MAKNA HIJRAH KE MADINAH DAN UPAYA IBLIS MENGGAGALKAN HIJRAH
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
#WadahAspirasiMuslimah -- Peristiwa hijrah Nabi saw. dan para sahabat dari Makkah ke Madinah bukan peristiwa biasa. Tetapi peristiwa ini merupakan peristiwa sejarah yang maha penting. Begitu pentingnya peristiwa ini, ‘Umar bin al-Khatthab, saat menjadi kepala negara Islam ketiga, menggantikan Nabi saw, setelah Abu Bakar mangkat, telah menetapkan momentum hijrah sebagai tahun baru dalam Islam. ‘Umar tidak memulainya sejak diutusnya Nabi di Makkah, tetapi sejak Nabi saw. menjadi kepala negara Islam di Madinah.
Tidak hanya itu, peristiwa hijrah ini pun diabadikan dalam al-Qur’an, Q.s. at-Taubah: 40, yang diturunkan 9 tahun setelah peritistiwa maha penting ini. Justru di saat umat Islam, di bawah kepemimpinan Nabi saw. berada di puncak kekuasaannya, saat 72 kepala suku dan kabilah datang menghadap Nabi saw. di Madinah untuk menyatakan ketundukannya pada kepemimpinan Nabi saw. dan negara Islamnya. Bahkan, dalam satu ayat ini, al-Qur’an harus mengulang tiga kali “huruf tadzkir” [idz], sebagai pengingat. Menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ini.
Mari kita simak firman Allah [yang artinya], “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang Kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Q.s. at-Taubah: 40]
Ketika kaum Musyrik Makkah mengetahui para sahabat saw. telah melakukan persiapan untuk hijrah, dan keluar meninggalkan Makkah, membawa serta keturunan, anak-anak dan hartanya ke tanah kaum Aus dan Khazraj, maka mereka mulai mengalami kegelisahan dan kekhawatiran yang luar biasa. Kegelisahan itu merasuki mereka, yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Di depan mereka benar-benar telah tampak ancaman besar yang serius, yang bisa mengancam entitas Paganisme dan perekomoian mereka. Karena mereka tahu apa yang ada pada kepribadian Muhammad saw. Pengaruh yang begitu dahsyat, disertai kesempurnaan leadership dan guidance. Juga tekad, keteguhan dan kesiapan para sahabatnya untuk berkurban demi merealisasikannya. Ditopang dengan perlindungan dan nushrah [dukungan kekuatan/militer] yang diberikan kabilah Aus dan Khazraj. Selain itu, dua kabilah ini juga mempunyai kecintaan pada perdamaian dan kebaikan, serta mencabut faktor-faktor yang memicu dendam di antara keduanya, terutama setelah mereka merasakan pahitnya peperangan panjang selama bertahun-tahun.
Kaum Musyrik Makkah itu juga tahu, bagaimana nilai strategisnya Madinah, terkait dengan jalur perdagangan yang melintasi pesisir pantai Laut Merah, dari Yaman hingga Syam. Penduduk Makkah saat itu nilai perdagangannya ke Syam, kira-kira mencapai ¼ juta Dinar per tahun, atau setara dengan Rp. 597,125,000,000 [lima ratus sembilan puluh tujuh milyar, seratus dua puluh lima juta]. Lebih dari setengah Triliun. Ini di luar nilai transaksi penduduk Taif dan yang lain. Haru dicatat, bahwa perputaran bisnis yang begitu besar ini, tidak bisa dilepaskan dari stabilitas keamanan di jalur perdagangan ini.
Maka, bagi kaum Kafir Quraisy, ketika dakwah Islam, yang selama ini mereka musuhi, dengan kaum Muslim sebagai kekuatan sentralnya, dan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpinnya, maka menancapnya dakwah ini di Yatsrib, setelah mendapatkan kekuasaan dari kaum Aus dan Khazraj adalah ancaman besar bagi mereka. Penduduk Yatsrib pun akan menjadi musuh mereka. Ini tidak hanya mengancam eksistensi mereka, dengan segala tradisi Paganismenya, tetapi juga kepentingan bisnis mereka yang luar biasa besarnya.
Menyadari ancaman yang serius ini, mereka pun mulai mencari cara yang paling tepat untuk menangkal ancaman ini. Ujung-ujungnya tak lain adalah pengemban dakwah Islam, yang merupakan sentral dari kekuatan yang menjadi ancaman bagi kepentingan mereka. Tak lain dan tak bukan, baginda Nabi Muhammad saw.
Maka, pada hari Kamis, 26 Shafar 14 tahun kenabian, bertepatan dengan 12 September 622 M, atau dua setengah bulan setelah Bai’at ‘Aqabah Kubra, maka kaum Kafir Quraisy di Makkah, mengadakan musyawarah, di pagi hari, pertemuan yang paling penting dalam sejarah. Semua perwakilan kabilah Quraisy menghadiri pertemuan ini untuk mengkaji strategi yang tepat demi menghabisi pengemban dakwah Islam ini secepatnya, dan memadamkan apa cahayanya secara permanen. Betapa krusialnya pertemuan ini, sampai Malaikat Jibril, memberitahukannya kepada Nabi saw. dan saat itu, baginda saw. pun diizinkan untuk hijrah, meninggalkan Makkah [Hr. Ibn Ishaq dan Bukhari].
Di siang harinya, Nabi saw. mendatangi Abu Bakar as-Shiddiq ra. seraya bersabda, “Dia benar-benar telah mengizinkan keluar [meninggalkan Makkah menuju ke Madinah].” [Hr. Bukhari].
Di antara pentolan Quraisy yang mengikuti pertemuan penting ini adalah: Abu Jahal [perwakilan dari kabilah Bani Mahzum], Jubair bin Muth’im, Tha’imah bin ‘Adi dan al-Harits bin ‘Amir [perwakilan dari kabilah Bani Naufal bin ‘Abdu Manaf], Syaibah dan ‘Utbah putra Rabi’ah dan Abu Sufyan bin Harb [perwakilan dari kabilah Bani ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf], an-Nadhar bin al-Harits [perwakilan dari Bani ‘Abdu ad-Dar], Abu al-Bukhtari bin Hisyam, Zam’ah bin al-Aswad dan Hakim bin Hazzam [perwakilan dari Bani Asad bin ‘Abdul ‘Uzza], Nabih dan Munabbih putra al-Hajjaj [perwakilan dari Bani Sahm], dan Umayyah bin Khalaf [perwakilan dari Bani Jamh].
Saat mereka tiba di Darun Nadwah, sesuai dengan komitmen mereka, Iblis menjelma dalam wujud orang tua yang dihormati, menyambut mereka sambil berdiri di depan pintu. Para delegasi itu bertanya, “Siapa syaikh itu?” Dia menjawab, “Seorang Syaikh dari penduduk Najd, yang telah mendengar apa yang menjadi maksud pertemuan kalian. Dia hadir bersama kalian untuk mendengarkan apa yang sampaikan. Dia berharap kalian tidak menyia-nyiakan pendapat dan nasihatnya untuk kalian.” Mereka menjawab, “Tentu saja. Silahkan masuk.” Iblis itu pun masuk bersama mereka.
Setelah pertemuan ini berlangsung, berbagai usulan dan masukan diberikan. Perdebatan sengit pun tak terelakkan. Abu al-Aswad berkata, “Kita usir saja dia dan buang dari negeri kita. Kita tidak peduli, ke mana dia hendak pergi, juga apapun yang menimpanya. Dengan begitu, kita berhasil memperbaiki urusan kita, dan menyusun ulang sebagaimana sebelumnya.” Syaikh dari Najed itu pun angkat bicara, “Demi Allah, ini bukan pendapat kalian yang tepat. Tidakkah kalian tahu, bagaimana indahnya ucapannya? Nalar dan tutur katanya memesona? Sampai hati para tokoh pun terpesona dengan apa yang dia bawa. Demi Allah, kalau kalian melakukan itu, sesuatu yang kalian yakini akan bisa menundukkan salah satu perkampungan Arab, kemudian kalian bawa mereka kepada kalian, setelah mereka mengikutinya [Muhammad saw], maka dia akan mengalahkan kalian dengan mereka di negeri kalian. Dia pun akan melakukan apapun terhadap kalian apa yang dia inginkan. Maka, laksanakanlan pandangan lain, selain ini.”
Jadi, begitu rupa mereka merancang untuk menghentikan dakwah Nabi, sampai pada rancangan hendak membunuh pengemban dakwahnya. Begitulah ancaman yang mengintai para pengemban dakwah. ==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
Komentar
Posting Komentar