PERNYATAAN "TAK BOLEH MERASA BENAR" ADALAH "PERASAAN PALING BENAR SENDIRI"



Sekarang ini memang agak aneh. Orang tak boleh merasa benar. Artinya orang dipaksa untuk merasa salah. Bahkan “merasa benar” dianggap sebagai “aib yang paling aib”, bagi orang yang merasa terdidik dan berilmu. Tetapi, sayangnya orang juga tidak boleh merasa bersalah jika memang tidak salah. Jadi, memang sangat membingungkan. Sungguh suatu paradoks!

Orang mengatakan tak ada kebenaran hakiki, semua kebenaran itu relatif, sebab kebenaran hakiki hanya milik Allah. Tetapi giliran ada seseorang merujuk ke petunjuk Allah (al-qur’an dan al-hadits), dikatakan sebagai orang yang merasa benar sendiri, ekstrimis, kuno, eksklusif, dan lain sebagainya. Padahal logikanya, jika memang kebenaran hakiki itu miliki Allah, mestinya kita harus merujuk kepada Allah dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran. Meski, nash-nash Islam itu ada yang qathi dan ada yang dzanny, baik tusubut maupun dalalah-nya. Sehingga merujuk kepada al-qur’an dan hadits merupakan upaya untuk mendapatkan kebenaran, atau paling tidak upaya mendekati kebenaran.

Saat ada orang menyampaikan pendapatnya yang dipahami olehnya sesuai dengan syariah, sering disalahkan sebab dianggap “merasa benar sendiri”. Tanpa disadari, menyalahkan orang lain yang merujuk pada syariah, hakikatnya adalah “merasa benar sendiri”. Orang yang “menyalahkan orang”, sebenarnya ia sedang merasa pendapatnya “benar”, sementara pendapat yang lain “salah”. Pernyataan ini sebenarnya tak beda dengan ungkapan “semua orang salah kecuali saya”, hanya bahasanya terkesan lebih halus.

Bahkan, saat ini terdapat “mantra pamungkas” yang mampu menghancurkan semua argumentasi ilmiah dan semua dalil sahih, yaitu pernyataan: “Itu kan pendapat Anda!”. Terkadang seseorang berbulan-bulan mengumpulkan bukti, mencari dalil, mengkajinya dengan seksama, menyusunnya dalam kerangka nalar yang utuh, namun begitu disampaikan hanya dipatahkan dengan pernyataan “Itu kan pendapat Anda!”. Sudah begitu masih disalahkan dengan mantra berikutnya “Jangan merasa benar sendiri”. 

Sehingga sering sekali tak ada argumentasi lawan argumentasi, dalil lawan dalil, fakta lawan fakta. Yang ada hanyalah politik bumi hangus dengan senjata pamungkas: “Itu kan pendapat Anda!”.
Suatu saat sesorang menjelaskan kewajiban penerapan syariah dan Khilafah. Untuk itu dia menggunakan berbagai dalil dari hadits-hadits sahih riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain sebagainya. Namun, pernyataan itu bukan dibantah dengan dalil lain, tetapi hanya dengan pernyataan: “Imam Bukhari dan Muslim itu kan manusia. Sebagai manusia mungkin salah. Jadi, kami tidak percaya dengan orang yang ada kemungkinan salah”. Amboy!!!

Jika memang kerangka berpikirnya seperti ini, maka ilmu menjadi tak ada artinya. Berbagai penelitian hanya berakhir dengan sia-sia. Berbagai argumentasi hanya jadi sampah belaka. Tetapi, sayangnya banyak yang selalu bersembunyi di balik baju-baju ilmiah, modernitas, penelitian.

Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

PENCABUTAN STATUS BHP HTI BANYAK CACATNYA