MENGOREKSI PENGUASA DENGAN TERANG-TERANGAN ADALAH CARA KHOWARIJ?
Mengoreksi Penguasa Dengan Terang-Terangan Merupakan
Cara Khowarij?
Sebagian kalangan ada yang menyatakan bahwa mengoreksi penguasa
wajib dengan sembunyi-sembunyi, diam-diam, dan tidak boleh terbuka. Lebih dari
itu mereka mencela orang-orang yang mengoreksi dengan terang terangan, dan
mengatakan bahwa ini adalah cara-cara khawârij[1].
Dalil yang dipakai adalah hadits riwayat Imam Ahmad berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا
صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ
جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ
هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ
فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ
لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ
مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ
فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا
سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ
فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ
فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ، إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى
سُلْطَانِ اللهِ، فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُونَ
قَتِيلَ سُلْطَانِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan
kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi
dan yang lainnya berkata; ‘Iyâdl bin Ghanm mencambuk orang Dariya ketika
ditaklukkan[2].
Hisyâm bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyâdl
marah. (‘Iyâdl r.a) tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyâm bin Hakim
mendatanginya, memberikan alasan. Hisyâm berkata kepada ‘Iyâdl: Tidakkah kau
mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Orang yang paling
keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia”
‘Iyâdl bin Ghanm berkata; Wahai Hisyâm bin Hakim, kami pernah mendengar apa
yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu
perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah
tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka
dia telah melaksakan kewajibannya” dan sesungguhnya
engkau wahai Hisyâm, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada
penguasa Allah, tidakkah engkau takut dibunuh penguasa, maka kau menjadi korban
penguasa Allah Tabâroka wa Ta’âla? (HR. Ahmad, hadits no. 15333) [3]
Sanad Hadits
Hadits ini diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan sebagai
berikut:
1. ‘Iyâdl bin Ghanm adalah shahabat. Dia termasuk orang yang
berbaiat di Baiat Ar-Ridwan, meninggal tahun 20 H di Syam.
2. Hisyâm bin Hakim bin Hizam bin Khuwailid al Qurasyi al
Asadi. Meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah. Al Hâfidz Ibnu
Hajar menyebutnya sebagai shahabat anak seorang sahabat, disebutkan dalam
shahihayn.[4]
(Taqribu At Tahdzib hal 572, Maktabah Syamilah)
3. Syuraih bin ’Ubaid adalah tabi’in. Al Hâfidz Ibnu Hajar
Al Asqalani menilai Syuraih dengan : tsiqah banyak memursalkan[5]
hadits[6]
(Taqribu At Tahdzib hal 265, Maktabah Syamilah).
4. Shafwan bin ‘Amru bin Harim (Abu ‘Amru) adalah tabi’in
kalangan biasa, meninggal pada tahun 155 H. Al Hâfidz Ibnu Hajar Al Asqalani
mentsiqahkannya.
5. Abdul Quddus bin Al Hajjaj (Abu Al Mughirah) adalah
tabi’ut tabi’in kalangan biasa, meninggal pada tahun 212 H. Al Hâfidz Ibnu
Hajar Al Asqalani mentsiqahkannya.
Penilaian Para ‘Ulama
Sanad hadits ini adalah dho’if karena Syuraih bin ‘Ubaid bin
Syuraih al Hadlromiy tidak mendengar hadits tersebut dari Hisyâm bin Hakim bin
Hizam, Syuraih juga tidak mendengarnya dari Iyâdl bin Ghanm jadi kedua jalur
periwayatan tersebut adalah dho’if, termasuk hadits Munqathi’. Ini sebagaimana
ta’liq Syaikh Syu’aib al Arna’uth yang menyatakan:
وهذا إسناد ضعيف لانقطاعه، شريح بن عبيد الحضرمي
لم يذكروا له سماعاً من عياض ولا من هشام
Dan ini adalah sanad yg dho’if karena terputusnya, Syuraikh bin
‘Ubaid Al Hadlromy tidak menuturkan lewat pendengaran (simâ’an) dari ‘Iyâdl dan
tidak juga dari Hisyâm.
Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya, Al Marâsîl[7]
menyatakan:
سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ
الْحَضْرَمِيُّ لَمْ يَدْرِكْ أَبَا أُمَامَةَ وَلَا الْحَارِثَ بْنَ الْحَارِث
وَلَا الْمُقدم
Aku mendengar ayahku berkata: Syuraih tidak berjumpa dengan abu
Umâmah, tidak pula al Hârist bin al Hârist dan tidak pula Miqdam.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak mendapati (masa) Abu Umâmah r.a yang
meninggal tahun 86 H, juga tidak menemui al Miqdam bin Ma’di Karb r.a yang
meninggal tahun 87 H, maka tidaklah mungkin dia bertemu dengan Hisyâm bin al
Hakim yang meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah, lebih-lebih dengan
‘Iyâdl bin Ghanm yang meninggal pada tahun 20 H yaitu pada masa amirul mukminin
Umar bin Khaththab r.a, oleh karena itu mestilah hadist ini, dengan kedua sanad
ini termasuk hadits munqathi’ (terputus sanadnya).
Adakah Riwayat Lain Yang Memperkuat Hadits Ini?
Riwayat hadits tersebut sampai redaksi : إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي
الدُّنْيَا لِلنَّاسِ (artinya: “Orang yang paling keras siksaannya adalah
orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia“) adalah shahih
lighairihi[8].
Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ahli hadits lain, seperti
hadits :
حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ،
أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّ
هِشَامَ بْنَ حَكِيمٍ، وَجَدَ رَجُلًا وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنَ
النَّبْطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ، فَقَالَ:
مَا هَذَا؟ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِنَّ اللهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي
الدُّنْيَا»
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir; Telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari
‘Urwah bin Az Zubair bahwa Hisyâm bin Hakim pernah melewati orang di Syam
sedang menjemur beberapa orang petani di terik matahari karena tidak membayar
pajak. Kemudian Hisyâm bertanya; ‘Mengapa mereka ini dihukum? ‘ ‘Sesungguhnya
saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‘Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di
dunia”. (HR. Muslim)
Adapun redaksi مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً … (“Barangsiapa
yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan
dengan terang-terangan…”), dalam hal ini terjadi ikhtilaf:
· Syaikh Syu’aib al Arna’uth (lahir 1928 M) menilai tambahan ini hasan
lighairihi. Bahkan al Albani menshahihkannya[9].
Berikut ringkasan alasan penerimaan tambahan ini:
Hadits ‘Iyâdl bin Ghanm sebagaimana tersebut sebelumnya, sanadnya
lemah karena inqithaa’ (keterputusan) antara Syuraih dengan ‘Iyâdl dan
Hisyaam.
Akan tetapi inqithâ’ ini disambung oleh Jubair bin Nufair
dalam riwayat Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1097) [10],
namun sanad riwayat ini juga lemah karena kelemahan Muhammad bin Ismâ’îl bin
‘Ayyâsy. Al-Hafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya
dengan menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini) dha’if jiddan (sangat
lemah)”.[11]
Syuraih juga mempunyai mutâba’ah[12]
dari ‘Abdurrahmân bin ‘Âidz Al-Azdiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi
‘Âshim (no. 1098), namun sanad riwayat ini juga lemah karena ‘Abdul-Hamîd bin
Ibrâhîm setelah kitab-kitabnya hilang hafalannya buruk. [13]
Tetapi ‘Abdul-Hamîd bin Ibrâhîm mempunyai mutâba’ah dari
‘Amru bin Al-Hârits Al-Himshiy dari jalan Ishâq bin Ibrâhîm bin Zibrîq, dari
‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Sâlim. Sanad hadits ini
juga lemah karena Ishâq bin Ibrâhîm bin Zibrîq, an Nasa’i menyatakannya “tidak
tsiqah”, al Albani sendiri menyatakan sebagai sangat lemah (dho’if jiddan).[14]
Mereka menyatakan walaupun semua hadits tersebut lemah, namun
menurut penilaian mereka dalam setiap thabaqah sanad saling menguatkan satu
dengan yang lainnya.
· Syaikh Muqbil menilai tambahan bahwa mengoreksi penguasa harus
secara diam-diam adalah tambahan yang dho’if karena syadz, dalam Tuhfât Al
Mujîb, menulis:
“Telah tetap dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Jihad yang
paling utama adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zalim”, dan
kata-kata “di sisi” (‘indiyyah) tidaklah mesti bermakna rahasia
dan harus bersama penguasa saja (rahasia).
Adapun hadits : “Siapa yang memiliki nasehat untuk penguasa maka
hendaknya dia menasehatinya secara rahasia”, hadits ini asalnya ada di
Shahih Muslim tanpa tambahan ini. redaksi hadits
tersebut yang ada di Shahih Muslim adalah “Sesungguhnya Allah akan menyiksa
orang yang menyiksa manusia di dunia” dan tidak disebutkan tambahan ini.
Maka haruslah ditelaah tambahan ini (yakni tambahan menasehati harus secara
rahasia), jika para perawi yang meriwayatkan tambahan itu semisal dengan para
perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah tambahan
yang bisa diterima. Demikian pula, jika perawi yang membawakan tambahan itu
punya nilai lebih dari pada perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan
tersebut adalah juga tambahan yang diterima, adapun jika tambahan tersebut
adalah tambahan yang kurang kuat maka status tambahan tersebut adalah tambahan
yang syadz, dan (tambahan) redaksi di atas adalah (tambahan) yang syadz.
(Tuhfât Al Mujîb, hal 164)
Penilaian tentang kelemahan hadits sirriyyatun nashîhat (nasehat
dg rahasia) di atas juga dinyatakan oleh Dr. Muhammad bin Abdullah al Mas’ary,
beliau menjelaskan panjang lebar kelemahan hadits ini dari berbagai segi dalam
kitabnya, Muhâsabatul Hukkâm, hal 261 – 299.
Pemahaman Hadits: Cara Menasehati Penguasa
Hadits ini menjelaskan salah satu adab dan uslub/cara menasehati
penguasa, yakni hendaklah tidak mengungkap aibnya ditengah masyarakat, hal ini
juga berlaku untuk menasehati individu, termasuk orang tua dalam mendidik
anak-anaknya dan guru terhadap murid-muridnya.
وقال الشافعي: من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه ،
ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه
Imam Asy Syafi’i berkata : barang siapa menasehati saudaranya
secara rahasia maka sungguh ia telah menasehati dan menghiasi saudaranya, dan
barang siapa menasehatinya secara terang terangan (didepan publik) maka
sesungguhnya ia telah membuka kejelekannya dan menghianatinya. [Abu Nu’aim,
Hilyatul Auliya, 9/140]
Terlepas dari ikhtilaf kesahihan hadits tersebut, walaupun penulis
lebih memilih pendapat yang mendho’ifkan, dan penulis mengambil pandangan bahwa
hadits dho’if boleh digunakan untuk sekedar menjelaskan fadhilah amal,
bukan untuk menentukan status halal/haramnya perbuatan, jika hadits ini dipakai
dengan konteks yang benar, dalam perkara yang tepat, maka bisa memberikan
kebaikan pada umat dan negara dan menjaga stabilitas negara. Disisi lain, kalau
dipakai bukan pada tempatnya, hadits ini bisa dijadikan senjata oleh bangsa
penjajah dan kaki tangannya untuk membodohi umat agar penjajahan mereka ‘stabil’
dan kekuasaan mereka berjalan dengan aman, lancar dan terkendali untuk
senantiasa melakukan berbagai kemaksiatan dan pengingkaran terhadap hukum-hukum
Allah SWT.
Adapun bagi orang yang menganggap tambahan hadits tersebut
shahih/hasan, maka tidak bisa kemudian otomatis difahami bahwa larangan
tersebut hukumnya haram, apalagi sampai menyematkan label ‘khawarij’
atau label tidak layak lainnya, sebab:
1) Tidak semua kalimat yang berbentuk larangan/nahyu (di
dalam al Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram. Sighat nahyu bisa
saja berimplikasi tahrim (haram), karahah(tidak disukai),
al-irsyad(penjelasan) dan lain-lain. Larangan yang tersebut di dalam
hadits Imam Ahmad hanya menunjukkan makna al-irsyad dan rukhshah
belaka, ini ditunjukkan beberapa hal antara lain:
a. Kalimat “Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia
telah melaksakan kewajibannya” menunjukkan rukhsoh (keringanan) bahwa
menyampaikan dengan rahasia sudah cukup untuk melepaskan diri dari dosa, baik
nasehatnya diterima atau ditolak.
b. Perkataan ‘Iyâdl bin Ghanm, “… tidakkah engkau takut
dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh
penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”, menunjukkan bahwa beliau sedang
mengingatkan saudaranya, Hisyâm bin Hakim, tentang resiko yang bisa terjadi
jika menasehati penguasa dengan terang-terangan, bukan mengingatkan atas
kemaksiyatan yang dilakukan oleh Hisyâm bin Hakim. Ditambah lagi Hisyâm juga
mengoreksi pejabat lain, seperti Umair bin Sa’ad dengan terang-terangan, bahkan
Iyâdl sendiri juga mengoreksi dengan terang-terangan (riwayatnya di point
berikutnya)
2) Banyak riwayat yang menjelaskan keharusan berkata benar dimana
saja, tidak harus rahasia, baik kepada penguasa atau bukan, semisal hadits dari
’Ubaidah bin Ash-Shamit radliyallaahu ’anhu ia berkata :
… وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالحَقِّ
حَيْثُمَا كُنَّا، لاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
”… dan agar kami selalu berbuat dan berkata dengan kebenaran
dimanapun kami berada tanpa takut celaan dan hinaan dalam menjalankan perintah
Allah” (HR. Bukhari no. 7199, Dâru Thûqi an Najâh, Maktabah Syâmilah)
3) Menyembunyikan apa yang seharusnya disampaikan adalah salah satu
ciri sifat nifâq. Imam Bukhariy meriwayatkan:
قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ
عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا
مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Manusia berkata kepada Ibnu ‘Umar, Kami memasuki (rumah)
penguasa kami, kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang
kami katakan tatkala kami keluar dari (rumah) mereka ( penguasa). Ibu ‘Umar
berkata: adalah kami menghitungnya sebagai (sikap) nifaq (munafiq). [Shahih
Bukhari, 23/421, Maktabah Syâmilah]
Hadits ini menunjukkan bahwa mereka tidak harus datang sendirian,
bisa di fahami dari lafadz inna nadkhulu (sesungguhnya kami memasuki…)
dan pengingkaran Ibnu ‘Umar r.a akan sikap mereka yakni : “kemudian kami
mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang kami katakan tatkala kami
keluar” menunjukkan bahwa dalam kondisi tidak sendirianpun tetap dituntut
berkata haq didepan penguasa, artinya ketika penguasanya berbuat melanggar
syara’ maka harus juga dinyatakan sebagai melanggar syara’, bukan malah
dicarikan alasan, hujjah atau udzur untuk membenarkan penguasa, namun tetap
perlu diperhatikan bahwa perkara tersebut adalah benar-benar pelanggaran syara’
bukan sekedar masalah khilafiyyah –yang kebetulan pendapat penguasa berbeda
dengan pendapat dirinya.
4) Dalam riwayat lain, Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur ‘Urwah
bin Zubair bahwa ‘Iyâdl bin Ghanm justru pihak yang mengingkari penyiksaan
karena masalah jizyah, tanpa ada tambahan harus rahasia, bandingkan dengan
hadits yang ada tambahan menyuruh menasehati secara rahasia (no. 15333), justru
Iyâdl adalah pihak yang menyiksa.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ
عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ رَأَى نَبَطًا يُشَمَّسُونَ فِي الْجِزْيَةِ، فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin ‘Umar berkata; telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari Az-Zuhri dari ‘Urwah telah sampai kepadanya
dari seseorang bahwa, ‘Iyâdl bin Ghanm melihat rakyat jelata yang dijemur
karena masalah jizyah. Lalu berkata; saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Allah subhanahu wata’ala menyiksa
orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Ahmad, No 15334, Syu’aib
Arna’uth menyatakan marfu’ shahih lighairihi)
Hadits di bawah ini juga bicara mengoreksi pejabat dengan
terang-terangan, tanpa tambahan yang dipermasalahkan.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
سَعْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَمِّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ، وَهِشَامَ بْنَ حَكِيمِ
بْنِ حِزَامٍ، مَرَّا بِعَامِلِ حِمْصَ وَهُوَ يُشَمِّسُ أَنْبَاطًا فِي
الشَّمْسِ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْعَامِلِ: مَا هَذَا يَا فُلَانُ؟ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللهَ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا”
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d telah
menceritakan kepada kami anak saudara Ibnu Syihab dari pamannya berkata; telah
mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair ‘Iyâdl bin Ghanm dan Hisyâm bin Hakim
bin Hizam melewati pejabat Himsh yang sedang menjemur rakyat jelata di
matahari, lalu salah satunya berkata kepada pejabat tadi, kenapa itu wahai
fulan saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah
subhanahu wata’ala akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Ahmad, No
15336, Syu’aib Arna’uth menyatakan marfu’ shahih)
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ حِزَامٍ، أَنَّهُ مَرَّ بِأُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ
الذِّمَّةِ، قَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ بِالشَّامِ، فَقَالَ: مَا هَؤُلَاءِ؟
قَالُوا: بَقِيَ عَلَيْهِمْ شَيْءٌ مِنَ الْخَرَاجِ، فَقَالَ:
أَشْهَدُ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعَذِّبُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ” قَالَ: وَأَمِيرُ النَّاسِ
يَوْمَئِذٍ عُمَيْرُ بْنُ سَعْدٍ عَلَى فِلَسْطِينَ، قَالَ: فَدَخَلَ عَلَيْهِ،
فَحَدَّثَهُ فَخَلَّى سَبِيلَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami
Hisyâm bin ‘Urwah dari bapaknya dari Ibnu Hizam dia pernah melewati orang-orang
dzimmi yang dijemur di bawah matahari di Syam. Lalu dia bertanya, ada apa
dengan mereka? Mereka menjawab, mereka masih memiliki tanggungan khoroj (pajak
yang dibebankan kepada para orang kafir yang berada di bawah kekuasaan Islam).
Lalu (Hakim bin Hizam Radliyallahu’anhuma) berkata; saya bersaksi saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Allah ‘Azzawajalla
pada Hari Kiamat menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia” (Hisyâm
Radliyallahu’anhu) berkata; Amir mereka di Palestina pada waktu itu adalah
‘Umair bin Sa’ad. Hisyâm berkata; lalu (Hakim Radliyallahu’anhu) menemuinya
(‘Umair) dan berbicara kepadanya maka dia (‘Umair) melepaskan mereka(yakni orang
yang dijemur). (HR. Ahmad, No 15330, Syu’aib Arna’uth menyatakan sanadnya shahih
menurut syarat Muslim)
Dari riwayat-riwayat tersebut, sebenarnya bisa dirinci sebagai
berikut:
a. Hisyâm bin Hakim telah mengingkari dan mengingatkan secara
terang-terangan Iyâdl bin Ghanm ketika Iyâdl menyiksa orang di Dariya karena
tidak membayar jizyah (hadits no. 15333), dan Iyâdl mengambil faedah dari
Hisyâm sehingga setelah itu Iyâdl termasuk orang yang mengingkari penyiksaan
terhadap manusia, bahkan dengan terag-terangan, hal ini bisa dilihat dalam
hadits no. 15334 dan hadits no 15336.
b. Pengingkaran Ibnu Hizam terhadap ‘Umair bin Sa’ad ketika menjadi
pejabat Palestina, yang menjemur ahludz dzimmah dalam masalah jizyah
(riwayat no. 15330), beliau melakukan pengingkaran terang-terangan, baru
kemudian masuk menemui ‘Umair dan membahas persoalan tersebut.
c. Hadits-hadits tersebut di atas, semua itu diriwayatkan ‘Urwah
bin Zubair yang menjumpai Hisyâm dan mendengarnya secara langsung sebagaimana
dalam Shahih Muslim, akan tetapi memang ‘Urwah tidak berjumpa dengan Iyâdl yang
wafat pada masa ‘Umar, namun dia mendengar kisah selengkapnya dari Hisyâm yang
menyaksikan langsung kejadian, dan saat itu Hisyâm beserta Iyâdl. Lalu ‘Urwah
menyampaikan kisah tersebut, dan dalam banyak riwayat hanya menyebut Hisyâm
(no. 15330) karena Hisyâm adalah gurunya langsung, adakalanya juga menyebut
Iyâdl sendiri, seperti hadits no. 15334, atau Iyâdl beserta Hisyâm (hadits no.
15336).
Bagaimana bisa difahami haram menasehati penguasa dengan
terang-terangan dengan alasan hadits Iyâdl (yang dho’if atau minimal
dipertentangkan) yakni hadits no. 15333, sementara Iyâdl sendiri (atau Hisyâm
bersama Iyâdl) justru menasehati penguasa, yakni ‘Umair bin Sa’ad, dengan
terang terangan, dalam kasus dan tema yang sama (hadits no. 15336). Lihat pula ‘Umair
bin Sa’ad, tidak mempermasalahkan cara shahabat tersebut mengingkari apa
yang dilakukannya dengan terang-terangan sebelum menemuinya, namun beliau
langsung melepaskan orang yang dijemur tersebut.
Yang lebih ajaib, Syaikh Abdus Salam bin Barjas dalam Mu’âmalatul
Hukkâm fi Dhau’i Al-Kitâb wa As-Sunnah, setelah menguatkan hadits tsb
dengan merujuk al Albani, dengan menyatakannya shahih, bukan hasan sebagaimana
diduga orang, apalagi dho’if, beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah
pokok dalam hal merahasiakan nasehat terhadap penguasa[15].
Bagaimana bisa hal yang pokok dibangun di atas hadits yang diperselisihkan
keshahihannya?
5) Banyak juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa para shahabat
tidaklah mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan, ada pula
sahabat yang memilih menasehati dengan rahasia, ini menunjukkan bahwa
menasehati penguasa, baik dengan terang-terangan atau rahasia adalah hal yang
diperbolehkan syara’. Diantara riwayat tersebut adalah:
a. Ubadah bin Shamit r.a menasehati Mu’awiyyah dengan
terang-terangan dalam kasus riba fadhl
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ
الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ قَالَ كُنْتُ بِالشَّامِ فِي حَلْقَةٍ فِيهَا مُسْلِمُ بْنُ يَسَارٍ
فَجَاءَ أَبُو الْأَشْعَثِ قَالَ قَالُوا أَبُو الْأَشْعَثِ أَبُو الْأَشْعَثِ
فَجَلَسَ فَقُلْتُ لَهُ حَدِّثْ أَخَانَا حَدِيثَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
نَعَمْ غَزَوْنَا غَزَاةً وَعَلَى النَّاسِ مُعَاوِيَةُ فَغَنِمْنَا غَنَائِمَ
كَثِيرَةً فَكَانَ فِيمَا غَنِمْنَا آنِيَةٌ مِنْ فِضَّةٍ فَأَمَرَ مُعَاوِيَةُ
رَجُلًا أَنْ يَبِيعَهَا فِي أَعْطِيَاتِ النَّاسِ فَتَسَارَعَ النَّاسُ فِي
ذَلِكَ فَبَلَغَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ فَقَامَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرِ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ إِلَّا سَوَاءً
بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى فَرَدَّ
النَّاسُ مَا أَخَذُوا فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاوِيَةَ فَقَامَ خَطِيبًا فَقَالَ
أَلَا مَا بَالُ رِجَالٍ يَتَحَدَّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَادِيثَ قَدْ كُنَّا نَشْهَدُهُ وَنَصْحَبُهُ فَلَمْ
نَسْمَعْهَا مِنْهُ فَقَامَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ فَأَعَادَ الْقِصَّةَ ثُمَّ
قَالَ لَنُحَدِّثَنَّ بِمَا سَمِعْنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَرِهَ مُعَاوِيَةُ أَوْ قَالَ وَإِنْ رَغِمَ مَا
أُبَالِي أَنْ لَا أَصْحَبَهُ فِي جُنْدِهِ لَيْلَةً سَوْدَاءَ قَالَ حَمَّادٌ
هَذَا أَوْ نَحْوَهُ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ
جَمِيعًا عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَيُّوبَ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Umar Al Qawariri
telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dia berkata,
“Ketika di negeri Syam, saya mengikuti suatu halaqah (majlis ilmu), ternyata di
situ juga ada Muslim bin Yasar. Tidak lama kemudian Abu Al Asy’ats datang.” Abu
Qilabah melanjutkan, “Lalu orang-orang yang ikut bermajlis berkata, “Abu Al
‘Asy’ats telah datang, Abu Al ‘Asy’ats telah datang!” Ketika ia telah duduk,
maka aku pun berkata kepadanya, “Riwayatkanlah hadits kepada saudara kami,
yaitu hadits Ubadah bin Shamit.” Dia menjawab, “Baiklah. Suatu ketika kami
mengikuti suatu peperangan, dan dalam peperangan tersebut ada juga Mu’awiyah,
lalu kami mendapatkan ghanimah yang melimpah ruah yang di antaranya adalah
wadah yang terbuat dari perak. Mu’awiyah kemudian menyuruh seseorang untuk
menjual wadah tersebut ketika orang-orang menerima pembagian harta ghanimah,
maka mereka beramai-ramai menawarnya, ternyata hal itu sampai di telinga
‘Ubadah bin Shamit, maka ia pun berdiri dan berkata, “Sesungguhnya saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan
jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali jika dengan takaran
yang sama dan tunai, barangsiapa melebihkan, maka dia telah melakukan praktek
riba.” Lantas mereka menolak dan tidak jadi mengambilnya. Dan hal itu
sampai ke telinga Mu’awiyah, maka dia berdiri dan berkhutbah, dia berkata,
“Kenapa ada beberapa lelaki mereka menyampaikan hadits dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal kami telah bersama beliau dan kami tidak
pernah mendengar hal itu dari beliau?” lantas Ubadah bin Shamit berdiri dan
mengulangmi ceritanya. Kemudian dia berkata, “Sungguh, kami akan senantiasa
meriwayatkan apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
walaupun Mu’awiyah tidak menyukainya.” Atau dia berkata, “Saya tidak peduli
padanya walau harus dipecat dari tentaranya ketika berada di malam hari yang
sangat gelap gulita.” Hammad mengatakan, “Ini, atau seperti itu.” Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Abu Umar semuanya dari
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi dari Ayyub dengan isnad seperti ini.” (HR. Muslim).
b. Abu Said Al Khudri r.a mengoreksi Marwan (Amir Madinah) dengan
terang-terangan dalam kasus shalat ‘Ied
Dalam Shahih Bukhory (no. 956), Abu Said al Khudri berkata:
… فَلَمْ يَزَلْ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ
حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ
فِطْرٍ فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ
الصَّلْتِ فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ
فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ
فَقُلْتُ لَهُ غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا
تَعْلَمُ فَقُلْتُ مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ فَقَالَ
إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا
قَبْلَ الصَّلَاةِ
“…Manusia senantiasa melaksanakan (tata cara shalat hari raya)
seperti apa yang beliau (Nabi saw) laksanakan, hingga pada suatu hari aku
keluar bersama Marwan -yang saat itu sebagai Amir di Madinah- pada hari raya
Adlha atau Fithri. Ketika kami sampai di tempat shalat, ternyata di sana sudah
ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash Shalt. Ketika Marwan hendak menaiki
mimbar sebelum pelaksanaan shalat, aku tarik pakaiannya dan dia balik menariknya,
kemudian ia naik dan khuthbah sebelum shalat. Maka aku katakan kepadanya, “Demi
Allah, kamu telah merubah (sunnah)!” Lalu dia menjawab, “Wahai Abu Sa’id. Apa
yang engkau ketahui itu telah berlalu.” Aku katakan, “Demi Allah, apa yang aku
ketahui lebih baik dari apa yang tidak aku ketahui.” Lalu dia berkata,
“Sesungguhnya orang-orang tidak akan duduk (mendengarkan khutbah kami) setelah
shalat. Maka aku buat (khutbah) sebelum shalat.”
c. Umar Bin Khattab r.a dikoreksi secara terang-terangan
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/243 – 244, Dâru
Thayyibah Lin Nasyri wat Tawzî’, Cet. II, Maktabah Syâmilah, menceritakan bahwa
ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas
mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi mahar sebanyak 400 Dirham,
sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas
negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat
itu, dengan perkataannya:
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ
أَنْ يَزِيدُوا النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَتْ:
أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ:
أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا
مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا [النساء: 20] قال:
فقال: اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ رَجَعَ
فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا
النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ
يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ
“Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang manusia dari memberi mahar
buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu
berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah: “ …. sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20) Umar menjawab; “Ya Allah
ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Kemudia Umar pun
meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata: “dahulu aku
melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400 dirham, maka
(sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi dari hartanya sebanyak yang
dia suka”. Mengutip Al Hâfidz Abu Ya’la, Imam Ibnu katsir mengatakan:
sanadnya jayyid qawiy (baik lagi kuat)[16].
Dalam riwayat tersebut Umar r.a tidak mengingkari cara wanita
tersebut menasehatinya dengan terang-terangan, begitu pula sahabat yang lain.
Jika menasehati dg terang-terangan mereka fahami haram, tentulah para sahabat
r.a tidak akan membiarkan peristiwa itu tanpa memberi nasehat pada wanita
tersebut, minimal mereka akan menyatakan: “wahai ibu, ibu memang benar,
namun cara ibu itu haram dilakukan”.
[1] Khawârij, secara harfiah berarti
“mereka yang keluar” , sebutan untuk kelompok yang muncul pada pertengahan abad
ke 7, yang menganggap kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
[2] Dalam riwayat lain hal tersebut dilakukan
terhadap orang yang enggan membayar jizyah: .. ‘Iyadl bin Ghanm melihat rakyat
jelata yang dijemur karena masalah jizyah. Lalu ia berkata; saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah SWT
menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Ahmad, No. 14793)
[3] Musnad Imam Ahmad dengan Tahqîq Syua’ib al
Arna’uth, Mu’assasah Ar Risâlah, Cet. I. 1421 H, Maktabah Syâmilah
[4] هشام ابن حكيم ابن
حزام ابن خويلد ابن أسد القرشي الأسدي صحابي ابن صحابي له ذكر في الصحيحين في حديث
عمر حيث سمعه يقرأ سورة الفرقان مات قبل أبيه ووهم من زعم أنه استشهد بأجنادين
[5] Mursal artinya yang dilepaskan, yang
dilangsungkan. Menurut Musthalahul Hadits, mursal adalah istilah bagi satu
hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in langsung dari Nabi saw dengan
tidak menyebut nama orang (sahabat) yang menceritakan kepadanya.
[8] Dinamakan dengan Shahih Ligahairihi
karena shahihnya hadits tersebut bukan karena sanad hadits tersebut, namun
karena bergabungnya hadits-hadits yang lain kepadanya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا أَبِي، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ زُرْعَةَ، عَنْ
شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ، قَالَ
عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ لِهِشَامِ بْنِ حَكِيمٍ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي
سُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ،
فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
[12] mutaba’ah atau
mutabi’ adalah suatu riwayat yang mengikuti periwayatan orang lain dari guru
yang terdekat atau gurunya guru (hadis yang diriwayatkan oleh periwayat lebih
dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat Nabi, namun tabi’in).
[13] Ibnu Hajar Al
Asqalany, Taqrîbu at Tahdzîb, hal 332: عبد
الحميد ابن إبراهيم الحضرمي أبو تقي بفتح المثناة ثم قاف مكسورة الحمصي صدوق إلا
أنه ذهبت كتبه فساء حفظه.
وأبوه إسحاق بن إبراهيم بن زبريق ضعيف جدا ، قال
النسائي : ” ليس بثقة ” . وقال أبو داود : ” ليس بشيء ” وكذبه محدث حمص محمد بن
عوف الطائي وهو أعرف بأهل بلده ا
(“Dan ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif
jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud mengatakannya, “Bukan
apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang
merupakan orang yang paling tahu tentang penduduk negerinya sendiri
menganggapnya pendusta.)
[15] وهذا الحديث أصل في إخفاء نصيحة السلطان، وأن الناصح إذا قام بالنصح على
هذا الوجه، فقد برىء وخلت ذمته من التبعة …
[16] Walaupun Syaikh al
Albany dalam Irwa’ul Ghalil (6/348) mendho’ifkannya, namun pendho’ifan al
Albani tidak kemudian memastikan bahwa Al Hâfidz Abu Ya’la keliru dalam menilai
sanad riwayat ini.
Komentar
Posting Komentar