HADITS AHAD DALAM PANDANGAN ULAMA USHUL



Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul

Walaupun sebenarnya perbedaan pandangan tentang khabar ahad ini sudah dibahas oleh banyak ‘ulama terdahulu, namun sampai sekarang masih ada sebagian da’i yang sering melontarkan tuduhan sesat kepada sesama muslim gara-gara perbedaan pandangan tentang hal ini. Kalau ‘ulama – ulama dulu mereka bisa saling memahami perbedaan ini, mereka mengedepankan hujjah dan memahami fakta/maksud dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Berbeda dengan sekarang seolah – olah mereka menutup mata akan adanya perbedaan ini, tanpa mau mengkaji benar-benar apa sebenarnya maksud dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Akibatnya mereka menuduhkan apa yang tidak ada faktanya pada orang yang dituduh.
Dalam masalah wajibnya pengamalan khabar ahad, sebenarnya sudah tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Akan tetapi penggunaannya sebagai hujjah dalam masalah aqidah, inilah yang sering dijadikan masalah.
Kalau diperhatikan, akar masalah dalam hal ini adalah dalah hal PEMAKNAAN AQIDAH itu sendiri, bagi yang menyatakan khabar ahad bukan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, mereka memaksudkan aqidah disini sebagai PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, sedangkan yang menyatakan khabar ahad adalah hujjah dalam masalah aqidah, mereka memaksudkan aqidah disini TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal ini jelas terlihat ketika pihak yang menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah (penulis bukan termasuk pihak ini), mereka menyalahkan aqidah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) dalam kitab monumental beliau Fathul Bari, namun pihak ini tidak menyatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani sebagai kafir, (lihat kitab mereka : At Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin Baz, Shalih Fauzan dkk, kitabnya bisa di download disini), mereka juga menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (wafat 676 H) dalam hal Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau (walaupun sebagian mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada akhirnya juga ‘tobat’ sehingga aqidahnya imam an Nawawi mereka klaim sebagai aqidah ‘salafi’[1] juga), mereka juga menyalahkan aqidahnya al Hafidz al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa mengkafirkannya (lihat http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0), mereka juga menyalahkan aqidah imam al Bukhoriy (wafat 256 H) ketika beliau men takwil wajah Allah sebagai kekuasaan/kerajaan Allah, tanpa mengkafirkan imam Bukhoriy.
Walhasil sebenarnya yang menyatakan khabar ahad sebagai hujjah/dalil dalam masalah aqidah, mereka membahas suatu tema tersendiri yang berbeda dengan tema yang dibahas oleh ‘ulama ushul, dan dengan tema yang berbeda tersebut kemudian mereka menghakimi ‘ulama yang membahas tema yang lain. Saya tidak habis pikir, apakah mereka memahami atau tidak tema apa yang dibahas oleh ‘ulama ushuluddin sehingga susah sekali memberi penjelasan ini.
Kalau mengikuti tema pembahasan menurut mereka, yakni mereka memaksudkan aqidah TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, sebenarnya masalahnya selesai, yakni khabar ahad yang hasan atau shahih harus jadi hujjah dalam masalah “aqidah”[2], semua ‘ulama akan sepakat (kecuali memang ingkarus sunnah) – dan ketika ada perbedaan pandangan ‘dalam hal ini, maka halnya seperti perbedaan dalam masalah hukum syara’, yakni tidak mengeluarkan seseorang dari keimanannya. [end].
Namun tulisan ini akan melihat bagaimana kehujjahan khabar ahad dalam perkara ‘aqidah dalam makna yang disepakati oleh ahli ushuluddin yakni sebagai garis batas yang memisahkan antara iman dengan kafir (dan makna ini yang umum dikalangan ahli ushul, sehingga Syaikh Mahmud Syaltut menyebut orang-orang yang masih menanyakan hal-hal tersebut sebagai “orang yang tidak mengerti apa maksud aqidah”).
Saya terlebih dulu akan menyajikan copy- paste dan sedikit isinya (sisanya terjemahkan sendiri) dari beberapa bagian kitab Al Islam Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar (th 1958), yakni Syaikh Mahmud Syaltut (wafat 1963), sengaja saya pilih ini karena ini kitab yang secara khusus membahas Islam dari sisi aqidah dan syari’ah dan beliau bukan anggota gerakan yang sering dituduh sesat gara – gara tidak menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Kemudian baru akan saya copy paste beberapa pendapat Ulama berkaitan dengan khabar ahad (bisa di lihat di Maktabah Syamilah, atau Jami’ul Fiqh al Islamy atau Maktabah al Fiqh wa Ushuulihi, atau Maktabah Alfiyyah li as Sunnah an Nabawiyyah atau di Maktabah Al ‘Aqoo’id Wal Milal, atau search di saaid.net).
Bagi yang berfikir ‘ilmiyyah, tidak taqlid, ana rasa perlu menelusuri sendiri sumber – sumber yang ana sebutkan (sehingga kita dapat data primernya), lihat konteks pembahasannya, dan silahkan berkomentar.
1. DARI KITAB AL ISLAM AQIDAH WA SYARI’AH
clip_image002
Syarat suatu dalil bisa digunakan untuk aqidah haruslah qath’iy (pasti) sumbernya, dan pasti penunjukan maknanya.
clip_image004
Ayat al Qur’an (walaupun pasti sumbernya), yang penunjukan maknanya dzon, sehingga para ‘ulama berbeda pendapat tentang maknanya maka itu bukan (bagian) aqidah yang dibebankan agama atas kita yang menjadi batas yang memisahkan antara orang beriman dan tidak beriman.
clip_image006
Kalau dalilnya tidak qath’iy, sehingga ‘ulama berbeda pendapat, maka tidak boleh dijadikan bagian dari aqidah [3] sehingga pendapat suatu kelompok (dianggap) itu saja yang Haq, sedang yang lain tidak.
clip_image008
Kalau maknanya lebih dari satu, tidak sah untuk dalil dalam aqidah sehingga dihukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir.
clip_image010
Tentang pendapat jumhur ‘ulama yang tidak menjadikan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah, ini sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya.
clip_image012
Ini pendapat ‘ulama yang menyatakan khabar ahad yufiidul ‘ilma (berfaedah ‘ilmu/yaqin) – seperti pendapat Ibnu Hazm dalam al Ihkam. (LIHATLAH BAGAIMANA ADABNYA ‘ULAMA, BELIAU TETAP MENULIS PENDAPAT ‘ULAMA LAIN, PADAHAL PENDAPAT ITU TIDAK SESUAI DENGAN PENDAPATNYA). Maksud YUFIIDUL ‘ILMA di sini adalah AL ‘ILM BI MA’NA DZON (‘ilmu dengan makna dzon), atau ‘ILMU YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL. Adapun pembicaraan disini hanyalah faedah ‘ilmu dari sisi penetapan aqidah dengan ‘ilmu tersebut.
2. KITAB AT TA’ RIIFAT (Al Jurjaani, wafat 816 H)
الكتاب : التعريفات
المؤلف : علي بن محمد بن علي الجرجاني
الناشر : دار الكتاب العربي – بيروت
أما الخبر المتواتر فهو كلام يسمعه من رسول الله جماعة ومنها جماعة أخرى إلى أن ينتهي إلى المتمسك وأما الخبر المشهور فهو كلام يسمعه من رسول الله ص – واحد ويسمعه من الواحد جماعة ومن تلك الجماعة أيضا جماعة إلى أن ينتهي إلى المتمسك والفرق هو أن جاحد الخبر المتواتر يكون كافرا بالاتفاق وجاحد الخبر المشهور مختلف فيه والأصح أن يكفر وجاحد خبر الواحد لا يكون كافرا بالاتفاق
Semua (‘ulama) sepakat bahwa orang yang menolak khabar ahad tidaklah kafir (khabar ahad bukan hujjah dalam aqidah yakni batasan antara iman dan kafir)
3. KITAB USHUL AS SARKHOSY (Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi, pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam), Wafat +- 490 H)
الكتاب : أصول السرخسي
مصدر الكتاب : موقع يعسوب
فإن خبر الواحد لا يوجب علم اليقين لاحتمال الغلط من الراوي وهو دليل موجب للعمل بحسن الظن بالراوي وترجح جانب الصدق بظهور عدالته، فيثبت حكم هذا القسم بحسب دليله وهو أنه لا يكفر جاحده، لان دليله لا يوجب علم اليقين، ويجب العمل به لان دليله موجب للعمل ويضلل جاحده إذا لم يكن متأولا بل كان رادا لخبر الواحد، فإن كان متأولا في ذلك مع القول بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ لا يضلل، ولوجوب العمل به يكون المؤدي مطيعا والتارك من غير تأويل عاصيا معاقبا
Intinya: Sesungguhnya khabar wahid tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin karena mengandung ghalat (kesalahan, dalam bhs matematika = galat = nilai error) dari perowi, dan dia (khabar ahad) mewajibkan amal dengan husnudz dzon terhadap rowi (khabar ahad yg shahih/hasan), ….. dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil dihukumi sesat,  jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.
4. KITAB USHUL AL BAZDAWIY (Fakhrul Islam Al Bazdawi, Wafat 482 H)
الكتاب : أصول البزدوي – كنز الوصول الى معرفة الأصول
المؤلف : علي بن محمد البزدوي الحنفيى
الناشر : مطبعة جاويد بريس – كراتشي
بل المتواتر يوجب علم اليقين ضرورة بمنزلة العيان بالبصر والسمع بالاذن وصنعا وتحقيقا
أن المشهور من الأخبار يضلل جاحده ولا يكفر
باب خبر الواحد
وهو الفصل الثالث من القسم الأول وهو كل خبر يرويه الواحد أو الاثنان فصاعدا لا عبرة للعدد فيه بعد أن يكون دون المشهور والمتواتر وهذا يوجب العمل ولا يوجب العلم يقينا عندنا وقال بعض الناس لا يوجب العمل لانه لا يوجب العلم ولا عمل إلا عن علم
Khabar ahad mewajibkan ‘amal, tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, mengingkarinya (tanpa takwil/alasan) dipandang sesat, tidak kafir.
5. KITAB USHUL ASY SYASYI
الكتاب : أصول الشاشي
المؤلف : أحمد بن محمد بن إسحاق الشاشي أبو علي
الناشر : دار الكتاب العربي – بيروت ، 1402
ثم المتواتر يوجب العلم القطعي ويكون رده كفرا
والمشهور يوجب علم الطمأنينة ويكون رده بدعة
ولا خلاف بين العلماء في لزوم العمل بهما وإنما الكلام في الآحاد فنقول خبر الواحد هو ما نقله واحد عن واحد أو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد ولا عبرة للعدد إذا لم تبلغ حد المشهور وهو يوجب العمل به في الأحكام الشرعية
6. KITAB USHUL IJAABATUS SAA’IL SYARH BUGHYATUL AAMAL (AS SHON’ANIY)
الكتاب : أصول الفقه المسمى إجابة السائل شرح بغية الآمل
المؤلف : محمد بن إسماعيل الأمير الصنعاني
الناشر : مؤسسةالرسالة – بيروت
أن القراءة الخارجة عن السبع في حكمها كالخبر الآحادي وحكمه وجوب العمل به فكذلك الشاذة هذا مختار الجمهور قالوا فيعمل بقراءة ابن مسعود في قوله فصيام ثلاثة أيام متتابعات ويجب التتابع قالوا وإنما يعمل بها في الأحكام العملية لا العلمية لأن الآحاد لا تفيد العلم واستدلوا على ذلك بأنه لا يخلو من أن يكون قرآنا أو سنة لأن الغرض أن نقلها عنه صلى الله عليه وسلم صحيح وترك شيء من صحيح القرآن أو السنة لا يجوز وخالف الشافعي وجماعة
7. KITAB IRSYAADUL FUHUL- IMAM ASY SYAUKANI
الكتاب : إرشاد الفحول الي تحقيق الحق من علم الاصول– امام الشوكاني
القسم الثاني : الآحاد وهو خبر لا يفيد بنفسه العلم سواء كان لا يفيد أصلا أو يفيده بالقرائن الخارجة عنه فلا واسطة بين المتواتر والآحاد وهذا قول الجمهور وقال أحمد بن حنبل إن خبر الواحد يفيد بنفسه العلم وحكاه ابن حزم في كتاب الأحكام عن داود الظاهري والحسين بن علي الكرابيسي والحارث المحاسبي قال وبه نقول وحكاه ابن خوازمنداد عن مالك بن أنس واختاره وأطال في تقريره ونقل الشيخ في التبصرة عن بعض أهل الحديث أنها منها ما يوجب العلم
وإجماع من بعدهم بمنزلة المشهور من الأحاديث والإجماع الذي سبق فيه الخلاف في العصر السابق بمنزلة خبر الواحد واختار بعضهم في الكل أنه ما يوجب العمل لا العلم
Bagian kedua adalah aahaad, yakni khabar yang tidak berfaedah ‘ilmu dari dirinya sendiri, baik  berfaedah ‘ilmu dari asalnya, maupun berfaedah ‘ilmu dengan adanya qarinah atau indikasi luar dari khabar ahad tersebut, maka tidak ada perantara antara mutawatir dengan aahaad, dan ini adalah pernyataan jumhur/mayoritas ‘ulama….
8. KITAB AL IHKAM
الكتاب : الأحكام
مصدر الكتاب : موقع يعسوب
أن خبر الواحد بأمر لا يفيد العلم
9. KITAB AL BAKHRUL MUHIITH
الكتاب : البحر المحيط
مصدر الكتاب : موقع الإسلام
أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ إذَا تَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ بِالْقَبُولِ أَفَادَ الْقَطْعَ
هَلْ يَكْفُرُ جَاحِدُ مَا ثَبَتَ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ ؟ إنْ قُلْنَا : يُفِيدُ الْقَطْعَ كَفَرَ ، وَإِلَّا فَلَا
هَلْ يُقْبَلُ خَبَرُ الْوَاحِدِ فِي أُصُولِ الدِّيَانَاتِ ؟ فَمَنْ قَالَ : يُفِيدُ الْعِلْمَ قَبِلَهُ ، وَمَنْ قَالَ : لَا يُفِيدُ لَمْ يَثْبُتْ بِمُجَرَّدِهِ إذْ الْعَمَلُ بِالظَّنِّ فِيمَا هُوَ مَحَلُّ الْقَطْعِ مُمْتَنِعٌ
10. KITAB AL MAHSHUL FI USHUULIL FIQH (ABU BAKAR IBNUL ARABY, Pakar hadits senior sekaligus ahli ushul, wafat 543 H)
الكتاب : المحصول في أصول الفقه
المؤلف : القاضي أبو بكر بن العربي المعافري المالكي
الناشر : دار البيارق – الأردن
قال علماؤنا خبر الواحد على ضربين أحدهما يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر والثاني يوجب العمل ولا يوجب العلم وإما الأول فهو خبر الله تعالى والثاني خير رسول الله صلى الله عليه و سلم والثاني خبر رجل واحد بحضرة رسول الله صلى الله عليه و سلم والثالث خبر رجل واحد بحضرة الله صلى الله عليه و سلم والرابع خبر رجل واحد ادعي فيه العلم مع جماعة يستحيل عليهم التواطؤ على الكذب فلا ينظرون عليه والخامس خبر واحد تلقته الأمة بالقبول فإما قالوا بظاهرة وإما تأولوه ولم يكن منهم نكير عليه فهذه الأقسام الخمسة توجب العلم وفي تعديدها تجاوز وتجوز تسامحنا به قصد البيان
وأما الثاني الذي يوجب العمل دون العلم فهو خبر الواحد المطلق
Telah berkata ‘ulama kami bahwa khabar wahid itu ada dua bagian: yang pertama mewajibkan ‘ilmu dan ‘amal sebagaimana khabar mutawatir, yang kedua mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu, adapun yang pertama (khabar ahad/wahid yang mewajibkan ‘ilmu dan amal) adalah 1) khabar dari Allah (al wahid)  2) Khabar dari Rasulullah (sendirian), khabar seseorang bersama Rasulullah SAW  … ADAPUN YANG KEDUA, YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL NAMUN TANPA MEWAJIBKAN ‘ILMU (YAQIN),  ADALAH KHABAR AHAD SECARA MUTLAK. Selanjutnya pada halaman 115, beliau menjelaskan syubhat orang yang menyatakan khabar ahad menghasilkan ‘ilmu (yaqin):
وقال قوم: إنه يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر، وهذا إنما صاروا اليه بشبهتين دخلتا عليهم، إما لجهلهم بالعلم، وإما لجهلهم بخبر الواحد، فإنا بالضرورة نعلم امتناع حصول العلم بخبر الواحد وجواز تطرق الكذب والسهو عليه
dan sekelompok orang berkata: sesungguhnya khabar  ahad mewajibkan ‘ilmu (yaqin) dan ‘amal sebagaimana khabar mutawatir, dan hal ini sesungguhnya hanyalah terjadi karena dua syubhat (kesamaran) masuk kedalam (pemikiran) mereka, BISA JADI KARENA KE JAHILAN MEREKA AKAN MAKNA AL ‘ILMU, DAN BISA JADI KARENA KEJAHILAN MEREKA AKAN (MAKNA) KHABAR WAAHID (KHABAR AHAD), maka sesungguhnya kami dengan sangat jelas mengetahui tidak akan tercapainya al ‘ilm (yaqin) dengan (hujjah) khabar waahid, dan boleh (mungkin)nya ada kebohongan dan kelupaan pada nya (khabar ahad).
وَأَمَّا خَبَر الْوَاحِد : فَهُوَ مَا لَمْ يُوجَد فِيهِ شُرُوطُ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاء كَانَ الرَّاوِي لَهُ وَاحِدًا أَوْ أَكْثَرَ . وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ ، وَأَنَّ وُجُوب الْعَمَل بِهِ عَرَفْنَاهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِوَذَهَبَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ إِلَى أَنَّ الْآحَادَ الَّتِي فِي صَحِيح الْبُخَارِيّ أَوْ صَحِيح مُسْلِم تُفِيدُ الْعِلْمَ دُونَ غَيْرِهَا مِنْ الْآحَاد . وَقَدْ قَدَّمْنَا هَذَا الْقَوْل وَإِبْطَاله فِي الْفُصُول وَهَذِهِ الْأَقَاوِيل كُلّهَا سِوَى قَوْلِ الْجُمْهُور بَاطِلَةٌ ، وَإِبْطَالُ مَنْ قَالَ لَا حُجَّةَ فِيهِ ظَاهِرٌ ْ .. وَأَمَّا مَنْ قَالَ يُوجِبُ الْعِلْمَ : فَهُوَ مُكَابِرٌ لِلْحَسَنِ . وَكَيْفَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَاحْتِمَالُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ وَالْكَذِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مُتَطَرِّقٌ إِلَيْهِ ؟ وَاَللَّه أَعْلَمُ .
"Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqah adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan karena akal….Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas….Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a’lam bish shawab". [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]
Beliau juga membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i, setelah menukil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan :
وهذا الذي ذكره ابن الصلاح في شأن صحيح البخاري ومسلم في هذه المواضع خلاف ما قاله المحققون والأكثرون فإنهم قالوا: أحاديث الصحيحين التي ليست بمتواتره إنما تفيد الظن فإنها آحاد، والآحاد إنما تفيد الظن على ما تقرر ولا فرق بين البخاري ومسلم وغيرهما في ذلك، وتلقي الأمة بالقبول إنما أفادنا وجوب العمل بما فيهما
‘’Pendapat ini – yang disebutkan oleh Ibnu Sholah tentang (hadits) Bukhory dan muslim dalam tema pembahasan ini – menyalahi pendapat para ahli tahqiq dan jumhur ulama, mereka mengatakan: hadits – hadits dalam kitab shohihain yang tidak mencapai derajat mutawatir SESUNGGUHNYA HANYA MENGHASILKAN DZON, maka sesungguhnya ia hadits ahad, dan hadits ahad sesungguhnya hanya berfaedah dzon, tidak ada bedanya dalam masalah ini antara (hadits) Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya. SEDANGKAN APA YANG DIJUMPAI BAHWA UMAT MENERIMA (KHABAR AHAD DALAM BUKHARI MUSLIM) SESUNGGUHNYA HANYA BERFAEDAH AKAN WAJIBNYA ‘AMAL dengan apa –apa yang ada dalam keduanya (yakni shahih Bukhory – Muslim)”
12. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H) mengutip Al Hafidz al Karmaniy (wafat 796 H):
قَالَ الْكَرْمَانِيُّ لِيُعْلَم إِنَّمَا هُوَ فِي الْعَمَلِيَّات لَا فِي الِاعْتِقَادِيَّات
Telah berkata Al Karmaniy: agar diketahui, sesungguhnya dia (diterimanya khabar ahad sebagai hujjah) HANYALAH DALAM HAL ‘AMALIYYAH BUKAN DALAM HAL I’TIQADIYYAH (Fathul Baariy Juz 13 bab ما جاء في إجازة خبر الواحد).
13. Syaikh Abu Zahroh, dalam kitabnya : Ushuulul Fiqh hal 108 menggunakan istilah ‘ilmu dzonny (untuk menyatakan ‘ilmu bi ma’na dzonn):
وحديث الآحاد يفيد العلم الظني الراجح ولا يفيد العلم القطعي، إذ الاتصال بالنبي فيه شبهة
Hadits Aahaad berfaedah ‘ilmu dzonny, bukan ‘ilmu qath’iy karena ada syubhat sampainya ke Nabi SAW.
14. Syaikh Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ushulul Fiqh nya:
وسنة الآحاد ظنية الورود عن الرسول لأن سندها لا يفيد القطع
dan sunnah aahaad adalah dzanniyyatul wurud dari rasulullah SAW karena sanadnya tidak menghasilkan kepastian (qath’iy)
15. Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:
اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه
Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.
Jadi jelaslah bahwa mayoritas ‘ulama ahli ushul memandang khabar ahad – walaupun perowinya ‘adil  – adalah mewajibkan ‘amal namun tetap tidak mewajibkan ‘ilmu/ yaqin sehingga tidak cukup untuk sebagai hujjah bagi pengkafiran orang lain, namun demikian mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil, dihukumi sesat,  jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.
Adapun pernyataan dalam pembahasan di beberapa kitab bahwa  khabar ahad YUFIIDUL ‘ILMA , maka yang dimaksud disitu adalah AL ‘ILM BI MA’NA DZON (‘ilmu/yaqin dengan makna dzon – sebagaimana orang melakukan test dengan alat yang akurasinya 99% lalu dia katakan bahwa hasilnya meyakinkan), atau ‘ILMU YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL, atau yang diistilahkan Syaikh Abu Zahroh dengan ‘ILMU DZONNY’, walaupun tidak dipungkiri ada juga yang memaksudkannya dengan ‘ilmu yaqin.
***
Saya rasa cukup segini dulu, mudah-mudahan bisa menjadi penyatu umat baik yang menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah “aqidah”, maupun yang tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam masalah aqidah, mohon ma’af kalau bahasanya menyinggung salah satu pihak, kalau mau lihat pendapat ulama yang menjadikan khabar ahad mewajibkan yaqin sehingga layak sebagai dalil dalam masalah aqidah, lihat  kitabnya Ibnu Hazm, Ibnu Taymiyyah maupun Ibnu Qayyim al Jauziyyah (sudah ana sebut di tulisan sebelumnya), serta kitab – kitab madzhab dzahiri. Allahu Ta’ala A’lam.
Baca Juga:

[1] Saya kasih tanda petik, karena istilah ini sebenarnya bagus, yakni mengikuti orang – orang terdahulu (Nabi, shahabat, Tabi’in dan orang yang mengikuti manhaj mereka), namun yang patut dipertanyakan sikap mengklaim orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai bukan salafi itu yang perlu diluruskan, saya tidak tahu apakah ada ulama nusantara yang mereka akui ke ‘salaf’ annya, yang pernah ana dengar (ada bukti rekamannya) bahwa Buya Hamka bukan termasuk salaf menurut mereka, tidak tahu bagaimana pandangannya terhadap Syaikh Yasin Padang, Syaikh Nawawi Banten dll – walaupun perbedaan ini, selama dalam lingkup dalil yang dzonni, tidak mengeluarkan dari keimanan.
[2] Saya tulis “aqidah” dalam tanda petik, karena yang dibahas oleh ahli ushul bukan tema ini.
[3] Aqidah dalam makna yang difahami ahli ushuluddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH