HOS TJOKROAMINOTO BERHAJI ATAS PANGGILAN KHILAFAH, DAN UTUSAN DARI NUSANTARA


Kaum Muslim saat ini, sedikit sekali yang tahu bahwa ternyata Tjokroaminoto adalah seorang ulama yang menyadari bahwa kaum Muslim wajib bersatu dalam naungan Khilafah Islamiyah yang menerapkan Syariah Islam secara kaffah.

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, begitulah nama lengkapnya. Lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882. Ia adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama RM Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintah saat itu. Kakeknya RM Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Meski keturunan Soesoehoenan Pakoe Boewono II, ia bukanlah seorang priyayi yang tunduk patuh pada penjajah, bukan pula penganut Islam abangan. Karena ia adalah salah seorang ulama yang peka bahwa negerinya sedang dijajah, maka pada Mei 1912, ia bergabung dengan ormas Sjarikat Islam.

Dalam wadah tersebut ia gigih melawan penjajahan Keradjaan Protestan Belanda sehingga menjadi ulama yang sangat karismatik dan berpengaruh di Nusantara.

Saat itu, Keradjaan Protestan Belanda terus berupaya memberangus setiap upaya kebangkitan kaum Muslim untuk melawan penjajahan dan membuat makar agar kaum Muslim di Nusantara semakin menjauh dari Khilafah dan merasa bukan bagian dari umat yang satu di bawah panji Laailahaillallahu Muhammadarrasulullah.

Namun, semangat Tjokroaminoto untuk membela Syariah dan Khilafah tidak pernah pudar. Maka, tatkala Khilafah Islamiyah dihancurkan Inggris, melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal Laknatullah pada 3 Maret 1924, dunia Islam mengalami kegoncangan.

Upaya-upaya menegakkan kembali Khilafah pun dilakukan. Tidak ketinggalan juga ulama-ulama dari Indonesia, termasuk Tjokroaminoto. Pada 1 Juni 1926, diselenggarakan Kongres Khilafah di Mekah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu HOS Tjokroaminoto (Central Sjarikat Islam) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah).

Penunjukan mereka ditetapkan dalam Kongres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Kongres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya, dengan kapal Rondo dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sesampainya di Tanjung Priok, Jakarta, banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan.

Sikap itu lahir dari keyakinan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim. Umat Islam saat itu memandang Sultan Turki sebagai Khalifah. Bahkan Tjokroaminoto menyatakan bahwa khalifah bukan semata-mata untuk umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia.

Ditegaskannya pula bahwa khalifah merupakan hak bersama sesama Muslim dan bukan dominasi bangsa tertentu. Lebih tegas lagi, Tjokroaminoto juga menyatakan selain dua kota suci Mekah dan Madinah, khalifah adalah milik umat Islam sedunia.

Makanya ia begitu semangat agar umat Islam di Indonesia mengutus perwakilannya ke Kongres. Tujuannya untuk “mempertoendjoekan moeka terhadap oemat Islam sedoenia”, dan “melakoekan segala oesaha jang ditimbang bergoena bagi oemat Islam di negeri kita”. Di samping itu, mencari keterangan mengenai kelanjutan pemilihan khalifah.

Ia memahami betapa vitalnya peranan khalifah bagi umat Islam. Maka, ia menganalogikan umat Islam laksana suatu tubuh. Karenanya, bila umat Islam tidak memiliki khalifah maka, “seolah-olah badan tidak berkepala”.

Namun sangat disayangkan pada Kongres Khilafah yang ke-2, saat itu Nusantara diwakili Hadji Agoes Salim (Sjarikat Islam) hasilnya sangat mengecewakan dan berdampak buruk hingga detik ini.

Pasalnya tuan rumah yakni, Raja Saud, yang merupakan antek penjajah Inggris itu, tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam kongres tersebut. Sehingga kongres tersebut gagal.

Penentang Penjajah

Tidak aneh bila Saud bersikap demikian, karena jauh hari sebelum Khilafah Turki Utsmani roboh, pada saat ia menjadi Wali (Gubernur) salah satu wilayah di Timur Tengah (kini wilayah tersebut disebut Kerajaan Saudi Arabia) ia bersekongkol dengan Keradjaan Protestan Inggris untuk memberontak kepada khalifah kemudian menyatakan diri sebagai raja.

Sedangkan di Indonesia, menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, umat Islam menjadi tertindas diakibatkan kehilangan 40 kekuasaan politik Islam atau kesultanan. Dilemahkan eksistensinya dengan cara dipaksa untuk menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek).

Sehingga, meski tetap bergelar sultan, namun tidak lagi memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan istana, bersama kerabatnya, sultan terima gaji dari pemerintah kolonial Belanda.

Dalam kondisi sosial politik seperti itulah Tjokroaminoto bangkit membangun kesadaran umat untuk melawan penjajahan Belanda. Maka ia pun berseru:

“Tidak bisa manoesia mendjadi oetama jang sesoenggoeh-soenggoehnja, tidak bisa manoesia mendjadi besar dan moelia dalam arti kata jang sebenarnja, tidak bisa ia mendjadi berani dengan keberanian jang soetji dan oetama, kalau ada banjak barang jang ditakoeti dan disembahnja.

Keotamaan, kebesaran, kemoeliaan, dan keberanian jang sedemikian itoe, hanjalah bisa tertjapai karena “Tauhid” sahadja. Tegasnja, menetapkan lahir batin: Tidak ada sesembahan, melainkan Allah sahadja.”

Ia pun mengkristalisasi ajaran Rasulullah SAW ke dalam paradigma Lima K yakni kemauan, kekuatan, kemenangan, kekuasaan, dan kemerdekaan. Cita-cita persatuannya ialah Innamal Mukminun Ihwatun dan motto juangnya adalah Billahi fi Sabilil Haq.

Tjokroaminoto memprioritaskan membangun kekuatan dari kemauan umat. Nusantara Indonesia boleh saja diduduki oleh penjajah, tetapi tidaklah berarti telah terkalahkan pula kemauan umat Islam sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Apabila umat Islam telah bangkit kemauannya maka akan memiliki kekuatan yang tidak terhingga.

Penjajah memahami itu, bahkan merumuskan terori yang disebut dengan teori Carl von Clausewitz, On War, bahwa untuk memenangkan perang, maka yang harus diutamakan dan dijadikan target serangan adalah destruction of the enemy’s will (penghancuran kemauan lawan).

Maka dengan Sjarikat Islamnya, Tjokroaminoto berhasil membangun kemauan umat untuk melawan penjajahan Belanda. Saat ini Belanda telah pergi, namun Indonesia belum benar-benar merdeka karena masih dijajah oleh Amerika.

Lantas sekarang rakyat Indonesia maunya apa? Tunduk patuh pada Amerika atau bangkit melawan dengan menegakkan Syariah dan Khilafah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH