MENASIHATI PENGUASA DI TEMPAT UMUM
Bolehkah menasehati penguasa di
tempat umum, baik secara langsung maupun melalui demonstrasi?
Nasehat
adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa.
Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi
kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau
kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat
jelata.
Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama
adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan
orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)
Karena
itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik
penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks
dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ
“Siapa
saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika
tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim)
Inilah
yang dilakukan oleh para ulamaSalaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin
Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu
Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi
mengirim suratkepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan
marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulissurat kembali kepada baginda,
“Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan
mempedulikan-nya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk mena-sehati
Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain,
selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan
kebaikan dan tambahan kebajikan.”1
Adapun
jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya
melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifi-kasikan menjadi dua:
Pertama,
kemunkaran yang dilakukansecara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha
merahasiakannya;
Kedua,
kemunkaran yang dilakukansecara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak
berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.
Jenis
kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemunkaran tersebut dari
pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara
tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemunkaran yang
dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum.
Sebaliknya, justru wajib
ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:
مَنْ
سَتَرَ عَوْرَةً فَكَأَنَّمَا اِسْتَحْيَا مَوْءُوْدَةً مِنْ قَبْرِهَا
“Siapa
saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan
menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.” (H.r. Ibn
Hibban)
Berbeda
dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara
terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran
tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang
dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang
Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:
1-
Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu
pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau kemunkaran
seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar
kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk
menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau
kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang
fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini
boleh.
2-
Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada
individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti
kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi,
kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini
justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui
bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya
tersebut. Inilah yang biasanya disebutkasyf al-khuthath wa
al-mu’amarah(membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat
(membongkar kemunka-ran).
Ini
didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang menga-takan, “Ketika aku
dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata:
‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada
di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah
kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir
yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau
menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun
menceritakannya kepada beliau.” 2
Apa
yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam,
kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan)
yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri
pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya,
yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya,
tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah
bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan
memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh.
Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum
membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya
bersifat umum.3
Karena
itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh
penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapan-nya maupun tidak
langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh
secara syar’i tetapi wajib.4
Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu
syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:
سَيِّدُ
الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ المُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ
جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu
syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan
seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan
melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r.
al-Hakim)
Apa
yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus pembatasan mahar,
pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti
kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan,
“Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh
mengemuka-kannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan
menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak,
pada dasarnya dia telah menunaikannya.”5
pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.
pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.
Dengan
demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan
penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat
terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa
beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara
tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi ataumasirah.
Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti suratterbuka,
buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik,
ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak
melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah
melakukannya. Faliyadzu billah. (Hafidz Abdurrahman)
(Footnotes)
1
H.r. al-Bukhari dan Muslim,Shahihayn, hadits no. 4520 dan 4976.
2
Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I,
hal. 22.
3
Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah,Beirut,
cet. Pertama, 2004, hal. 112-113.
4
Meski sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau
ma-sirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang
wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau
munkar yang dilakukan oleh penguasa.
5
Abu Syuja’, al-Firdaus min Ma’tsur al-Khaththab, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah,Beirut, cet. Pertama, 1986, juz III, hal. 591.
Kantor
Pusat Hizbut Tahrir Indonesia: Crown Palace A25 Jl Prof. Soepomo No. 231,
Jakarta Selatan 12390Telp/Fax: (62-21) 83787370 / 83787372 Email:
info@hizbut-tahrir.or.id
Komentar
Posting Komentar