harus mengajukan apalagi meminta persetujuan kepada Majelis Umat.


Ditetapkan berdasarkan ijma shahabat.


Pasal 5 (2)
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.


-



Pasal 6 (1)
Presiden ialah orang Indonesia asli.

Pasal 6 (1)
Kepala negara (khalifah) tidak harus orang Indonesia asli, karena Islam tidak membeda-bedakan orang dari segi etnisitas. Yang paling penting, kepala negara harus seorang Muslim dan harus laki-laki, mampu mengemban tugas, serta memenuhi sejumlah syarat lain sebagaimana ditetapkan di dalam syarat-syarat kepala negara.

« Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang ‘Ajam (non-Arab), dan tidak ada kelebihan orang ‘Ajam atas orang Arab. »(al hadits)





Pasal 6 (2)
Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.


Kepala negara diangkat dengan bai’at in’iqad atau baiat pengangkatan oleh kaum muslimin atau yang mewakili mereka, seperti ahlul ahli wal aqdi atau Majelis Umat. Sementara itu Mu’awin khalifah, baik tafwidl atau tanfidz diangkat oleh khalifah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ dan dengan sendirinya gugur jabatannya apabila khalifah gugur dari jabatannya.


Hal ini ditetapkan berdasarkan ijma shahabat, di antaranya ketika Rasulullah saw. wafat para sahabat untuk melakukan pemilihan. Tidak langsung mengangkat Abu Bakar atau Umar sebagai kepala negara menggantikan Rasulullah saw.

Pasal 7
Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Pasal 7
Jabatan kepala negara (khalifah) tidak dibatasi oleh waktu, tetapi oleh syariat. Artinya, selama kepala negara menjalankan syariat Islam, ia berhak untuk tetap memegang jabatannya itu, meskipun seumur hidupnya. Sebaliknya, kepala negara tidak berhak, bahkan wajib dipecat, meskipun baru menjabat kekhalifahan  beberapa hari saja, jika telah nyata-nyata melakukan pelanggaran berat terhadap syariat Islam, sehingga terbukti melakukan—sebagaimana istilah Nabi saw.—kekufuran yang nyata (kufran bawahan), seperti mencampakkan syariat Islam, dan sebaliknya, memberlakukan hukum-hukum non-Islam.


« … dan hendaknya kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya (penguasa) kecuali setelah kalian menyaksikan kekufuran yang nyata. »(al hadits)

Pasal 8
Jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya.

Pasal 8
Jika kepala negara (khalifah) mangkat, berhenti (diberhentikan), atau tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia tidak secara otomatis diganti oleh wakil (mu'awwin)-nya. Bahkan mu’awin itu secara otomatis gugur dari jabatannya. Dan selanjutnya segera dilakukan pemilihan kepala negara (khalifah) yang baru.


Hal ini ditetapkan berdasarkan ijma shahabat, di antaranya ketika Rasulullah saw. wafat para sahabat berkumpul untuk melakukan pemilihan. Tidak langsung mengangkat Abu Bakar atau Umar sebagai kepala negara menggantikan Rasulullah saw.

Pasal 9
1.  Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sung­guh di hadapan Maje­lis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

2.  Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 9
Kepala negara (khalifah) dibaiat oleh umat tidak dalam rangka memegang teguh UUD dan menjalankan UU buatan manusia, tetapi untuk memegang teguh UUD dan menjalankan UU yang memang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.


Secara umum kaum muslimin diminta untuk berpegang teguh kepada Sunnah rasul dan para khulafaur rasyidin (al hadits).
Tatkala pembaiatan Utsman sebagai kepala negara oleh Abdurrahman bin Auf (sebagai kepala pemilihan khalifah), Abdurrahman berkata : « Maukah anda saya baiat atas kitabullah dan sunnah rasul, serta berpegang teguh terhadap kebijakan (ijtihad) dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar dan Umar? » 
«Abdullah bin Umar ketika membaiat Abdul Malik bin Marwan, seorang Khalifah dari kalangan Bani Umayyah menulis surat sbb : Aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar Kitabullah dan Sunnah rasul dalam hal yang aku mampu ».


Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara


-







Pasal 11
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.


Kebijakan perang, perdamaian dan hubungan dengan negara lain sepenuhnya berada di tangan kepala negara/khalifah tanpa perlu persetujuan dari pihak manapun, termasuk Majlis Ummah. Hal ini dikarenakan hukum Syara’ telah meletakkan kekuasaan atas hal-hal tersebut sepenuhnya di tangan khalifah.
Seluruh hubungan internasional yang ditetapkan oleh khalifah tidaklah berdasarkan asas manfaat, melainkan atas ketentuan hk. Syara’, yakni demi terlaksananya aktivitas penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad.
Selain itu negara Islam pun diperbolehkan melakukan hubungan Internasional dengan negara kafir harbi hukman demi kemasla­hatan kaum muslimin – semisal hubungan ekonomi dan alih teknologi – dengan tanpa mengabaikan ketentuan syari’at, diantara­nya hubungan tersebut tidak berlangsung permanen, akan tetapi maks. 10 tahun.


Demikian pula dari sunnah fi’liyyah Rasulullah saw. diketahui bahwa beliaulah – sebagai kepala negara – sebagai satu-satunya pihak yang menyelenggarakan hal-hal tersebut di atas – diantaranya dapat dilihat pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyyah --. Demikian pula ijma shahabat telah menetapkan hal tersebut.

Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan undang-undang.


Keadaan bahaya ditetapkan oleh khalifah berdasarkan pandangan dan ijtihad khalifah atas nash-nash syara dan realitas demi kemaslahatan umat, baik karena adanya serangan, pengkhianatan, atau dugaan telah terjadi pengkhianatan.


Firman Allah Ta’ala:
“Jika kalian khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan maka kembalikanlah (perjanjian tersebut) dengan cara yang jujur.”(TQS. Al Anfal [8]:58)

Pasal 13
1. Presiden mengangkat duta dan konsul
2. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan pertimbangan DPR


Dalam mengangkat duta dan konsul, serta menerima penempatan duta negara lain, seorang kepala negara dapat saja meminta pertimbangan Majlis Ummah, akan tetapi pendapat mereka dalam hal ini tidaklah mengikat. Pertimbangan dalam mengangkat duta dan konsul adalah demi dakwah Islam dan kemaslahatan kaum muslimin dengan memperhatikan status negara yang bersangkutan. Pada negara kafir harbi fi’lan maka hubungan yang terjalin hanyalah jihad, tidak yang lain. Dengan demikian khalifah harus menolak penempatan duta-duta mereka.


Firman Allah Ta’ala:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.”(TQS. Al Baqarah [2]:190)

Pasal 14
1.Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memper­hatikan pertim­bangan Mahkamah Agung.
2 Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhati­kan pertimbangan Dewan Pertimbangan  Agung


Keputusan seorang Qadli/hakim dalam pengadilan tidak dapat dibatalkan oleh siapapun, termasuk oleh khalifah. Karena keputusan tersebut adalah hukum Allah yang mengikat pihak-pihak yang terlibat di pengadilan.


Hal ini dapat dilihat pada peristiwa yang melibatkan Usamah bin Zaid yang meminta grasi atas hukum potong tangan bagi seorang wanita pencuri dari kalangan bangsawan akan tetapi Rasulullah Saw. menolaknya dengan keras.

Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang


-


-

Pasal 16
1.  Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.
2.  Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.

Rumusan yang baru:
Dewan Pertimbangan Agung terdiri dari para anggota yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas dasar integritas pribadi, wawasan kebangsaan, ketokohan dalam masyarakat serta sejarah pengabdiannya kepada negara dan bangsa.


Khalifah dapat melakukan konsultasi dalam berbagai urusan pemerintahan dengan pihak manapun yang berkompeten dalam masalah-masalah tersebut – mujtahid atau para pakar --. Tetapi keputusan tersebut tidak diambil berdasarkan suara terbanyak – seperti sebuah dewan --melainkan atas pendapat yang diyakini kebenarannya.

Setiap warga negara berhak mengajukan usulan kepada khalifah selama dalam koridor syar’iy.


Hal ini terlihat dari sunnah fi’liyyah Rasulullah Saw. di antaranya yang terjadi pada perang Badar dimana beliau cukup mengambil pendapat dari Khubab bin Mundzir ra. tanpa melibatkan seluruh anggota pasukan Muslim.

Pasal 17
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.


1. Kepala negara/khalifah dibantu oleh seorang Mu’awin tafwid dalam urusan pemerintahan dan Mu’awin tanfidz dalam urusan administrasi, bukan oleh sebuah kabinet yang berisi sejumlah menteri.
2. Mu’awin diangkat dan diberhentikan oleh khalifah
3. Mu’awin tafwidl adalah pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan dan tidak lebih dari satu orang hal ini dikarenakan Islam menganut asas pemerintahan tunggal. Sementara itu dalam urusan administrasi khalifah dibantu oleh M. tanfidz.


Nabi saw. bersabda:

“Dua pembantuku di langit; Jibril dan Mikail, dan dua pembantuku di bumi; Abu Bakar dan Umar.”

Hal ini juga diperkuat oleh ijma shahabat.

Pasal 18
1.  Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi dan daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2.  Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
3.  Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4.  Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
5.  Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai Pemerintah Pusat.
6.  Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.  Susunan dan tata cara penyeleng­garaan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.


Negara Khilafah terbagi atas sejumlah kewalian yang di bawah setiap kewalian terbagi sejumlah keamilan. Setiap pemerintahan tingkat wali atau amil menjalankan pemerintahan mereka sesuai dengan ijtihad dan pendapat mereka, selain menjalankan segala hal yang telah diadopsi (tabanni) oleh Khalifah.
Meski menjalankan pemerintahan berdasarkan ijtihad dan pendapat mereka akan tetapi berbagai kebijakan yang menyangkut urusan keuangan, peradilan dan militer berada di tangan khalifah. Hal ini diambil sebagai upaya pencegahan akan terjadinya dlarar, yakni terjadinya disintegrasi wilayah kesatuan khilafah. Hal ini diambil berdasarkan hadits Nabi saw.





Sabda Nabi Saw:
“Tidak membahayakan dan tidak membuat bahaya.”

Serta kaidah

“Sarana yang dapat mengantarkan kepada perbuatan haram, maka sarana itu adalah haram.”


Pasal 18-A
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.


Secara umum pemerintahan pada tingkat wali dan amil menjalankan pemerintahannya berdasarkan ijtihad dan pendapat mereka, selain menjalankan perkara yang telah ditabanniy oleh khalifah. Juga selain urusan keuangan, militer dan peradilan.
Dan pemerintah pusat tidak dibenarkan memberikan perlakuan yang berbeda atas keberagaman wilayah kekuasan khilafah. Seluruh daerah dan warga negara diperlakukan sama berdasarkan kesamaan mereka di hadapan syari’at.





Adapun pengelolaan sumber daya alam yang merupakan milik umum seluruh kaum muslimin, diserahkan kepada negara dan hasilnya –setelah dikurangi beaya operasional-- diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, baik langsung maupun dalam bentuk subsidi, beaya pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dlsb.


Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Maka terapkanlah hukum di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka”(TQS. Maidah [5]:49)


“Jika engkau menetapkan hukum di antara mereka maka putuskanlah dengan adil.”(TQS. Al Maidah [5]:42).






Pasal 18-B
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.


Seluruh daerah diperlakukan sama tanpa pengecualian berdasarkan hukum syara’. Dengan dalil-dalil di atas




Adapun hukum adat dan hak-hak tradisional tidak dijadikan sebagai rujukan apapun karena negara dan kaum Muslimin hanya akan menjalankan hukum syari’at Islam.


“Tidak patut bagi mukmin laki-laki dan mukmin wanita jika Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu keputusan bagi mereka, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”(TQS. Al Ahzab [33]:36)

Pasal 19
1.  Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
2.  Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.

3.  Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun



-






Pasal 20
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presidaen untuk mendapat persetujuan bersama
3. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan


Majlis Ummah tidak memiliki wewenang membuat undang-undang. Wewenang itu ada pada khalifah, yakni hak menyusun undang-undang dasar (dustur) dan perundang-undangan (qawaniin).


Hal ini ditetapkan berdasarkan ijma shahabat. 

Pasal 20-A
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.


Anggaran negara dan pengesahan undang-undang (legislasi) sepenuhnya berada di tangan khalifah. Anggaran negara dan undang-undang dapat disusun berdasarkan pendapat dan ijtihadnya sendiri, ataupun atas bantuan orang lain yang berkompeten pada hal tersebut, yakni para mujtahid atau pakar.  Anggota majelis melakukan muhasabah kepada kepala negara.

Anggota Majlis Ummat sama kedudukannya di muka hukum dengan warga negara lain. Dia tidak memiliki hak imunitas. 


Perbuatan Rasulullah saw.

Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang

Pasal 21
Setiap anggota Majelis Umat memiliki hak berbicara dan berpendapat tanpa mengalami pencekalan apapun, sebatas apa yang telah dihalalkan oleh syara’. Undang-undang dalam Daulah Khilafah Islamiyah merupakan implementasi dari ayat-ayat Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, sehingga Majelis Umat hanya melakukan fungsi muhasabah (controlling) apakah Khalifah (Amirul Mukminin) telah melaksanakan undang-undang seperti di atas atau tidak. 


Allah SWT berfirman : “Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta para pemimpin diantara kalian. Bila kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnah) tersebut.”  (QS. An Nisa’ [4]: 59).

Pasal 22
1.  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerin­tah sebagai penggan­ti undang-undang.
2.  Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
3.  Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Pasal 22 – 22B
Peraturan pemerintah yang mencakup peng­adopsian (tabanni) hukum harus terikat dengan syari’at Islam. Sebab kalau menyimpang dari hukum Allah, maka statusnya adalah kafir. Hal semacam ini pada hakekatnya telah mengadopsi suatu hukum yang realitasnya difahami bertentangan dengan syari’at Islam.

Firman Allah SWT : “ Barang siapa yang tidak memberlakukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al Maidah [5]: 44).

Pasal 23
1.  Anggaran pendapatan  dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu
2.  Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
3.  Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
4.  Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.
5.  Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 23 (Hal Keuangan)
1. Baitul mal adalah badan operasional yang menampung segala pos pemasukan sekaligus juga menjalankan pengeluaran harta untuk kepentingan negara dan umat yang penentuan kebijakannya di bawah tanggung jawab Khalifah. Sumber pemasukan tetap baitul mal adalah harta fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari hak milik umum (sumber alam dan barang tambang), pemasukan dari hak milik negara, usyur, seperlima harta rikaz, serta harta zakat. Seluruh kekayaan ini dipungut secara tetap, baik pada saat diperlukan ataupun tidak. Anggaran belanja negara Daulah Khilafah Islamiyah memiliki penjatahan yang baku atas bagian yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Perincian penjatahan anggaran, pengadaan (dana) untuk masing-masing bagian serta bidang-bidang yang memperoleh dana didasarkan kepada kebijakan dan ijtihad Khalifah sebagai wujud pelayanan terhadap urusan rakyat.   Perlu ditegaskan di sini bahwa dalam Islam tidak ada pembuatan APBN tahunan yang meminta persetujuan Majelis Umat.
2. Sumber-sumber pendapatan baitul mal tersebut sudah cukup besar untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Pajak (dharibah) hanya dipungut secara temporer berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara yaitu ketika sumber pendapatan baitul mal seperti di atas tidak mencukupi kebutuhan pengeluaran negara yang primer. Pajak hanya dipungut dari kalangan kaum Muslim yang dikategorikan memiliki kelebihan harta/kaya dan sama sekali tidak dipungut dari kalangan non-Muslim sebab tidak ada pungutan terhadap harta mereka kecuali jizyah.
3. Mata uang Daulah Khilafah Islamiyah adalah emas dan perak dan memberlakukannya sesuai dengan ketentuan emas dan perak yang pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW dan para Khalifah sesudah beliau. Islam telah mengaitkan beberapa hukum syara’ dengan satuan emas dan perak seperti larangan menimbun emas dan perak (tanpa dibelanjakan), nilai tukar dalam jual beli, penentuan nishab zakat, dan penentuan standar diyat (denda). Standarisasi emas dan perak merupakan satu-satunya patokan yang mampu mengatasi krisis mata uang (moneter) dan inflasi tak terkendali yang melanda sebagian besar masyarakat dunia saat ini.
4. Majelis Umat melakukan kontrol terhadap keuangan negara atas kesesuaiannya dengan syari’at Islam yang mencakup sumber-sumber pendapatan dan pengeluarannya serta kapan pemungutan pajak diwajibkan.


Perbuatan nabi saw. dan hadits qauli-nya.

Pasal 24
1.  Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.  Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

Pasal 24 (Kekuasaan Kehakiman)
1. Qadla’ (lembaga peradilan) adalah lembaga yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara sesama individu anggota masyarakat atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah (kelompok) atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik Khalifah, pejabat pemerintahan atau pegawai negeri yang lain. Sumber hukum yang dijadikan sebagai pijakan Qadla’ adalah Al Quran, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas yang merupakan sumber hukum syari’at Islam.
2. Khalifah mengangkat qadli qudlat (amir qadla’) sedangkan qadli qudlat memiliki wewenang mengangkat qadli-qadli, memperingatkan dan memberhentikan mereka dari jabatannya, sesuai dengan peraturan administratif yang berlaku. Para qadli tersebut terbagi dalam tiga golongan yaitu (a) qadli biasa, berwewenang menyelesaikan perselisihan (perkara) dalam urusan mu’amalat dan ‘uqubat (sanksi) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, (b) qadli muhtasib, berwewenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jama’ah/ masyarakat, dan (a) qadli mazalim, berwewenang menyelesaikan perselisihan (perkara) yang terjadi antara warga masyarakat dengan pemerintah/negara.


Allah SWT telah berfirman :
Dan hendaknya engkau menghukumi (perkara yang terjadi) diantara mereka dengan hukum (syari’at) yang telah diturunkan oleh Allah.” (QS. Al Maidah : 49).

Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang

Pasal 25
Syarat-syarat bagi qadli biasa dan muhtasib adalah Muslim, baligh, merdeka, berakal, adil dan ahli fiqih, bagi qadli mazalim ditambahkan syarat laki-laki dan mujtahid sedangkan bagi qadli qudlat hanya ditambahkan syarat laki-laki.


Pasal 25E
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 25E (Wilayah Negara)
Daulah Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia sebagai suatu kekuatan politik praktis untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Wilayah Daulah Khilafah Islamiyah mencakup seluruh wilayah di muka bumi yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam dan keamanannya berada dalam kekuasaan kaum Muslimin walaupun mayoritas penduduknya bukan Muslim. Batas wilayah daulah Islam tidaklah statis, tapi dinamis. Artinya, setiap waktu bisa berubah seiring dengan pemekaran wilayah yang dihasilkan dari proses dakwah dan jihad.


Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya : “Rasulullah jika mengutus pemimpin pasukan atau sariyah, beliau berpesan secara khusus untuk bertaqwa kepada Allah  dan agar bersama kaum muslimin dalam kebaikan, kemudian beliau bersabda :” berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan janganlah berlebihan, jangan berkhianat, dan jangan merusak dan jangan membunuh orang-orang tua.  Jika kalian bertemu dengan musuh yaitu orang musyrik maka serulah mereka kepada tiga opsi, mana saja mereka terima maka terimalah dan cukupkan dari mereka, serulah mereka kepada Islam jika mereka memenuhi ajakanmu maka terimalah dan cukupkan dari mereka, kemudian serulah mereka untuk merubah (menggabungkan) negeri mereka kepada ke negeri muhajirin dan beritahu mereka bahwa jika mereka melakukan itu  maka bagi mereka seperti halnya bagi orang muhajirin dan atas mereka sama dengan apa (yang diberlakukan) atas orang muhajirin, jika mereka menolak menggabungkan negerinya maka beritahukan kepada mereka agar menjadi seperti orang-orang arab (non muslim/kafir dzimmiy) yang diberlakukan atas mereka apa yang berlaku atas kaum muslimin, dan tidak ada bagi mereka berupa fai’iy dan ghanimah kecuali mereka berperang bersama kaum muslimin”. 

Lihat QS. As Saba [34] : 28

Pasal 26
1.  Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.

2.  Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.  Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Pasal 26 (Warga Negara dan Penduduk)
Warga negara Daulah Khilafah Islamiyah terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim. Warga negara non-Muslim adalah mereka dari kalangan kafir dzimmi yaitu non-Muslim yang sedang tidak memerangi kaum Muslim dan mereka tunduk pada hukum-hukum Islam yang diterapkan dalam Daulah Khilafah Islamiyah kecuali dalam masalah aqidah dan ibadah.  


*     Didasarkan atas hukum dzimiy dan hukum daru al Islam dan daru al kufru.
*     Bagi ahlu dzimah hak mereka seperti hak kaum muslimin dan kewajiban mereka seperti kewajiban kaum muslimin.  Ahlu dzimmah adalah orang yang beragama selain Islam yang menjadi rakyat negara Islam dan tetap dalam agamanya.  Islam menjamin hak dan kewajiban ahlu dzimmah sesuai dengan pernyataan Al Qur'an dan As Sunah.  Firman Allah : “dan jika kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dnegan adil” (QS. An Nisaa’ : 58).  Firman Allah : “dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum  mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. Al Maa’idah : 8).  Firman Allah : “dan jika kamu memutuskan perkara diantara mereka maka putuskanlah dengan adil ‘ (QS. Al Maa’idah : 42).
*     Yang diberlakukan atas ahlu dzimmah seperti yang diberlakukan atas kaum muslimin.  Rasulullah saw memberlakukan ‘uqubat (pidana dan sanksi) terhadap orang kafir seperti yang diberlakukan kepada kaum muslimin.  Rasul membunuh orang yahudi sebagai hukuman karena orang yahudi itu membunuh seorang perempuan. Dua orang yahudi laki dan perempuan, keduanya berzina lalu Rasul merajam mereka berdua.
*     Perlindungan bagi ahlu dzimmah seperti halnya perlindungan bagi kaum muslimin.  Sabda Rasul : “barangsiapa yang membunuh jiwa yang terikat dengan dzimmah Allah dan Rasul-Nya maka ia sungguh telah melanggar dzimmah Allah dan ia tidak akan mencium baunya surga padahal bau surga itu sudah tercium pada jarak sejauh perjalanan empat puluh musim”

Pasal 27
1.  Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2.  Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.  Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 27
1. Daulah Khilafah Islamiyah tidak membeda-bedakan individu warga negaranya dalam aspek hukum, peradilan, maupun dalam menjamin kebutuhan seluruh warga negara dan sebagainya. Seluruh warga negara diperlakukan sama tanpa memperhatikan ras, agama, warna kulit dan lain-lain.
2. Setiap warga negara mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
4.  Seluruh warga negara yang Muslim memikul tanggung jawab yang sama terhadap Islam yaitu menampilkan keagungan pemikiran Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh alam melalui jihad.



Perintah Allah SWT : “Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Islam) dengan hikmah/hujjah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An Nahl : 125)

Lihat Pasal 26.

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28
1. Setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syara’. Tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui status hukumnya.
2. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya harus berasaskan aqidah Islam dan tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum syara’. Misalnya tidak diperbolehkan mendirikan perkumpulan yang di dalamnya ada unsur kemaksiatan dan kemungkaran yang diharamkan oleh syari’at Islam, atau perkumpulan yang menyebarkan dan memperjuangkan idiologi selain Islam.


Firman Allah:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS. Al Ahzab 36).

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS. Qaaf 18).

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran 104).



Pasal 29
1.  Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
2.  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 29 (Agama)
a.  Daulah Khilafah Islamiyah berdasar atas aqidah Islam. Segala sesuatu yang menyangkut struktur dan urusan negara, termasuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan aqidah Islam. Aqidah Islam sekaligus merupakan asas Undang-undang Dasar dan perundang-undangan yang bersumber dari syari’at Islam.
b.  Daulah Khilafah Islamiyah menerapkan syari’at Islam bagi seluruh warga negara baik yang Muslim maupun yang non-Muslim dalam bentuk-bentuk berikut ini :
c.  Negara melaksanakan seluruh hukum Islam atas kaum Muslimin tanpa kecuali.
d.  Warga negara non-Muslim dibiarkan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing.
e.  Warga negara Muslim yang murtad dari Islam atas mereka dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakukan kemurtadan. Jika kedudukannya sebagai anak-anak orang murtad atau dilahirkan sebagai non-Muslim, maka mereka diperlakukan bukan sebagai orang Islam sesuai kondisi mereka selaku orang-orang musyrik atau ahli kitab.
f.   Dalam hal makanan, minuman, dan pakaian terhadap warga negara non-Muslim diperlakukan sesuai dengan agama mereka, sebatas apa yang diperbolehkan hukum-hukum syara’.
g.  Perkara-perkara nikah dan talak antara sesama non-Muslim diselesaikan sesuai dengan agama mereka, namun jika terjadi antara Muslim dan non-Muslim perkara tersebut diselesaikan menurut hukum Islam.
h.  Hukum-hukum syara’ selain di atas, seperti mu’amalat, ‘uqubat, bayyinat, ketatanegaraan, ekonomi, dan sebagainya, dilaksanakan oleh negara atas seluruh warga negara baik yang Muslim maupun non-Muslim. Pelaksanaannya juga berlaku terhadap mu’ahidin yaitu orang-orang yang negaranya terikat dengan perjanjian, terhadap musta’minin yaitu orang-orang yang mendapat jaminan keamanan untuk masuk ke negeri Islam, dan terhadap siapa saja yang berada di bawah kekuasaan Islam, kecuali bagi para diplomat, konsul, utusan negara asing dan sebagainya karena mereka memiliki kekebalan diplomatik.

Teks dalam Piagam Madinah, yang menyebut bahwa sega perselisihan atas perjanjian masyarakat Madinah dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya (lihat Sirah Ibnu Hisyam)

Pasal 30

Pasal 30 (Pertahanan dan Keamana Negara) 
1. Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib. Setiap laki-laki Muslim yang telah berusia 15 tahun diharuskan mengikuti latihan wajib militer sebagai persiapan jihad.
2. Angkatan bersenjata terdiri atas dua bagian yaitu: (a) pasukan cadangan yang terdiri dari seluruh kaum Muslimin yang mampu mengangkat senjata, dan (b) pasukan tetap / reguler yang telah ditetapkan gajinya dalam anggaran belanja negara sebagaimana pegawai negeri yang lain.
3. Angkatan bersenjata merupakan satu kesatuan yang disebut tentara (jaisy). Dari unsur angkatan bersenjata tersebut kemudian dipilih  kesatuan khusus yang diatur dengan peraturan tersendiri dan dibekali dengan tsaqafah (pengetahuan) tertentu yang disebut polisi (syurthah).
4. Kepolisian (syurthah) tersebut bertugas untuk menjaga ketertiban dan kedisiplinan rakyat dalam menjalankan hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh negara serta menjaga keamanan dan melaksanakan berbagai bidang yang bersifat operasional.
5. Setiap pasukan harus diberikan pendidikan militer semaksimal mungkin, ditingkatkan kemampuan berfikirnya, dan diberikan tsaqafah Islam sehingga mereka memiliki wawasan tentang Islam sekalipun dalam bentuk yang global.

Firman Allah SWT : “Dan siapkanlah kekuatan apa saja yang kalian sanggupi untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir).” (QS. Al Anfal : 60).







Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas r.a. yang mengatakan : “Bahwa Qais bin Sa’ad ketika itu sedang berada di dekat Rasulullah SAW dalam posisinya sebagai anggota kesatuan polisi (syurthah).”
BAB XIII  PENDIDIKAN

Pasal 31
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.



Bukan hanya sekedar pengajaran, tetapi juga pendidikan yang diselenggarakan secara cuma-cuma atau berbiaya murah.


-


Sesuai dengan tujuan pendidikan Islam untuk membentuk cara berpikir Islam, sikap jiwa Islam, dan mahir dalam ilmu pengetahuan.



Pasal 32
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.


Bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat universal yang hanya akan mengembangkan kebudayaan Islam dari daerah manapun selama tidak bertentangan dengan Islam.  Selain itu juga, Islam melarang ‘ashabiyyah.


Sabda Rasulullah saw:

 “Siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan/nasionalisme) maka dia tidak termasuk golongan kita (kaum Muslim).”  (HR. Abu Dawud)

Terdapat pula sejumlah nash (hadits) lain yang melarang ashabiyah (fanatisme golongan atau nasionalisme).


BAB XIV KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33
1.  Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2.  Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Islam menentukan kepemilikan dalam kategori pemilikan individu, negara, dan umum.
Negara menjamin aktivitas ekonomi warga negara dalam mengembangkan modalnya (kepemilikan individu)  untuk usaha-usaha pertanian, industri, dan perdagangan dan jasa dalam batas-batas kepemilikan individu.
Barang-barang yang termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh kaum muslimin) dikuasai dan dikelola hanya oleh negara (tidak dibenarkan diserahkan kepada individu atau kelompok perusahan domestik maupun asing) dan hasil atau keuntungannya dipergunakan untuk memajukan kesejahteraan umum warga negara seperti pembiayaan pendidikan gratis, pelanan kesehatan gratis, dan jaminan keamanan gratis serta pembangunan sarana dan prasarana umum seperi masjid, jalan-jalan dan sebagainya


“Maka putuskanlah perkara diantara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”  (TQS. Al-Maidah [5]: 48)

Sabda Rasulullah saw:

 “Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya tertolak.”  (HR. Muslim)

 “Masyarakat berserikat dalam tiga macam (sumber alam), (yaitu) air, padang penggembalaan, dan api.”  (HR. Abu ‘Ubaid dalam al-Amwaal)

Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara


Islam mengharuskan negara untuk memelihara seluruh warga negara tanpa kecuali, baik mereka itu kaya ataupun miskin.  Negara yang hanya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar saja, menunjukkan kedzalimannya terhadap kalangan rakyat lainnya.


 “Seorang Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat.  Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap (pengaturan) rakyatnya.”  (HR. Bukhari dan Muslim)
BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

Pasal 35
Bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih








Bertentangan dengan liwa (bendera) dan rayah (panji-panji) Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Liwa (bendera) Rasulullah saw berwarna putih dengan tulisan Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh berwarna hitam. Sedangkan rayah (panji-panji) Rasulullah saw berwarna hitam dengan tulisan Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh berwarna putih.



Diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari Abi Syaikh dengan lafadz:

“Tertulis pada Rayah Rasulullah saw – Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh“.

Pasal 36
Bahasa negara adalah bahasa Indonesia


Bahasa resmi negara menurut syari’at Islam adalah bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa seluruh penyelenggaraan negara dengan penerapan hukum-hukum Islam bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang diturunkan Allah SWT dalam bahasa Arab. Disamping itu kemajuan berpikir manusia dalakm memecahkan problematikanya amat ditentukan oleh kemampuan berijtihad.  Dan ijtihad tidak akan dapat dilakukan tanpa kemampuan bahasa Arab.





Firman Allah Swt:

“Kami telah menurunkan Al-Quran itu sebagai hukum (peraturan) dalam bahasa Arab.”   (TQS. Ar-Ra’du [13]: 37)

Pasal 36A
Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika


Lambang negara sama dengan bendera. Islam mengakui perbedaan, namun tidak mencampurkan antara haq dengan bathil.  Semuanya harus dipandu oleh ajaran Islam.


Lihat QS. Al Hujurat [49] : 13

Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya


Lagu bisa dibuat, asal sesuai dengan aqidah, sayriah dan semangat dakwah dan jihad serta kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Yang harus dibela adalah semua negeri-negeri muslim.  Juga, Aqidah Islam mengharuskan penghambaan dan pengorbanan ditujukan hanya untuk Allah semata, bukan yang lain.


Dalam piagam Madinah dikatakan bahwa kaum mukmin itu umat yang satu.

Firman Allah Swt:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku (hanyalah) untuk Allah, Rabbul ‘alamin. Tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang mula-mula Muslim.”   (TQS. Al-An’am [6]: 162-163)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH