BENARKAH ISRAEL TAK BISA DIKALAHKAN ?
Syabab.Com - Salah satu argumentasi yang sering dilontarkan oleh
pihak-pihak yang ingin menghentikan perjuangan membebaskan Palestina adalah
anggapan bahwa Israel adalah negara yang kuat. Fakta di lapangan menunjukkan
sebaliknya. Israel adalah negara yang sangat kecil yang tidak memiliki
kedalaman strategis. Sebuah pesawat tempur jet hanya dapat terbang di seluruh
Israel (sejauh 40 mil laut dari Sungai Yordan ke Laut Mediterania) dalam waktu
empat menit. Tidak memiliki tentara regular yang besar karena penduduknya
harus mengandalkan cadangan. Jumlah Populasi Israel yang kecil menambah
kepekaan terhadap kerugian sipil dan militer.
Israel, dari awal, mengandalkan
migrasi dari berbagai kawasan dunia . Di masa lalu memang banyak yang
bermigrasi ke Israel, namun saat ini kecenderungan ini terbalik. Karena
kekhawatiran keamanan , semakin meningkat jumlah warga Israel ingin
meninggalkan Israel. Sekarang ini , lebih banyak warga Israel yang pindah ke
Eropa dan Amerika Serikat daripada sebaliknya.
Dari segi motivasi tentara Israel
sangat lemah. Padahal motifasi inilah sangat menentukan kemenangan dalam
perang. Tentara-tentara muda tidak mengalami pergulatan ideologis seperti
di awal-awal pendirian Israel. Mereka juga banyak bermigrasi karena ingin
mendapat kenyamanan hidup seperti perumahan gratis. Namun, mereka pasti
berpikir seribu kali, ketika harus mempertaruhkan nyawa mereka. Terdapat
fakta-fakta bagaimana prajurit Israel tampak ketakutan menghadapi rudal-rudal
yang diluncurkan dari Gaza.
Pasukan konvensional Israel terdiri
dari hanya memiliki 176.000 tentara aktif dengan 500.000 tentara
cadangan. Persenjataan -yang banyak yang dibeli dari AS- meliputi 600
pesawat tempur. Sementara penduduk Israel hanya 7,5 juta.
Bandingkan dengan Mesir memiliki 240
pesawat tempur F-16 dari total 1200 pesawat udara. Mesir juga memiliki 450.000
tentera reguler. Sementara Turki memiliki 700 jet tempur dengan tentara aktif
yang berjumlaah 400.000 personel.
Jumlah tentara regular ini tentu
semakin kalau ditambah dengan pasukan cadangan yang bisa diambil dari total
penduduk Mesir yang berjumlah 77 juta. Ditambah lagi dengan tentara
cadangan dari 72 juta total penduduk Turki.
Persoalan umat Islam sekarang
tinggal satu, adakah komando yang mau menggerakkan tentara-tentara regular
dengan persenjataannya yang tidak kalah dengan Israel. Tentara regular ini akan
didukung oleh jutaan umat Islam yang siap jihad fi sabillah membebaskan
Palestina. Motifasi tentara Islam ini juga sangat kuat didasarkan pada aqidah
Islam dan kerinduan syahid fi sabilillah.
Komando ini seharusnya muncul dari
penguasa Mesir , Turki, Saudi dan Iran. Namun karena hampir seluruh penguasa
Arab dan militernya memberikan loyalitasnya kepada Amerika,hal ini sangat sulit
diharapkan. Karena itu penggulingan penguasa pengecut ini dan menggantikannya
dengan Kholifah yang akan menerapkan sistem Khilafah menjadi sangat penting.
Sebab hanya dengan menggerakan tentara lah Israel akan bisa dikalahkan hingga
ke akar-akarnya.
Mitos Sejarah
Terdapat mitos sejarah yang selalu
diulang-ulang untuk menerima keberadaan aggressor Israel. Negara ini –Israel-
tidak pernah terkalahkan dan terbukti dengan kemenangannya di 4 perang, maka
dunia islam harus menerima kenyataan ini bahwa keberadaan israel adalah suatu
keniscayaan.Sejak berdiri di tahun 1948, Israel dan militernya selalu diliputi
mitos sebagai kekuatan yang tak terkalahkan. Menariknya, mitos tersebut tidak
dimotori oleh Israel sendiri tapi justru oleh para pemimpin pengkhianat yang
menguasai umat Islam.
Kinerja militer Israel pada perang
1948, 1956, 1967, dan 1973 melawan umat Islam sering dikutip sebagai
superioritas militer Israel. Implikasinya, konflik melawan Israel secara
langsung sering dianggap oleh negara-negara Arab sebagai strategi yang tidak
menguntungkan, sehingga mereka terpaksa untuk bernegosiasi dengan Israel.
Konsekuensi dari negosiasi tentunya adalah pengakuan terhadap kedaulatan dan
keberadaan Israel melalui proses perdamaian. Dalam merangkum fakta kekuatan
militer Israel, kita perlu mengingat pertanyaan penting: Apa tujuan pembuatan
dan penyebaran mitos ini?
Perang 1948- Pendirian Israel
Perang 1948 berujung pada pendirian
negara Israel. Secara sekilas, sulit dipahami bagaimana mungkin 40 juta
penduduk Arab tidak mampu menundukkan 600,000 orang Yahudi. Studi mendalam menunjukkan
bahwa pembelaan terhadap nasib palestina justru melahirkan pendirian Israel itu
sendiri.
Pembelaan terhadap Palestina
diwakili terutama oleh Raja Abdullah dari Yordania Raya, Raja Farook dari
Mesir, dan Mufti Palestina, dimana semuanya adalah penguasa muslim yang lemah
dan dimanipulasi oleh Inggris. Raja Abdullah yang dipandang sebagai pembela
rakyat Palestina, sejatinya adalah kebohongan. Telah diketahui bahwa dia dan
Ben Gurion (Perdana Menteri Israel Pertama) adalah sesama teman semasa belajar
di Istanbul dan dalam pertemuan rahasia, Abdullah (yang kemudian menjadi
penguasa Yordania) telah mengakui keberadaan Israel dan mendapat imbalan untuk
menguasai wilayah yang dihuni mayoritas bangsa Arab Palestina.
Abdullah memiliki Legiun Arab, suatu
unit militer yang terdiri dari 4500 prajurit terlatih yang dipimpin oleh
perwira Inggris bernama Jendral John Glubb. Dalam biografinya, Glubb mengatakan
bahwa dia diperintah secara tegas untuk tidak memasuki daerah yang dikontrol
oleh Yahudi. Mesir juga justru memperlemah serangan terhadap Israel ketika
Nakrashi Pasha, perdana menteri Mesir justru mengirim tentara relawan yang baru
saja diorganisir di bulan Januari pada tahun itu. Yordania juga memperlambat
kedatangan pasukan Irak yang memasuki wilayahnya sehingga serangan terhadap
Israel pun dimentahkan. Ini sebabnya ketika seorang Ulama yang buta matanya
dihadirkan untuk mengangkat semangat Legiun Arab, Ulama tersebut mempermalukan
Raja Abdullah ketika sang ulama berkata,’ Wahai Tentara! Andai saja kalian adalah
Tentara Kami!” (ini menunjukkan bahwa tentara Legiun Arab sebenarnya tidak lain
adalah tentara Inggris).
Meskipun satuan tempur Muslim
berjumlah 40 ribu serdadu, hanya 10 ribu saja yang terlatih baik. Sementara itu
kekuatan Zionis Israel terdiri dari 30 ribu tentara, dimana 10 ribu orang untuk
pertahanan lokal dan 25 ribu lainnya untuk penjagaan wilayah. Disamping itu
sekitar 3000 teroris Irgun dan Stern memiliki senjata lengkap dari AS dan
Inggris. Meski tentara Israel memang terlatih, pengkhianatan penguasa muslimlah
yang justru memastikan kemenangan Yahudi di Palestina.
Krisis Kanal Suez tahun 1956
Konflik ini sebenarnya bukan
bertujuan untuk membebaskan palestina namun adalah konflik antara Inggris
melawan AS untuk mengontrol kanal Suez.
AS melihat Mesir sebagai sekutu
strategis demi menancapkan pengaruh di Timur Tengah. Dengan CIA, AS mengatur
penjatuhan rezim Pro Inggris Raja Farook pada tahun 1952 dengan menaikkan
perwira militer yang dipimpin oleh Jamal Abdul Nasser. CIA melakukan proyek
yang dikenal sebagai proyek ‘Mencari Muslim ala Billy Graham’ di tahun 1951.
Mike Copeland, intel CIA merilis informasi rahasia di biografinya pada tahun
1989 yang berjudul The Game Player yang menceritakan kisah sukses CIA dalam
mengkudeta boneka Inggris raja Farook. Copeland yang merancang kudeta ini
mengatakan bahwa ‘CIA membutuhkan figur yang kharismatik yang bisa
mengendalikan dan membelokkan sentimen anti Amerika yang tengah menggunung saat
itu.’ Dia juga menjelaskan bahwa CIA dan Nasser berada dalam perjanjian dengan
Israel. Bagi Nasser, seruan perang terhadap Israel tidaklah penting. Prioritas
Nasser adalah menghentikan penguasaan Inggris terhadap zone kanal Suez. Musuh
Nasser adalah Inggris, bukan Israel.
Di tahun 1956, Nasser menjalankan
perintah Amerika untuk menasionalisasi Kanal Suez. Sebagai jawabannya, Inggris
menarik Perancis dan Israel untuk terlibat. Ini terlihat dari ungkapan
sejarawan Corelli Barnett dalam bukunya ‘Jatuhnya Kekuasaan Inggris’ , yaitu
‘Perancis memusuhi Nasser karena Mesir membantu pemberontak Aljazair dan
memiliki keterikatan emosi dengan kanal Suez. Bukankah sejatinya adalah
Perancis yang membangun kanal Suez. Israel juga memiliki kepentingan melawan
Nasser karena Fedayeen Palestina yang menyerang Israel dan juga blokade Mesir
terhadap selat Tiran.’ Maka Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat
rencana rahasia bersama Perancis dan Israel [8]. Barnett mengatakan bahwa
konflik dipicu ketika ‘Israel akan menyerang Mesir dari semenanjung Sinai.’
Setelah itu ‘Inggris dan Perancis akan memberikan ultimatum bagi semua pihak
untuk menghentikan perang atau mereka akan terjun dan terlibat demi melindungi
Kanal Suez.’ [9]
AS dan Rusia lalu melakukan tekanan
diplomatik terhadap Inggris untuk mundur. Rusia secara langsung mengancam Paris
dan London dengan serangan nuklir. Tekanan internasional yang luarbiasa ini
memaksa Inggris dan Perancis untuk meninggalkan Mesir. Pemerintahan AS dibawah
Eisenhower juga mengancam Israel dengan sangsi ekonomi apabila Israel tidak
mundur dari wilayah Mesir yang ia duduki, suatu hal yang akan sangat merugikan
Israel kalau ancaman ini tidak diindahkan. Akhirnya, pemenang dari konflik ini
tidak lain adalah AS yang akhirnya berhasil mendominasi percaturan politik
timur tengah.
Perang 6-Hari 1967
Ini adalah perang yang mewakili
babak baru konflik antara Inggris dan Amerika dalam persaingan untuk mengontrol
Timur Tengah. Meskipun Inggris telah kehilangan kuku di wilayah ini selama 11
tahun, ia masih memiliki pengaruh yang cukup penting terutama dengan anteknya
di Yordania, Syria, dan Israel. Untuk melemahkan Nasser, Inggris berusaha
menarik Israel dan menyeret Mesir kedalam perang dimana Israel akan menguasai
wilayah yang bisa dipakai sebagai negosiasi dalam pertukaran tanah demi
perjanjian damai. Pada tanggal 5 juni 1967, Israel melakukan penyerangan
mendadak yang menghancurkan 60% angkatan udara Mesir dan 66% pesawat tempur
milik Syria dan Yordania.
Dari sisi Yordania, Isael berhasil
menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Raja Hussein, sebelum perang dimulai,
telah memposisikan satuan tempurnya di wilayah yang jauh dari wilayah
pertempuran. Dalam waktu 48 jam, Israel telah menguasai kota-kota di Tepi Barat
dan sebagian besar serdadu Yordania yang tewas ditembaki Israel, berada dalam
posisi mengundurkan diri. Disamping itu, Israel juga menguasai dataran tinggi
Golan di hari ke 6. Anehnya, saat berita jatuhnya dataran Golan ke tangan
Israel dikeluarkan oleh radio Syria, pasukan Syria justru jelas-jelas masih
menguasai dataran Golan! Israel juga menghantam boneka AS yaitu Nasser dengan
menguasai Sharm al Sheikh dan jalur perairan selat Tiran. Tujuan untuk
melemahkan Nasser telah tercapai sehingga membantu kepentingan Inggris. Israel
berhasil menguasai daerah tambahan dan bisa menggunakannya sebagai asset untuk
tawar menawar di meja perundingan, dimana status penguasaan tanah pada tahun
1967 selalu diangkat ketimbang status pada tahun 1948.
Perang 1973: Pengkhianatan oleh Para
Penguasa Muslim
Perang dadakan yang dicetuskan oleh
Mesir dan Syria pada Oktober 1973 melawan Israel menunjukkan bahwa perang
tersebut memiliki tujuan tertentu dan tidak berhubungan untuk membebaskan
Palestina, bahkan bukan juga untuk membebaskan dataran tinggi Golan (yang
sebenarnya ditujukan sebagai alat perdamaian antara Syria dan Israel). Tujuan
perang 1973 adalah untuk memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al Assad,
sebagai para pemimpin yang relatif baru di masanya yang rawan untuk dikudeta
secara militer. Khususnya Sadat, ia berada dalam tekanan untuk menggantikan
pemimpin kharismatik Nasser.
Mohammed Heikal, editor Al Ahram
dari 1957 – 1974, yang menyaksikan perang, mengungkapkan motif Anwar Sadat
dalam bukunya ‘Jalan menuju Ramadhan’ dimana ia mengutip perasaan Sadat hingga
tercetusnya perang. Heikal menulis bahwa Mohammed Fowzi, salah satu Jendral
Mesir, mengatakan dengan beranologi duel Samurai bahwa Mesir terjun ke dalam
perang dengan menggunakan –secara sengaja—pedang yang pendek. Artinya, Mesir
memang memiliki tujuan atau motif tertentu dengan melakukan perang secara terbatas.
Anwar Sadat memang tidak pernah
berniat untuk berperang melawan Israel terlalu lama. Itu sebabnya, ia justru
mencari perdamaian dengan Israel ketika pasukan Mesir berada di atas angin
dalam pertempuran. Dalam 24 jam pertama, pasukan tempur Mesir menghajar benteng
Bar-Lev, yang digembar-gemborkan sebagai pertahanan solid, dengan jumlah korban
hanya 68 prajurit. Sementara itu 2 divisi Syria dan 500 tank menyapu dataran
tinggi Golan dan merebut kembali wilayah yang dikuasai Israel pada tahun 1967.
Dalam dua hari, Israel kehilangan 48 pesawat termpur dan 500 tank. Di tengah
peperangan, Sadat mengirim pesan pada presiden AS bahwa tujuan perang ini
adalah ‘perdamaian di Timur Tengah dan bukan perjanjian setengah-setengah.’
Lebih jauh lagi, kalau Israel bersedia melepaskan wilayah Mesir yang mereka
duduki, maka Mesir akan melakukan perjanjian damai dibawah PBB atau pihak yang
netral.
Maka meskipun, Sadat memiliki posisi
diatas angin, ia justru ingin bernegosiasi. Penolakan Sadat untuk terus
melanjutkan pertempuran dan meneruskan gelombang penyerangan terhadap Sinai,
ternyata memberik kesempatan pada Israel untuk memobilisir kekuatan dan merebut
kembali wilayahnya dengan bantuan AS. Konflik berakhir 25 Oktober setelah
Israel melanggar perjanjian gencatan senjata sebelumnya.
Semua perang melawan Israel
menunjukkan bahwa penguasa Muslim tidak pernah serius melawan Israel dan tidak
pernah bertujuan untuk membebaskan Palestina. Kemenangan Israel sebenarnya
adalah mitos yang dipromosikan untuk melemahkan semangat umat Islam.
Pengkhianatan sebenarnya dilakukan oleh para penguasa muslim yang berkolaborasi
untuk membangun dan menyebarkan mitos keunggulan Israel. Perang di dunia Arab
menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim tidak pernah disatukan dalam peperangan
dalam satu tujuan: menghancurkan Israel. Sebaliknya, setiap peperangan
dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, kecuali pembebasan Palestina dan
penghapusan Israel. Maka tujuan dalam mengancam Israel bukanlah tujuan hakiki,
meskipun sebenarnya pasukan Arab memiliki potensi yang luar
biasa.[fw/htipress/syabab.com]
Komentar
Posting Komentar