METODE SHAHIH MENEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH
METODE SHOHIH MENEGAKKAN SYARI’AH DAN
KHILAFAH
Keinginan umat Islam untuk mengembalikan kejayaan
Islam, sesungguhnya sudah muncul dimana-mana. Di berbagai belahan dunia kita
dapat menyaksikan munculnya kesadaran umum umat Islam untuk kembali ke syariah
Islam. Umat Islam juga sudah mulai menyadari bahwa syariah Islam tidak mungkin
dapat diterapkan, kecuali ada institusi yang mewadahinya, yaitu Daulah Khilafah
Islamiyah.
Berbagai metode telah dilakukan. Namun sayang, berbagai
metode yang telah ditempuh tersebut sampai saat ini belum membuahkan hasil.
1. Metode
Demokrasi.
Banyak kalangan dari umat Islam yang telah
mengupayakan perjuangannya untuk menerapkan syariah Islamiyah melalui jalan
demokrasi. Beberapa contoh tersebut di antaranya adalah: FIS (Front Islamic
Salvation)
di Aljazair, Partai Refah di Turki dan Hammas di Palestina. Demikian pula
beberapa parpol yang muncul bersamaan dengan Revolusi Arab yang memanas sejak
Februari 2011 lalu seperti: dan Ikhwanul Muslimin dan Hizbun Nur di
Mesir, Hizbun Nahdhah di Tunisia, dan sebagainya. Mereka membentuk
partai politik formal, mengikuti Pemilu. Kemudian saat mereka meraih suara yang
cukup, sebagian anggotanya dapat menduduki posisi strategis seperti perdana menteri, menteri
atau anggota parlemen.
Apakah dengan jalan demokrasi ini upaya mereka
berhasil? Jawabannya ya jika yang dimaksud adalah sekadar duduk dalam
kekuasaan, misalnya menjadi menteri dalam sebuah departemen. Namun, apakah
kekuasaan itu akan didedikasikan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah
dalam institusi negara Khilafah? Tentu tidak. Mengapa? Hal itu dapat kita lihat
dalam dua aspek. Pertama: Demokrasi adalah sistem kufur,
karena mengajarkan bahwa kedaulatan (siyadah, sovereignty) ada di tangan rakyat. Ke-kufur-annya
bukan karena mengajarkan bahwa kekuasaan itu di tangan rakyat, tetapi
karena paham kedaulatan rakyat tersebut. Ini berarti
manusia—bukan Allah SWT—adalah satu-satunya pihak yang sah dan berhak membuat hukum. Padahal hanya
Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum (lihat, misalnya, QS al-An’am [6]:
57).
Oleh karena itu, seluruh jalan menuju
sistem kufur ini juga bertentangan dengan syariah, termasuk misalnya
mengikuti Pemilu dan duduk dalam kekuasaan. Walaupun hukum Pemilu itu asalnya
adalah mubah (karena Pemilu hanyalah sarana untuk memilih wakil (uslub
tawkil) atau sarana untuk memilih penguasa/uslub intikhab al-hakim),
hukum Pemilu tersebut dapat berubah mengikuti misi dalam wakalah tersebut (al-muwakkal
fihi) dan tugas penguasa (amal al-hakim) dalam kekuasaan. Dalam
sistem demokrasi, misi yang diwakilkan dalam pemilihan anggota
parlemen adalah misi yang haram karena akan menjalankan fungsi-fungsi
lembaga legislatif, yaitu melegislasikan hukum buatan manusia, bukan hukum
Allah SWT. Tugas seorang penguasa dalam sistem demokrasi juga haram
karena menjalankan undang-undang kehendak rakyat, bukan undang-undang syariah
Islam (Hukmu Musyarakah al-Muslimin al-Mawjudin fi al-‘Alami al-Gharbi fi
al-Hayah as-Siyasiyah fihi, Hizbut Tahrir Eropa, 2002, hlm. 33-34).
Kedua: Jalan demokrasi sebenarnya penuh
dengan permainan politik
yang menipu dan destruktif terhadap visi politik Islam (Muhammad Dawud, Limadza
Akhfaqat al-Harakat al-Islamiyah fi al-Wushul aw al-Muhafazhah ‘ala al-Hukm,
hlm. 20-21). Penganut demokrasi sering melakukan kecurangan untuk meraih
kemenangan dalam Pemilu. Kalaupun kalah, mereka akan pura-pura sportif
menghormati hasil Pemilu yang berhasil dimenangkan oleh partai Islam. Namun
kemudian, mereka akan bermain dengan licik di balik layar, berkonspirasi secara
jahat, untuk menghancurkan atau melumpuhkan kemenangan tersebut. Inilah
pengalaman amat pahit yang pernah dirasakan oleh FIS (Front Islamic
Salvation) di Aljazair tahun 1991-1992, Partai Refah di Turki sekitar
tahun 1995, Hammas di Palestina tahun 2006 dan Partainya Ikhwanul-Muslimin di
Mesir tahun 2013.
Dengan demikian, dari sudut pandang syariah dan
fakta empiris, demokrasi terbukti secara meyakinkan merupakan jalan tidak sahih
untuk menegakkan Khilafah Islamiyah.
2. Metode
Perbaikan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Upaya lain yang banyak dirempuh oleh umat Islam
untuk menerapkan syariah Islam adalah melalui metode perbaikan sosial-ekonomi
masyarakat. Misalnya dengan cara membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti
asuhan, madrasah, pesantren, rumah panti jompo; atau dengan cara membentuk
berbagai lembaga keuangan syariah (LKS) seperti BMT (Baitul Mal wa Tamwil),
BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dan sebagainya.
Aktivitas-aktivitas itu memang bukanlah aktivitas
yang buruk (syarr), melainkan tergolong baik (al-khayr) yang
dianjurkan Islam. Namun demikian, semua aktivitas sosial-ekonomi tersebut tak
ada relevansinya dengan penerapan syariah dalam wadah negara. Apalagi jika
aktivitas yang ada sudah dibatasi hanya pada aksi sosial-ekonomi saja. Ini
berarti aktivitas sosial-ekonomi tersebut akan dapat mengabaikan tugas suci
yang seharusnya lebih diutamakan, yaitu mengembalikan Khilafah yang akan
menerapkan hukum yang diturunkan Allah dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15-16).
Selain itu, kita harus memahami bahwa aktivitas
sosial-ekonomi seperti membangun masjid, sekolah atau rumah sakit merupakan
aktivitas pengaturan urusan rakyat (ri’ayah asy-syu’un) yang
berlangsung secara terus-menerus. Aktivitas pengaturan urusan rakyat (ri’ayah
asy-syu’un) yang berlangsung secara terus-menerus ini adalah kewajiban
negara, bukan kewajiban individu ataupun kelompok (Manhaj Hizb at-Tahrir,
2009, hlm. 15-16). Hal itu sebagaimana yang telah disabdakan Rasul saw.:
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat. Dia
akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).
3.
Metode Perbaikan Individu.
Metode ini muncul karena ada yang berpendapat
bahwa negara atau masyarakat itu bergantung pada individu-individunya. Jika individunya
baik, dalam arti mempunyai kesalihan pribadi, seperti akhlak atau ibadah yang
baik, maka negara atau masyarakat pun otomatis akan baik pula. Karena itu
mereka terus-menerus mengupayakan perbaikan individu dengan jalan membatasi
atau memfokuskan perjuangannya pada perbaikan akhlak individu.
Tentu usaha perbaikan akhlak atau ibadah individu
ini adalah amal salih, bukan amal yang buruk. Namun, jika dikaitkan
dengan jalan penerapan syariah, metode ini tentu tidak akan dapat mengantarkan
pada tegaknya syariah dalam Daulah Khilafah. Mengapa? Sebab, Khilafah bukanlah
semata-mata sistem pemerintahan atau kekuasaan, melainkan wadah bagi masyarakat
Islam itu sendiri. Adapun masyarakat tidak hanya terbentuk dari kumpulan
individu, melainkan juga terbentuk dari tiga unsur lainnya yaitu: (1) pemikiran
yang hidup dan diyakini di tengah masyarakat; (2) perasaan umum yang
menggambarkan senang-bencinya masyarakat; (3) peraturan yang mengatur segenap
interaksi antaranggota masyarakat.
Oleh karena itu, membangun masyarakat Islam dalam
institusi negara Khilafah tentu wajib dengan memperbaiki seluruh unsur-unsur
pembentuk masyarakat Islam itu. Tak hanya memperbaiki individunya, melainkan
juga memperbaiki pemikiran, perasaan dan peraturan yang diterapkan agar sesuai
dengan Islam (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 23).
4. Metode
People Power.
People power saat ini juga banyak
diminati oleh umat Islam, terutama setelah merebaknya fenomena Arab Spring
(Musim Semi Arab) di Timur Tengah dan sekitarnya. People power disebut
juga revolusi rakyat (tsawrah sya’biyah). Ini adalah demonstrasi
massal tanpa kekerasan yang dilakukan oleh rakyat dari pelbagai elemen untuk
menumbangkan kekuasaan seorang pemimpin. Contoh people power yang
pernah berhasil pada masa lalu ialah demonstrasi massal saat pelengseran
Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1986), Presiden Soeharto (1998), Presiden
Mesir Hosni Mubarak (2012), dan sebagainya.
Namun demikian, tingkat keberhasilan people
power ternyata tidak hanya ditentukan oleh banyaknya kekuatan massa. Dalam
banyak kasus, keberhasilannya juga ditentukan oleh sikap militernya. Militer
yang mengambil sikap netral sudah cukup untuk menumbangkan seorang penguasa di
tengah gelombang people power.
Selain itu, dalam tinjauan syariah, sesungguhnya people
power bukanlah jalan yang sahih untuk menegakkan Khilafah. Sebab,
selain tidak sesuai dengan metode yang dituntunkan oleh Rasulullah saw., people
power juga mempunyai aspek-aspek kelemahan. Pertama: secara
alamiah kekuatan people power tidak akan terbentuk dari satu kelompok
saja, melainkan dari berbagai kelompok masyarakat; ada yang islami, ada yang
sekular. Adanya koalisi pelangi ini mengakibatkan tidak adanya satu visi
politik tunggal yang solid dan jelas, katakanlah misalnya visi tegaknya Daulah Islamiyah.
Jadi meski mempunyai kesamaan tujuan untuk menurunkan presiden, masing-masing
kelompok mempunyai visi politik sendiri-sendiri. Kedua: tidak
terbentuknya opini umum yang kuat yang berbasis visi politik tunggal. Di Mesir,
misalnya, selain ada opini yang pro Daulah Islamiyah, ternyata ada juga yang
menginginkan Daulah Madaniyah (negara sipil) alias negara sekular.
Opini yang terpecah dan tidak solid ini adalah konsekuensi logis dari karakter people
power yang terbentuk dari koalisi pelangi tadi. Padahal opini umum sangat
penting untuk mendorong terjadinya perubahan ke arah yang diinginkan. Jadi, people
power memang jalan tidak sahih untuk mendirikan Khilafah (Al-Waie
[Arab], No 291, Rabiul Akhir 1432/ Maret 2011, hlm. 4).
5.
Metode Kudeta.
Dalam istilah politik, kudeta berarti sebuah
gerakan/operasi yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan dengan kekuatan
(militer) atau dengan jalan yang inkonstitusional (Munir Ba’albaki, Kamus
Al-Mawrid, hlm.224). Dalam literatur bahasa Arab, kudeta disebut revolusi
militer (al-inqilab al-‘askari) yang didefinisikan sebagai penggunaan
senjata untuk memperoleh kekuasaan (istikhdam as-silah li al-wushul ila
al-hukm) (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah
Asy-Syar’iyah, I/302).
Kudeta bukanlah metode (thariqah) yang
yang sesuai dengan syariah untuk mendirikan Khilafah. Mengapa? Pertama:
karena ketika Rasululullah saw. berdakwah di Makkah (yaitu sebelum hijrah dan
berdirinya Daulah Islamiyah), belum disyariatkan perang atau penggunaan
senjata. Pada peristiwa Baiat Aqabah II, kaum Anshar yang membaiat Rasulullah
saw. meminta izin kepada beliau untuk memerangi penduduk Mina. Rasulullah saw.
menjawab, “Kita belum diperintahkan untuk itu [berperang]” (Ibnu Saad,
Ath-Thabaqat al-Kubra; Ta’rif Hizb at-Tahrir, 2010, hlm. 44;
Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 36).
Kedua: karena kudeta bertentangan dengan
metode yang dicontohkan Rasulullah saw. untuk menegakkan Daulah Islamiyah,
yaitu thalabun-nushrah (mencari dukungan dan perlindungan) dari ahlun-nushrah
atau ahlul-quwwah, yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan dakwah
dan memperoleh kekuasaan. Aktivitas thalabun-nushrah bukan aktivitas
yang berdiri sendiri tanpa pendahuluan, melainkan aktivitas yang dilakukan pada
ujung tahapan interaksi dengan masyarakat (tafa’ul ma’a al-ummah).
Jadi, thalabun-nushrah didahului oleh aktivitas pembinaan masyarakat (tatsqif),
perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang pemikiran (shira’
fikri) (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/314; Hizbut
Tahrir: Fikratuhu wa Thariqatuhu wa Sayruhu, hlm. 23; Hazim Ied Badar, Thariqah
Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir: Thariqah Hashriyah la Yujadu Ghayruha, la
Syar’[an] wa la Waqi’[an], hlm. 9).
Aspek itulah yang menegaskan perbedaan kudeta
dengan thalabun-nushrah. Kudeta semata-mata bersandar pada kekuatan
militer dan paksaan, kurang memperhatikan aspek dukungan dan kesadaran
masyarakat. Sebaliknya, metode yang dicontohkan Rasulullah saw., yakni thalabun-nushrah
wajib didahului oleh pembentukan opini umum (al-ra‘yu al-‘am) yang
merupakan hasil dari proses pembinaan masyarakat (tatsqif), perjuangan
politik (kifah siyasi) dan perang pemikiran (shira’ fikri).
Jadi, dalam metode thalabun-nushrah yang dicontohkan Rasulullah saw.
tidak terjadi pemaksaan atas masyarakat, karena masyarakat telah sadar sendiri
akan perlunya Daulah Islamiyah.
Dengan demikian kudeta bukanlah jalan yang sahih
untuk mendirikan Khilafah. Selain menyalahi metode Rasulullah saw., kudeta juga
berbahaya karena mengabaikan aspek dukungan dan kesadaran masyarakat. Pemimpin
yang tidak didukung oleh masyarakat mungkin dalam jangka pendek masih bisa
berkuasa dengan tangan besi. Namun, cepat atau lambat, pemimpin seperti itu
akan diturunkan sendiri oleh rakyatnya secara paksa. Kisah tragis diktator
Muammar Khadafi yang kejam adalah contoh untuk itu.
Metode Sahih Menegakkan Khilafah
Metode Rasulullah saw. dalam upaya menegakkan
Daulah Islamiyah sesungguhnya terdiri dari beberapa tahapan dakwah yang khas.
Secara ringkas, tahapan dakwah yang telah ditempuh Rasulullah saw. tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin).
Tahapan ini telah dilakukan Rasulullah saw.
ketika memulai dakwahnya di Makkah. Pada tahap ini, Rasulullah saw. mendidik
dan membina masyarakat dengan ‘aqidah dan syariah Islam. Pembinaan ini
ditujukan agar umat Islam menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang
Muslim.
Dengan pendidikan dan pembinaan ini, seorang
Muslim diharapkan memiliki kesadaran bahwa menegakkan syariah Islam dan
Khilafah Islamiyah yang merupakan kewajiban asasi bagi dirinya dan berdiam diri
terhadap ‘aqidah dan sistem kufur adalah kemaksiatan. Kesadaran
seperti ini akan mendorong seorang Muslim untuk menjadikan ‘aqidah
Islam sebagai pandangan hidupnya dan syariah Islam sebagai tolok ukur
perbuatannya.
Kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk
berjuang menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah. Tanpa kesadaran ini,
Khilafah Islamiyah tidak pernah akan bisa diwujudkan di tengah-tengah
masyarakat. Hanya saja, kesadaran seperti ini tidak akan mendorong terjadinya
perubahan jika hanya dimiliki oleh individu atau sekelompok individu belaka.
Kesadaran ini harus dijadikan sebagai “kesadaran umum” melalui propaganda yang
bersifat terus-menerus. Dari sini maka perjuangan menegakkan syariah dan
Khilafah harus berwujud amal jama’i. Dengan kata lain, harus ada
gerakan Islam yang ikhlas yang ditujukan untuk membina dan memimpin umat dalam
perjuangan agung ini. Oleh karenanya, dalam aktivitas penyadaran ini, mutlak
dibutuhkan kehadiran sebuah kelompok politik atau partai politik.
2.
Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Umat (Marhalah Tafa’ul ma’a al-Ummah).
Tahap kedua adalah tahap interaksi dan
perjuangan di tengah umat. Individu-individu Islam yang telah terhimpun
dalam partai politik Islam yang ikhlas ini harus diterjunkan di tengah-tengah
masyarakat untuk meraih kekuasaan dari tangan umat. Hal itu sebagaimana yang
pernah dilakukan Rasulullah saw. bersama para sahabat. Setelah dianggap cukup
dalam menjalankan proses dakwah tahap pembinaan dan pengkaderan, kelompok
dakwah Rasul saw. selanjutnya diperintahkan Allah SWT untuk berdakwah secara
terang-terangan (Lihat: QS al-Hijr [15]: 94).
Dalam menjalankan perintah Allah tersebut,
Rasulullah saw. dan para sahabat terjun di tengah masyarakat, berinteraksi
dengan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran umum tentang pentingnya
kehidupan yang harus diatur dengan syariah Islam.
Proses akhir dakwah dari marhalah kedua
ini ditandai dengan pelaksanaan thalabun nushrah (mencari dukungan
politik dari ahlun nushrah) kepada para pemimpin qabilah
untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah saw. Puncak dari marhalah
ini adalah ketika Rasulullah saw. berhasil mendapatkan kekuasaan dari para
pemimpin qabilah dari Yastrib (Madinah) melalui Bai’atul Aqobah
II.
Dengan demikian, kekuasaan itu hakikatnya hanya
bisa diraih jika umat telah rela menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam
tersebut. Adapun cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat adalah terlebih
dulu melakukan proses penyadaran, yaitu menanamkan mafahim (pemahaman),
maqayis (standar perbuatan) dan qana’at (keyakinan/kepercayaan)
Islam di tengah-tengah mereka; sekaligus memutus hubungan masyarakat dengan mafahim,
maqayis dan qana’at kufur dan pelaksananya.
Dengan cara ini, umat akan mencabut dukungannya
terhadap sistem kufur dan pelaksananya, lalu menyerahkan kekuasaannya kepada
kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah tersebut dengan
sukarela. Hanya saja, prosesi seperti ini harus melibatkan ahlun-nushrah,
yakni orang-orang yang menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan umat, agar
transformasi menuju Khilafah Islamiyah berjalan dengan mudah.
Atas dasar itu, kelompok Islam tidak boleh
mencukupkan diri pada aktivitas membina umat dan membentuk opini umum tentang
Islam belaka, tetapi harus menuju kekuasaan secara langsung dengan menggunakan
metode yang telah digariskan Nabi saw. di atas, yakni thalabun-nushrah.
Pasalnya, hanya dengan metode thalabun-nushrah inilah jalan syar’i
untuk menegakkan Khilafah Islamiyah, bukan dengan metode yang lain.
3.
Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam).
Setelah proses thalabun-nushrah
berhasil, tahapan selanjutnya adalah penerapan syariah Islam sebagai hukum dan
perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah.
Sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat,
setelah beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II, beliau melanjutkan dengan hijrah
ke Madinah. Di Madinah inilah Rasulullah saw. dapat memulai penerapan
syariah Islam secara kaffah dalam institusi negara, yakni Daulah
Islamiyah. Penerapan syariah Islam ini ditandai dengan pemberlakuan Piagam
Madinah yang wajib ditaati oleh seluruh warga negara, baik Muslim maupun
non-Muslim. Selain penerapan syariah Islam untuk pengaturan kehidupan
masyarakat di dalam negeri, Rasulullah saw. juga menerapkan syariah Islam untuk
politik luar negerinya. Inilah tahap terakhir dari metode penegakan syariah
Islam yang dapat diteladani dari perjalanan dakwah Rasulullah saw. Setelah
perjuangan kelompok Islam memperoleh kekuasaan dari ahlun-nushrah,
pemimpin dari kelompok Islam tersebut akan dibaiat untuk menjadi khalifah,
dengan tugas menerapkan Islam secara kaffah, baik untuk pengaturan
kehidupan di dalam negeri maupun luar negerinya.
Dengan penerapan Islam secara kaffah inilah,
insya Allah keagungan Islam akan tampak dalam penerapannya di dalam
negeri dan juga akan tampak dari tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia,
untuk menebar rahmat-Nya. Hal itu sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT
dalam al-Quran (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [sumber:
Makalah JICMI 2013] [Dwi Condro Triono, PhD.; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]
Komentar
Posting Komentar