MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS
Membangun Keluarga
Ideologis
Oleh: Nurfaizah dan
Najmah
Musuh-musuh Islam memang tidak
menghendaki kaum Muslim berpegang teguh pada Islam secara utuh. Mereka tidak
akan pernah tinggal diam terhadap upaya kaum Muslim untuk menegakkan syariat
Islam. Mereka berusaha keras untuk memisahkan kaum Muslim dari syariat Islam.
Mereka terus berupaya mengaburkan syariat Islam dan mengikis sedikit demi
sedikit syariat Islam dari kehidupan kaum Muslim.
Ternyata usaha
mereka berhasil. Sedikit demi sedikit syariat Islam ditinggalkan oleh umatnya
sehingga yang tersisa hanyalah aturan yang terkait dengan ibadah ritual dan
keluarga. Namun, tidak berhenti sampai di sana, mereka pun terus
berupaya untuk merusak hukum-hukum keluarga dalam rangka merusak tatanan
kehidupan keluarga Muslim yang masih tersisa.
Berawal dari Feminisme
Munculnya feminisme
tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan
Barat menuntut kebebasannya. Karena pada abad Pertengahan kaum perempuan tidak
memiliki tempat ditengah masyarakat, maka mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu
pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah Barat dianggap tidak memihak kaum
perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi
mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita
diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu dianggap sebagai sumber godaan
dan kejahatan.
Kemudian muncul
renaisance, yang berintikan semangat pemberontakan terhadap dominasi gereja,
kemudian diikuti dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Industri. Inilah puncak
reaksi masyarakat terhadap dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan
menindas rakyat, di bawah legitimasi gereja. Inilah pula awal proses
liberalisasi dan demokratisasi kehidupan di Barat. Perubahan ini tidak hanya
berpengaruh pada berubahnya sistem feodal menjadi sistem kapitalis sekular,
tetapi ikut menginspirasikan kaum perempuan untuk bangkit memperjuangkan
hak-haknya.
Kondisi ini
dipermudah dengan seruan kaum kapitalis sebagai golongan pemilik kapital yang
mendorong kaum perempuan bekerja di luar rumah. Ketika kaum perempuan bekerja
di luar rumah, mereka merasa terasing dengan kondisi seperti ini. Mereka
berurusan dengan pabrik-pabrik, pusat-pusat bisnis, dan dengan kaum
lelaki sebagai pihak yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya,
mereka bersaing dengan laki-laki dan berusaha merebut posisi kaum laki-laki
untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan
nilai serta tradisi. Kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak
dengan kaum laki-laki termasuk dalam urusan kebebasan hubungan seksual tanpa
perkawinan.
Musuh-musuh Islam
berupaya untuk mentransfer kebobrokan perilaku masyarakat semacam ini ke Dunia
Islam untuk menghancurkan sistem keluarga Islam dan menggantinya dengan
perilaku yang sama dengan mereka. Menyebarnya ide feminisme di Dunia Islam
didorong oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi kaum perempuan, termasuk di
yang ada di negeri-negeri Muslim. Kekerasan, kemiskinan, dan
ketidakadilan/diskriminasi sering disebut-sebut sebagai permasalahan krusial
yang dialami perempuan dari masa ke masa.
Dari fakta tersebut,
muncullah berbagai tuntutan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Pasalnya,
perubahan masyarakat dari sistem feodal menjadi sistem kapitalis ternyata tidak
serta-merta mengubah nasib kaum perempuan menjadi lebih baik. Bahkan dengan
sistem kapitalis ini, nasib kaum perempuan semakin terpuruk. Kemiskinan
struktural yang terjadi mengharuskan mereka ikut berperan dalam menopang
ekonomi keluarga. Pada saat yang sama, mereka harus berperan dalam sektor
domestiknya. Inilah yang menurut kalangan feminis dianggap sebagai sebuah
ketimpangan, ketidakadilan, atau disparitas jender.
Untuk itu, salah
satu perjuangan dari kaum feminis radikal adalah menyerang dan menolak
institusi keluarga dan sistem patriarkal yang dalam pandangan mereka merupakan
simbol dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Feminisme berupaya mengubah
struktur pembagian tugas kehidupan menjadi kebebasan menentukan tugas antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa memilih menjadi ibu, ayah, keduanya
sekaligus, atau tidak sama sekali. Sebaliknya, seorang laki-laki bisa menjadi
seorang ‘ibu’, ayah, keduanya sekaligus atau tidak sama sekali; tanpa ada
batasan; tidak ada tolok ukur dan standar yang pasti.
Ukuran nilai dan kemaslahatan dikembalikan
kepada masing-masing orang. Caranya adalah dengan mengubah tata nilai patriarkal
di tengah masyarakat—seperti nilai kepatuhan, penderitaan tanpa protes, dan
submissin (mental bawahan). Lalu konsep jender pun berubah. Pada akhirnya, pembagian
peran pun akan berubah sehingga terwujud persamaan dan kesetaraan di tengah
keluarga dan masyarakat. Itulah yang disebut dengan masyarakat ideal dalam
kacamata kaum feminis, yaitu sebuah masyarakat yang berkesetaraan jender;
laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
dalam semua aktivitas di semua level (domestik atau publik) dan tidak mendapat
halangan untuk menikmati hasil-hasilnya.
Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Apa yang dihasilkan oleh feminisme telah membawa
dampak buruk. Fakta menunjukkan, bahwa pengaruh feminisme sekular telah membawa
kerusakan bagi tatanan fungsi dan peran perempuan dalam keluarga dan
masyarakat, sekaligus mengakibatkan hancurnya tatanan sosial masyarakat secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena kebebasan yang ditawarkan feminisme
berakibat pada runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian,
fenomena un wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya
kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex, pelecehan
seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain. Walhasil, yang terbentuk tentu
saja bukan masyarakat yang kokoh, tetapi sebuah masyarakat yang penuh dengan
konflik yang tidak memberikan ketenangan dan kepastian, karena berbagai
penyimpangan banyak terjadi di dalamnya.
Membangun Keluarga Ideologis
Motivasi awal yang
benar merupakan pondasi untuk membangun kehidupan rumahtangga yang kokoh. Dalam
hal ini, Islam menetapkan bahwa motivasi seseorang melangsungkan kehidupan
suami-istri adalah untuk melaksanakan salah satu dari bentuk ibadah kita kepada
Allah Swt. Kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara seorang
suami dan istrinya. Suami menjadi sahabat bagi istrinya dan istri menjadi
sahabat bagi suaminya secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. Allah
telah menjadikan pernikahan sebagai tempat ketenangan bagi pasangan
suami-istri, sebagaimana firman-Nya:
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakan-Nya untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri—supaya kalian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya—dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS ar-Rum [30]: 21).
Bagaimana kita dapat membentuk
keluarga yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt., yakni sebuah keluarga yang
berbasiskan ideologi Islam?
Pertama, pondasi
dasar dari pernikahan tersebut adalah akidah Islam bukan manfaat ataupun
kepentingan. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan, maka segala
sesuatu yang terjadi dalam keluarga tersebut dikembalikan pada Islam
semata.
Kedua, adanya visi dan
misi yang sama antara suami-istri tentang hakikat dan tujuan hidup dan
berkeluarga dalam Islam.
Ketiga, memahami dengan
benar fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya semaksimal
mungkin menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, menjadikan
Islam dan syariatnya sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi
dalam kehidupan berkeluarganya. Halal-haram dijadikan landasan dalam berbuat,
bukan hawa nafsu.
Kelima, menumbuhsuburkan
amar makruf nahi mungkar di antara sesama anggota keluarga sehingga seluruh
anggota keluarga senantiasa berjalan pada rel Islam.
Keenam, menghiasi
rumah dengan membiasakan melakukan amalan-amalan sunnah, seperti membaca
al-Quran, bersedekah, mengerjakan shalat sunnah, dan sebagainya.
Ketujuh,
senantiasa memanjatkan doa kepada Allah dan bersabar dalam situasi
apapun.
Peran Penting Keluarga
Itulah bangunan
dasar untuk membentuk keluarga yang kokoh dan ideologis. Lebih dari itu,
bangunan keluarga tersebut akan mencapai kekuatan yang hakiki jika berhasil
berpengaruh di tengah-tengah lingkungannya, karena keluarga memiliki peran yang
penting dalam pembentukan sebuah masyarakat. Keluarga adalah pranata awal
pendidikan primer bagi seorang manusia. Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat
merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental, maka keluarga adalah pemberi
pengaruh pertama.
Keluarga memiliki
peran strategis dalam proses pendidikan anak, bahkan umat manusia. Keluarga
lebih kuat pengaruhnya dari sendi-sendi yang lain. Sejak awal masa
kehidupannya, seorang manusia lebih banyak mendapatkan pengaruh dari keluarga.
Sebab, waktu yang dihabiskan di keluarga lebih banyak daripada di tempat-tempat
lain.
Pada hakikatnya
pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan
dan pengembangan kepribadian serta penguasaan tsaqâfah Islam dilakukan
melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang
ada di keluarga, terutama ibu dan bapaknya.
Begitu pentingnya
pembinaan dan pendidikan di dalam keluarga, pendidikan anak sejak dini dalam
keluarga akan tertanam secara kuat di dalam diri seorang anak. Sebab, pengalaman
hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri-ciri khas, baik
dalam tubuh maupun pemikiran, yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya
sesudah masa itu.
Untuk itu, keluarga
secara langsung ataupun tidak turut mempengaruhi jatidiri sebuah masyarakat.
Dari keluargalah muncul generasi manusia yang bermartabat, memiliki rasa kasih
sayang, dan saling tolong-menolong di antara mereka. Dengan begitu, akan
terciptalah tatanan kehidupan masyarakat yang kuat, yang didukung keluarga-keluarga
yang harmonis dan berkasih sayang, karena memiliki pemikiran ideologis sebagai
pondasinya.
Kebutuhan Sistem Politik yang Kondusif
Akhirnya, hal
penting lainnya yang tidak bisa kita abaikan dalam pembentukan keluarga yang
kuat dan ideologis adalah peran sistem yang mendukung hal tersebut. Sebab,
bagaimanapun kuatnya kita memproteksi keluarga dengan ide-ide Islam dan
pembinaan yang intensif kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya, apabila
sistem yang berlaku di tengah kehidupan keluarga itu tidak menggunakan
aturan-aturan Islam, maka sulit bagi bangunan keluarga yang kokoh itu bisa
bertahan. Sebab, gempuran dari luar akan senantiasa menghadang, baik itu berupa
pemikiran-pemikiran yang bertentangan yang bisa mempengaruhi tingkah laku dan
moral anggota keluarga maupun rintangan berupa kesulitan ekonomi yang berdampak
pada sulitnya pemenuhan kebutuhan fisik dan non-fisik anggota keluarga.
Dari sinilah biasanya muncul tindak kriminalitas dan penyimpangan sosial
lainnya.
Untuk itu, penataan
kehidupan yang benar berkaitan dengan semua urusan masyarakat sangat
diperlukan. Dengan sistem politik Islamlah semua ini bisa terwujud.
Sistem politik Islam
memiliki kemampuan untuk memberikan solusi atas semua persoalan, baik
menyangkut persoalan individu, keluarga, maupun masyarakat. Sistem Islam mampu
membendung serangan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum Muslim dan menjaga
masyarakat agar tetap dalam keimanan dan tatanan yang sesuai dengan aturan
Islam. Hal ini dilakukan dengan cara penerapan aturan-aturan Islam yang
komprehensif. Sebab, sistem politik Islam itu sendiri intinya adalah bagaimana
menciptakan pengaturan urusan masyarakat sesusai dengan tuntunan syariat Islam
hingga tercipta tatanan masyarakat yang baik, damai, dan sejahtera; yang
dipenuhi dengan ampunan dan keridhaan Allah Swt.
Membendung Penghancuran Keluarga
Muslim
Untuk membendung
upaya penghancuran keluarga Muslim dan Islam pada umumnya, maka kaum Muslim
secara bersama-sama dituntut untuk memiliki kesadaran dalam memahami Islam
secara menyeluruh dari segala aspeknya. Dengan begitu, kaum Muslim akan mampu
mencermati dan mengantisipasi bahaya ide-ide asing yang bertentangan
dengan Islam seperti feminisme, kesetaraan jender, emansipasi,
liberalisme, dan sebagainya. Pemahaman Islam seperti ini bisa kita peroleh
dengan cara membina diri kita dan kaum Muslim secara terus-menerus dengan
tsaqâfah Islam. Tsaqâfah Islam tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan
atau pijakan dalam menyikapi berbagai pemikiran dan pemahaman asing yang
menyerang. Hal ini harus dibarengi dengan senantiasa mengikuti berita dan
fakta-fakta yang berkembang, kemudian menyikapinya dan memberikan solusi sesuai
dengan Islam.
Selain itu, penting
untuk melibatkan diri secara aktif dalam upaya menyebarkan ide-ide Islam
tersebut ke tengah-tengah masyarakat. Sebab, membentuk keluarga yang kokoh
tidak cukup dilakukan oleh individu di dalam sebuah keluarga semata. Akan
tetapi, hal itu juga harus ditempuh secara politis, sistimatis, dan ideologis
dalam suatu gerakan yang terorganisasi secara rapi. Sebab, kaum feminis pun,
dalam menghancurkan keluarga Muslim, melakukannya bukan hanya sebatas
aktivitas penyebaran ide secara individual semata, tetapi melalui sebuah
gerakan yang memiliki kekuatan besar dan didukung oleh ideologi tertentu (kapitalis
sekular) di belakangnya.
Oleh karena itu,
yang perlu menjadi agenda kaum Muslim saat ini untuk membendung upaya
penghancuran keluarga Muslim adalah bagaimana menghadirkan Islam dengan
pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh dalam pengaturan umat secara nyata,
baik dalam tingkat individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan
begtiu, kaum Muslim bisa keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit
kembali sebagai umat terbaik (khayr al-ummah), yang tegak di atas
keluarga-keluarga yang kuat. d
..**Membangun Keluarga Ideologis = Pilar
Penegak Syariah & Khilafah**..
KELUARGA IDEOLOGIS
·
Ideologi Islam
sebagai qaidah dan qiyadah berpikir dalam kehidupan termasuk dalam keluarga
Tujuan: Keluarga sebagai wadah untuk melahirkan pejuang-pejuang Islam terdepan
untuk menegakkan Syari’ah Khilafah
·
Petunjuk Rasulullah saw yang bersabda:
- «...فَاظْفَرْ بِذاَتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ»
Maka pilihlah yang memiliki kebaikan agama, maka tanganmu akan
selamat (HR Bukhari).
Sesungguhnya isteri yang salehah merupakan penolong bagi suaminya
di dalam mengemban dakwah, mendorongnya kepada kebaikan dan kepada apa saja
yang diridhai oleh Allah SWT dan Rasulullah saw.
Rasulullah saw yang bersabda:
- «إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»
Jika datang kepadamu orang yang engkau ridhai akhlak dan agamanya
maka kawinkan ia, jika kamu tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah dan
kerusakan yang besar di muka bumi (HR Ibn Majah)
para suami dan para isteri agar senantiasa mengingat dua hadis
Rasulullah saw yang termaktub di dalam Sunan at-Tirmidzi:
Hadis pertama:
- «لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا»
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada
seseorang lainnya sungguh aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya
à Untuk menunjukkan besarnya hak suami terhadap isterinya.
Hadis kedua:
- «أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا»
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya dan yang paling baik dari kamu adalah yang paling baik akhlaknya
kepada isteri mereka
àUntuk menunjukkan keagungan ri’ayah yang baik yang dituntut dari
suami kepada isterinya.
PERNIKAHAN …
SALAH SATU HUBUNGAN YANG MUNCUL SEBAGAI AKIBAT DARI TERJADINYA
INTERAKSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN . PANGKAL /POKOK DARI HUBUNGAN-HUBUNGAN YANG
LAHIR SEBAGAI IMPLIKASI DARI INTERAKSI YANG BERSIFAT SEKSUAL. PENGATURAN
HUBUNGAN JINSIYAH LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN SECARA KHAS. MERUPAKAN JALAN YANG
SAH BAGI MANUSIA UNTUK MEMPEROLEH KETURUNAN DAN MEMPERBANYAK JENIS MANUSIA.
Pernikahan adalah akad atau ikatan antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga sebagai suami istri sesuai
dengan ketentuan syariat Islam yang :
Pemenuhan Kebutuhan Fitrah insani
Ibadah
Diberi kurnia
Berhak ditolong Allah SWT
Hak-hak wanita menuju ke pernikahan
- Hak seorang wanita untuk menerima atau menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya.
- Pernikahan harus ada keridhaan/izin calon mempelai wanita
- Seorang wanita tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah jika ia telah memiliki calon suami. Tindakan menghalang-halanginya adalah haram dan pelakunya dipandang fasik.
- Seorang wanita yang tidak dimintai izinnya ketika hendak dinikahkan, maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berubah pikiran atau ridha.
Pernikahan yang disyariatkan Islam
- Islam telah mengatur pernikahan dengan aturan yang sangat rinci dan sempurna, melalui proses yang menjaga kesucian masing-masing pihak dimulai dengan :
ü Khitbah (lamaran-ta’aruf)
ü Akad nikah
ü Walimatul-Ursy
KHITBAH
- Melamar perempuan untuk di jadikan sebagai istri
- Tahapan untuk saling mengenal menuju pernikahan
- Aturan yang perlu di perhatikan:
- Kebolehan melihat perempuan yang di lamar untuk menimbulkan kecendrungan segera menikah(bukan untuk menyuburkan aspek jinsiyah)
- Batas waktu masa khitbah tidak ditetapkan (bila kecendrungan menikah sudah kuat maka segera menikah)
- Tidak boleh berkhalwat,tabarruj dan mengumbar aspek jinsiyah
AKAD NIKAH
1. SYARAT IN-IQOD
- Syarat-syarat yang menjadikan terjadinya serah terima antar 2 pihak (wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki) sebagai PERNIKAHAN . Dan jika tidak terpenuhi maka dianggap BATIL (BATAL = TIDAK TERJADI AKAD NIKAH)
- Ijab qabul dilangsungkan dalam satu majelis
- Kedua belah pihak mendengarkan perkataan satu sama lain sekaligus memahaminya
- Ucapan qabul tidak bertolak belakang dengan ucapan ijab, baik secara keseluruhan atau sebagian
- Syariat telah membolehkan perkawinan di antara kedua pihak yang berakad dengan mempelai wanita seorang muslimah atau ahlul kitab, sedangkan mempelai pria adalah seorang muslim, bukan non-muslim
2. SYARAT SAH NIKAH :
- Syarat-syarat yang menjadikan sahnya pernikahan, jika tidak terpenuhi, maka FASAD (rusak =tidak sah) pernikahan tsb.
- Mempelai wanita adalah wanita yang halal dinikahi.
- Adanya wali
- Kehadiran dua orang saksi muslim
PANDANGAN ISLAM TENTANG WALIMATUL ‘URSY
- Makna bahasa : berkumpul
Makna istilah : perayaan suatu kegembiraaan yang disertai dengan
jamuan makan.
- Hukumnya : Sunnah, sebagai tanda gembira
“Selenggarakanlah walimah, meski hanya dengan seekor kambing” (HR
Bukhari, Muslim dan Ahmad)
“Nabi SAW mengadakan walimah atas (pernikahannya dengan)
sebagian istrinya dengan dua cupak gandum” (HR Bukhari)
“Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah (pernikahannya) dengan
tamar, keju dan samin” (HR Ahmad dan Bukhari)
- Pengumuman
“Beriahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahan di masjid
dan tabuhlah rebana dalam pernikahan itu” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Hak istri dari suaminya
PELAKSANAAN WALIMAH Tetap memperhatikan Hukum Syara’
- Dijauhkan dari hal-hal yang bersifat ‘klenik’.
karena aktivitas-aktivitas tsb tergolong mentaqdiskan
selain Allah SWT musyrik. Dan aktivitas-aktivitas
tsb tidak dicontohkan oleh Rasul.
Dalam Islam ada pembahasan hadharah dan madaniah :
a. Hadharah : sekumpulan persepsi tentang kehidupan
menurut sudut pandang tertentu
b. Madaniah : segala bentuk yang terindra
~ Yang berhubungan dengan hadharah
~ Hasil dari ilmu pengetahuan dan industri
Terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sebenarnya
merupakan tabiat kehidupan manusia, karenanya Islam melarang terjadinya campur
baur (ikhthilat) antara laki-laki dan perempuan, kecuali pada tempat-tempat
yang tidak memungkinkan untuk dipisah dan di dalamnya terhadap hajat syar’iy,
seperti di pasar misalnya. (Ikhthilat : pertemuan dan interaksi).
“Sesungguhnya Nabi SAW pernah mukim di antara Khaibar dan Madinah
selama tiga malam dimana ia mengadakan pesta menjelang berumah tangga dengan
Shafiyah , kemudian aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah
…..Lalu kaum muslimin bertanya ….. Kemudian tatkala Nabi SAW mendengarnya, ia
melangkah ke belakang dan menarik tabir. (HR Bukhari, Muslim
dan Ahmad)
- Pakaian : Tidak berbeda dengan sehari-hari
(dalam arti sesuai dengan syariat Islam)
~ Menutup aurat
QS An-Nuur 31 : Walaa yubdiina ziinatahunna illa maa
dhaharo minha wa liyadribna
bi khumurihinna ‘ala juyubihinna
~ Memakai jilbab
QS Al-Ahzab 59 : Yaa ayyuhannabii, qul liazwajikawa banaatika
wa nisaail mukminin yudniina ‘alaihinna min
jalabiibihinna
- Larangan untuk tabarruj (menampakkan kecantikan dan
perhiasan di hadapan laki-laki asing)
~ Menampakkan kecantikan :
menonjolkan kecantikan sehingga sehingga dapat
mengalihkan perhatian/pandangan dari pandangan
biasa menjadi pandangan syahwat
~ Menampakkan perhiasan :
Memperlihatkan tempat-tempat perhiasan
QS An-Nuur : 31
Tujuan Berkeluarga
- Mewujudkan mawaddah wa rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati (Lihat surat Ar Rûm[30]:21)
- Melanjutkan keturunan dan menghindari dosa (Lihat hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban)
- Mempererat silaturahim
- Sebagai sarana dakwah (Lihat surat At ahrîm[66]:6)
- Menggapai mardhatillâh (ridha Allah) dan masuk sorga bersama (az-Zukhruf:70)
Kehidupan Suami Isteri
Tempat yang penuh kedamaian
- “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya”(TQS:al-A’raaf(7):189)
- “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-ister dari jenismu sendiri,supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara mu kasih dan sayang”(TQS:ar-Ruum(30):21)
as-Sakn = al-ithmi’naan (ketentraman atau kedamaian)
- “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”(TQS:al_baqarah(2):228)
- “Dan bergaullah dengan mereka secara patut (TQS:an-Nisaa’(4):19)
- “Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf”(TQS:al-Baqarah(2):229)
Makna Al-’usyrah (pergaulan):
- al-mukhaalathah wa al-mumaazajah (berinteraksi dan bercampur dengan penuh keakraban dan kedekatan)
- ‘Aasyarahu mu’aaysarah (bergaul dengannya secara akrab)
- Ta’aasyara al-qawm wa I’tasyaruu (suatu kaum saling bergaul diantara mereka secara akrab
Hubungan suami-isteri =Hubungan/ Ikatan Persahabatan BUKAN Ikatan
kontrak atau partner kerja
- Terwujud Sakinah, Mawaddah, warahmah (QS. Ar-Rum : 21)
KELUARGA SAKINAH
- Suami-isteri memahami dan melaksanakan secara maksimal seluruh kewajibannya serta memenuhi seluruh hak-hak pasangannya
- Pergaulan antara keduanya hendaknya lebih dari sekedar kewajiban (pergaulan yang ma’ruf selalu dijaga : lemah-lembut dlm perkataan, tidak membuat cemberut, tidak menampakkan kecenderungan pada yang lain, bersenda gurau dll)
- Penanggung jawab dan Kepemimpinan Rumah tangga tetap ada pada Suami (memutuskan, mengarahkan biduk RT, mendidik anggota keluarga) dengan diwarnai persahabatan bukan diliputi sikat otoriter dan dominasi.
- Kepemimpinan Suami bukan dalam hak kekuasaan dan hak memerintah dalam rumah tangga, sehingga dg demikian isterinya berhak untuk menjawab ucapan suami, berdiskusi serta membahas apa saja yang dikatakannya (QS Al-mujadalah : 1).
KEWAJIBAN DAN HAK SUAMI ISTRI
Kewajiban suami Hak Isteri :
- Memberi nafkah (makanan, pakaian dan tempat tinggal) dengan cara yang ma’ruf dan sesuai kemampuan (QS. Al-Baqarah : 23; QS. Ath-Thalaq : 7)).
- Mempergauli isteri dengan cara yang ma’ruf (QS. An-Nisa:19) termasuk dalam jima’.
- Penanggung jawab dan pemimpin RT (QS. An-Nisa : 34)
- Tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita yang lain (QS. an-Nisa :129)
- Berhias untuk isteri
Kewajiban Isteri Hak suami :
1. Melaksanakan fungsi Ummun wa rabbatul-bait secara maksimal
(haml; wiladah; radha’ah, hadlanah dan pengaturan-pelayanan RT)
2.Taat kepada suaminya secara mutlak dalam hal-hal yang tidak
maksiat kepada Allah SWT (QS. An-Nisa : 3)
3. Memelihara diri dan harta suami saat suami tidak di rumah (QS.
An-Nisa : 3)
4. Meminta izin suami saat keluar rumah
5. Bergaul dengan cara yang ma’ruf
6. Berhias untuk suami
Suami Bersama Istri
- Menjaga iman & taqwa
- Menjaga senantiasa taat pada Allah SWT (giat ibadah, bermuamalah scr islamiy, giat dakwah, makanan-minuman halal, menutup aurat, mendidik anak, berakhlak mulia seperti syukur, sabar, tawakal,memenuhi janji,taubat, baik sangka dsb)
- Menghindari maksiyat
- Saling mengingatkan
Wallahu’alam bishawab
Oleh: Rindyanti Septiana SH.i
HARAM TANPA KHILAFAH LEBIH DARI TIGA HARI
Pengantar
Di kalangan ulama dari semua mazhab dalam Islam tidak ada khilâfiyah
(perbedaan pendapat) dalam masalah kewajiban mengangkat Khalifah. Pasalnya,
kewajiban ini telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat
dan Qaidah
Syar’iyyah. Hanya segelintir ulama—yang menolak kewajiban ini, red.—yang
perkataan dan pendapatnya lâ yu’taddu bihi, tidak diperhitungkan (Mawsû’ah
al-Fiqhiyah, VI/217).
Karena itulah, Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir)
menegaskan, “Mengangkat
seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslim seluruhnya di segala penjuru
dunia. Melaksanakan kewajiban ini—sebagaimana kewajiban manapun yang
difardhukan Allah atas kaum Muslim—adalah perkara yang pasti, tidak ada pilihan
di dalamnya dan tidak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam
melaksanakan kewajiban ini termasuk sebesar-besar maksiat yang
(pelakunya) akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”
(Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 34)
Lalu bagaimana jika jabatan Khilafah kosong, baik karena
khalifahnya meninggal, mengundurkan diri atau diberhentikan? Adakah masa
(jelang waktu) saat kaum Muslim boleh hidup tanpa khalifah, dan kaum Muslim
seluruhnya berdosa apabila masa itu telah berlalu, sementara kaum Muslim masih
juga belum memiliki khalifah?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal
32, yang berbunyi: Apabila jabatan Khilafah kosong karena khalifahnya meninggal atau
mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat seorang
pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari sejak saat kosongnya jabatan
Khilafah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 132).
Kewajiban Paling Penting
Keberadaan Khalifah dalam penegakan syariah merupakan tâj al-furûdh
(mahkota dari semua kewajiban). Artinya, penerapan Islam secara kâffah
(menyeluruh) hingga tercapai kehidupan berkah itu mustahil diwujudkan tanpa
adanya Khalifah dan tegaknya Khilafah. Oleh karena itu, menegakkan Khilafah dan
mengangkat khalifah merupakan kewajiban yang paling penting. Al-Hashkifi
al-Hanafi berkata:
وَنَصْبُهُ
أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ فَلِذَا قَدَمُوهُ عَلىَ دَفْنِ صَاحِبِ الْمِعْجِزَاتِ
Menegakkan Khilafah merupakan kewajiban yang paling penting. Oleh
karena itu, para Sahabat Nabi saw. Mendahulukan kewajiban ini atas
pemakaman jenazah pemilik mukjizat (Rasulullah saw.) (Al-Hashkifi,
ad-Durr
al-Mukhtâr, hlm. 75).
Bahkan lebih tegas lagi, Handzalah bin ar-Rabi’ ra.—sahabat
sekaligus jurutulis Rasulullah saw.—menyebutkan bahwa tanpa Khilafah umat Islam
bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani (Ath-Thabari, Târîkh
at-Thabari, hal. 776).
Umar bin Khaththab ra., sebagaimana yang terdapat dalam Shahîh
al-Bukhâri, hadis nomor 6829, juga pernah menyatakan, “Aku takut
manusia hidup dalam waktu lama (tanpa Khalifah) sehingga ada yang berkata,
‘Saya tidak menemukan had rajam dalam Kitabullah.’ Akibatnya, ia menjadi sesat
karena meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan.”
Hal ini menegaskan bahwa menegakkan Khilafah dan mengangkat
khalifah merupakan kewajiban yang paling penting (ahammu al-wâjibât). Alasannya,
tanpa adanya Khilafah dan Khalifah akan banyak kesesatan di tengah-tengah
masyarakat.
Segera Mengangkat Khalifah
Keberadaan Khalifah begitu pentinga dalam penegakan syariah dan
penjagaan terhadap akidah umat. Dengan begitu, umat terhindar dari kesesatan
seperti yang dikhawatirkan oleh Umar bin Khaththab ra. Karena itulah, generasi
pertama umat Islam, yaitu para Sahabat radhiyallâhu ‘anhum bersegera mengangkat pengganti
Rasulullah saw.—dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum Muslim, bukan sebagai
nabi dan rasul—untuk memimpin negara Khilafah.
Ibnu Qutaibah berkata, “Pada hari yang sama ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar dibaiat
di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj. Kemudian besoknya, pada hari
Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat.” (Ibnu
Qutaibah, Al-Ma’ârif,
hlm. 74).
Amru bin Harits berkata kepada Said bin Zaid, “Apakah Anda
menyaksikan wafatnya Rasulullah saw.?” Said menjawab, “Ya.”
Amru bertanya lagi, “Kapan Abu Bakar dibaiat?” Said berkata, “Pada hari saat
Rasulullah saw. wafat. Pasalnya, mereka tidak ingin berada di sebagian hari
saja, sementara mereka tidak dalam berjamaah, yakni tidak ada khalifah yang
memimpin mereka.” (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 255).
Ini semua adalah dalil tentang kewajiban kaum Muslim untuk segera
menyibukkan diri dalam membaiat khalifah ketika jabatan Khilafah tengah kosong.
Alasannya, para Sahabat lebih mendahulukan aktivitas mengangkat khalifah
daripada kewajiban bersegera memakamkan jenazah. Apalagi jenazah itu adalah
jenazah Rasulullah saw., orang yang paling dicintai oleh para sahabatnya
dibandingkan kecintaan mereka kepada keluarga dan harta mereka sendiri.
Hanya Tiga Hari
Jika jabatan Khilafah kosong, baik karena Khalifah meninggal,
mengundurkan diri atau diberhentikan, maka ada masa toleransi (jelang waktu)
tiga hari bagi kaum Muslim untuk mengisi kekosongan jabatan Khilafah dengan
mengangkat khalifah baru.
Pembatasan masa tiga hari ini diambil dari ketetapan Umar ra.
Ketika Khalifah Umar ra. tertikam dan kaum Muslim meminta beliau untuk menunjuk
penggantinya, beliau menolak. Namun, setelah mereka terus mendesak beliau,
akhirnya beliau menunjuk enam orang sebagai calon khalifah. Kemudian beliau
menunjuk Suhaib ra. untuk mengimami masyarakat sekaligus memimpin enam orang
yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka
dalam jangka waktu tiga hari, seperti yang telah beliau tetapkan bagi mereka.
Bahkan beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat dan
meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), lalu ada satu orang yang menolak,
maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang.” (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah
al-Khilâfah, hlm. 27).
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar ra. benar-benar menegaskan
pentingnya pembatasan waktu selama tiga hari untuk mengangkat khalifah dengan
mengatakan:
فَإِذَا مُتُّ فَتَشَاوَرُوا ثَلاَثَة
أَيَّامٍ وَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ صُهَيْبٌ وَلاَ يَأْتِيَنَّ الْيَوْمُ الرَّابِعُ
إِلاَّ وَعَلَيْكُمْ أَمِيْرٌ مِنْكُمْ
“Jika saya meninggal maka bermusyawaralah kalian selama tiga hari.
Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari
keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).” (Al-Khalidi,
Qawâid Nizhâm
al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 256).
Al-Mas’udi menyebutkan bahwa Khalifah Umar ra. meninggal pada hari
Rabu, sedangkan Utsman dibaiat pada hari Jumat. Jadi, proses pemilihan khalifah
setelah Khalifah Umar ra. berlangsung dari Rabu siang, malam Kamis, Kamis
siang, malam Jumat dan Jumat siang, yakni berlangsung selama tiga hari dua
malam. Dengan demikian, tiga hari itu merupakan waktu untuk memilih khalifah
dan tidak boleh lebih dari itu (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 257).
Apa yang dilakukan Umar ra. adalah berwasiat kepada ahlusy-syura
dan memberi mereka masa jeda (jelang waktu) selama tiga hari untuk memilih
khalifah penggantinya. Bahkan Umar ra. berwasiat bahwa jika dalam tiga hari
khalifah belum disepakati, maka orang yang menentang hendaklah dibunuh. Umar
ra. juga mewakilkan kepada lima puluh orang dari kaum Muslim Anshar untuk
melaksanakan itu, yaitu membunuh orang yang menentang khalifah terpilih.
Padahal mereka semua adalah ahlusy-syura dan para Sahabat senior. Semua itu dilihat
dan didengar langsung oleh para Sahabat dan tidak terdapat satu riwayat pun
bahwa ada seorang dari mereka menentang atau mengingkari ketetapan Umar ra.
ini. Dengan demikian, menjadi Ijmak Sahabat bahwa kaum Muslim tidak boleh
kosong dari khalifah lebih dari tiga hari. Ijmak Sahabat dalah dalil syariah,
sebagaimana al-Quran dan as-Sunnah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm.
27).
Tanpa Khilafah, Umat Berdosa
Sejak saat jabatan Khilafah kosong, baik karena Khalifah meninggal,
mengundurkan diri atau diberhentikan, maka kaum Muslim wajib segera mengangkat
khalifah. Berdasarkan Ijmak Sahabat, kaum Muslim diberi masa jeda (jelang
waktu) hanya tiga hari untuk mengisi kekosongan jabatan Khilafah dengan
mengangkat khalifah baru. Oleh karena itu pada saat jabatan khalifah
mengalami kekosongan, kaum Muslim wajib segera menyibukkan diri untuk membaiat
(mengangkat) khalifah baru, dan harus selesai dalam tiga hari.
Karena itu, jika kaum Muslim tidak menyibukkan diri untuk
membaiat khalifah, dan mereka berdiam diri saja, maka mereka semua
berdosa sejak Khilafah itu diruntuhkan dan selama mereka berdiam diri dari
usaha memperjuangkan pengangkatan kembali Khilafah, sebagaimana kondisi saat
ini. Kaum Muslim semuanya berdosa karena ketiadaan upaya mereka untuk
mendirikan kembali Khilafah sejak Khilafah diruntuhkan pada 28
Rajab 1342 H/ 3 Maret 1924 M sampai mereka berhasil menegakkan kembali
Khilafah.
Dalam hal ini, tidak ada seorang pun yang terbebas dari dosa ini
kecuali orang yang aktif berjuang dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
kembali Khilafah bersama jamaah yang ikhlas dan benar. Sebab, hanya dengan cara
itulah mereka akan selamat dari dosa, yang merupakan dosa besar, seperti yang
dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw.:
وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat
(kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa) seperti mati jahiliah (HR Muslim).
Adanya celaan dalam hadis tersebut, yakni berupa sifat kematian
jahiliah (mati
dalam keadaan berdosa), adalah untuk menunjukkan besarnya dosa
ketika kaum Muslim hidup tanpa memiliki khalifah yang mereka baiat.
Namun, apabila kaum Muslim telah berusaha keras untuk
mengangkat khalifah, dan ternyata mereka belum mampu mewujudkan Khilafah
selama tiga hari disebabkan oleh hal-hal yang memaksa, yang berada di luar
kemampuan mereka, maka dosa telah gugur dari diri mereka. Rasululah saw.
bersabda:
إِنَّ اللهَ
وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku (dampak hukum akibat
perbuatan yang dilakukan karena) kesalahan, lupa dan terpaksa (HR Ibnu
Majah).
Hanya saja, jika mereka tidak menyibukkan diri dengan itu, maka
mereka semua berdosa hingga seorang khalifah dibaiat. Saat itulah kewajiban
gugur dari mereka. Adapun dosa yang mereka perbuat karena meninggalkan
aktivitas untuk megangkat khalifah tidaklah gugur dari mereka, namun tetap
menjadi tanggungan mereka. Allah SWT akan menghisab dosa mereka itu sebagaimana
dosa lain yang dilakukan oleh seorang Muslim karena meninggalkan pelaksanaan
kewajiban (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/21).
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kaum Muslim di seluruh dunia
untuk meninggalkan apa yang telah diwajibkan atas mereka dalam rangka
menegakkan agama, yaitu usaha untuk mengangkat khalifah bagi kaum Muslim ketika
jabatan Khilafah kososng, ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum
agama dan ketika tidak ada orang yang menyatukan jamaah kaum Muslim di bawah
bendera Lâ
ilâha illallâh Muhammad rasulullâh. Ingat! Di dalam Islam tidak
terdapat satu rukhsah
(keringanan) sedikitpun untuk meninggalkan kewajiban ini sampai ia selesai
dilaksanakan dengan adaya seorang khalifah yang dibaiat. WalLâhu a’lam
bish-shawâb. [Muhammad Bajuri, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia]
Daftar Bacaan
Al-Hashkifi, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman
al-Hanafi, Ad-Durr
Al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr wa Jâmi’ al-Bihâr, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah), 2002.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah),
(Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Ibnu Qutaibah, Abdullah ad-dainuri, Al-Ma’ârif, (Mesir: al-Maktabah
al-Husainiyah), 1934.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut:Maktabah
al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Kementerian Waqaf dan Urusan Islam Kuwait.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah
Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II,
(Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2003.
Zallum, Abdul Qadim, Nizham al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah),
Cetakan VI, 2002.
Dari Zay:
Saudaraku, mari
bergabung dalam perjuangan penegakkan syariah dalam naungan khilaafah ‘alaa
minhaajin nubuwwah untuk Indonesia dan dunia lebih baik serta untuk
menyelamatkan saudara kita di seluruh dunia. Karena HANYA dengan itulah semua
problem yang menimpa Islam dan kaum muslimin akan bisa terselesaikan dengan
tuntas. BAAROKALLOOHU LAKUM.
Komentar
Posting Komentar