BUNGA YG SEDIKIT, TIDAK HARAM?
Bunga yang Sedikit Tidak Haram,
Benarkah?
Tanya :
Ustadz, ada pendapat yang membolehkan riba sedikit, misal
satu persen, dengan dasar karena riba yang dilarang Alquran hanyalah “riba yang
berlipat ganda” saja. Mohon penjelasan.
(Nurwidianto, Bantul)
Jawab :
Memang
ada pendapat yang mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba yang
banyak atau “berlipat ganda” (adh’afan mudhaa’afah), sedangkan riba yang
sedikit tidak haram. Yang berpendapat seperti ini antara lain Jamaluddin Al
Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dengan dalil firman Allah SWT (yang
artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda (adh’afan mudhaa’afah).” (QS Ali ‘Imran [3] : 130).
(Abdul Majid Al Muhtasib, Ittijahat Al Tafsir fi Al ‘Ashr Al Rahin, hlm.
178; Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawa`ib Al Tafsir, hlm. 246; Abdul
Aziz Al Khayyath, Al Syarikat fi Al Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al
Wadh’i, Juz 2 hlm. 168-173).
Jamaluddin
Al Afghani berdalil dengan ayat itu, untuk membolehkan riba yang sedikit,
dengan berkata, ”Allah mengharamkan riba dengan dengan satu puncak hikmah,
yaitu hendaklah jangan dimakan riba yang berlipat ganda, yakni yang diharamkan
dalam ayat itu, dan supaya Imam mempunyai jalan keluar—ketika ada tuntutan
kemaslahatan—untuk membolehkan riba yang rasional (ma`quul) yang tidak
memberatkan pihak yang berutang.” (Muhammad Basya Al Makhzumi, Khathirat
Jamaluddin Al Afghani, hlm. 195, dalam Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawa`ib
Al Tafsir, hlm. 246).
Pendapat
Jamaluddin Al Afghani itu lalu diikuti oleh murid-muridnya, yaitu Rasyid Ridha
dan Muhammad Abduh. Ketika menafsirkan ayat QS Ali ‘Imran : 130, Muhammad Abduh
berkata,”…Ini adalah ayat dalam Alquran tentang pengharamannya (riba berlipat ganda),
dan Alquran tidak mengharamkan selain itu… Ini adalah ayat yang pertama kali
turun tentang pengharaman riba, yaitu ayat tentang pengharaman riba yang
dikhususkan dengan batasan ini (makhshuush bi hadza al qaid), dan ini
masyhur di sisi mereka.” (Muhammad Abduh, Tafsir Al Manaar, Juz 3
hlm. 133).
Berdasarkan
kutipan-kutipan di atas, jelas Jamaluddin Al Afghani dan murid-muridnya telah
membolehkan riba yang tidak berlipat ganda, berdasarkan QS Ali ‘Imran: 130,
dengan beberapa wajhul istidlal (cara pengambilan hukum dari dalil) sbb
: men-takhsiis (mengkhususkan/mengecualikan) keumuman ayat yang
mengharamkan riba, atau men-taqyiid (memberi batasan/syarat) dari
kemutlakan ayat yang mengharamkan riba, atau menarik mafhum mukhalafah
(pengertian yang sebaliknya) dari ayat yang melarang riba yang berlipat ganda.
Semua
wajhul istidlal tersebut batil dan hukum yang dihasilkannya, yaitu
membolehkan riba yang sedikit, adalah ijtihad yang batil, dengan dua alasan sbb
;
Pertama, tidak
dapat diterima menarik mafhum mukhalafah dari ayat QS Ali ‘Imran: 130,
atau menjadikan ayat itu sebagai takhsis/taqyiid dari keumuman
atau kemutlakan ayat yang mengharamkan riba (QS Al Baqarah: 275). Dalam kaitan
ini Imam Ibnu Hayyan Al Andalusi berkata, ”Riba sudah diharamkan dalam segala
jenisnya, maka dari itu haal yang terdapat dalam ayat itu (yaitu
larangan memakan riba yang berlipat ganda, adh’afan mudhaa’afah) tak
dapat diambil mafhum mukahalafah-nya dan tidak dapat pula menjadi qaid
(batasan) dalam larangan riba…” (Ibnu Hayyan Al Andalusi, Tafsir Al
Bahrul Muhith, Juz 3 hlm. 54; Imam Syaukani, Fathul Qadir, Juz 1
hlm. 380).
Kedua, tidak
dapat diterima menjadikan QS Ali ‘Imran ayat 130 sebagai takshihsh dari
keumuman haramnya riba dalam QS Al Baqarah : 275. Sebab dalam ilmu ushul fiqih,
dalil takshish itu seharusnya turun belakangan (muta`akhkhir)
dari dalil umumnya, atau kalaupun turun lebih dulu (mutaqaddim),
seharusnya takhshih itu bersambung (muttashil) dengan dalil
umumnya dalam satu rangkaian ayat. (Saifuddin Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul Al
Ahkam, Juz IV). Syarat tersebut tidak terwujud dalam pendapat Jamaluddin Al
Afghani, karena faktanya ayat QS Ali Imran : 130 turun lebih dahulu, bukan
turun belakangan. Baru setelah itu turunlah ayat QS Al Baqarah : 275. Lagipula
dua ayat tersebut tidak terletak dalam satu rangkaian ayat yang muttashil.
Jadi,
pendapat yang membolehkan riba yang sedikit adalah ijtihad yang batil yang
haram diamalkan kaum Muslimin, karena menyalahi nash qath’i (pasti) yang telah
mengharamkan segala jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Wallahu a’lam.[]
M Shiddiq Al Jawi
Sumber:
MediaUmat edisi 138
Komentar
Posting Komentar