Jangan Sebut Istrimu Pengemis
Oleh: Iwan Januar
Pagi-pagi seorang kawan mengirim pertanyaan kepada saya;
"Pak, apa sih bedanya nafkah dengan uang belanja?"
Sejenak saya heran dengan pertanyaannya. Tapi kemudian ia memberikan alasan mengapa soal nafkah dan uang belanja itu ditanyakan. Ia membaca sebuah penjelasan yang menyebutkan beda antara nafkah dan uang belanja.
Menurut penjelasan itu uang belanja itu adalah harta yang overall dikeluarkan oleh seorang suami untuk anak dan istrinya. Sedangkan nafkah itu adalah harta yang diberikan suami kepada istri sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi sang istri, sebutlah kosmetik, sepatu, tas, dll.
Masih dalam penjelasan itu, belum sempurnalah kewajiban seorang suami bila hanya mengeluarkan uang belanja tanpa nafkah kepada istrinya. Maksudnya, tidak memberikan harta kepada istri untuk memenuhi hak-haknya yang bersifat pribadi seperti yang dicontohkan di atas. Bila seorang suami baru memberikan uang belanja tapi tidak nafkah kepada istri, maka bisa-bisa istri “mengemis” kepada suami untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Hmm, menarik juga pembahasan ini. Sejauh yang saya baca dari beberapa buku yang saya baca — dan mohon maaf bacaan saya itu tidak banyak –, memang tidak ditemukan perbedaan antara nafkah dan uang belanja. Dalam buku-buku pernikahan klasik para ulama menggunakan kata “nafkah” sebagai amal suami dalam mengeluarkan harta untuk kebutuhan keluarganya. Baik itu untuk keperluan ‘operasional’ sehari-hari dalam berumah tangga, termasuk untuk kebutuhan pribadi istri. Jadi, kata “nafkah” itu sudah include membiayai kebutuhan pribadi istri seperti baju, tas termasuk perhiasan. Misalnya sabda Nabi saw.:
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Jika seorang suami menafkahi keluarganya dengan mengharap ridla Allah maka itu adalah (pahala) sedekah untuknya (HR. Bukhari).
Juga sabda Beliau yang lain:
أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ
Dinar yang paling utama yang dinafkahkah seseorang pada keluarganya (HR. Muslim).
Dalam dua nash itu kata ‘anfaqa’ dan ‘yunfiqu’ mencakup semua kebutuhan istri dan anak-anak. Bukan saja kebutuhan asasiyah (primer) seperti pangan, sandang dan papan, tapi juga kebutuhan kamaliyyat (sekunder, tersier bahkan luxuri).
Lebih jauh lagi Allah SWT. mewajibkan para suami memberikan nafkah pada keluarga – tentu include istri – secara ma’ruf. FirmanNya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.(QS. Al-Baqarah: 233).
Apa sih pengertian ma’ruf dalam nafkah di atas? Hmm, kita simak kupasan Imam Ibnu Katsir dalam masterpiece-nya; yakni dengan kondisi yang secara adat atau standar di negeri-negeri mereka dengan tanpa israf (pada hal yang haram) dan juga tidak iqtar (bakhil/menahan nafkah mereka), sesuai kemampuanya dalam kelapangan rizkinya, kebaikannya maupun keterbatasannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaq: 7)
Sampai di sini mestinya mata para suami makin terbuka lebar, bahwa kewajiban memberikan nafkah pada keluarga tidak terbatas pada operasional rumah tangga yang bersifat harian seperti beli beras, bayar listrik, tagihan air, uang sekolah, sabun, odol dan sampo. Tapi kita diminta memberikan nafkah yang cukup, pantas, layak bagi anak dan pastinya istri kita.
Bila kita sanggup menyekolahkan anak di sekolah yang bagus, berkualitas tinggi, meskipun mahal maka lakukanlah. Bila kita sanggup membelikan sabun mandi yang bagus untuk anak dan istri kita meski harganya premium, maka belilah, jangan malah dibelikan sabun colek.
Begitupula bila kita bisa membelikan pakaian dan kerudung yang bagus untuk istri dan anak-anak kita, jam tangan yang bagus, tas tangan yang keren, why not? Itu adalah hak mereka. Hak anak-anak dan istri kita. Penuhilah hak-hak mereka dalam batas-batas kemampuan kita sebagai pencari nafkah. Itulah makna ma’ruf yang Allah perintahkan dalam firman-firmanNya.
Tapi andai mereka memilih hidup sederhana, zuhud, dan menjaga diri karena Allah, maka pasti Allah lipatgandakan pahala bagi mereka. Insya Allah.
Jangan memandang apalagi menyebut istri kita pengemis saat ia menyampaikan kebutuhannya. Itu adalah hak mereka. Apalagi bila itu adalah kebutuhan pokok maka sudah semestinya tanpa diminta seorang suami bersegera memenuhi kebutuhannya. Bila tidak, berdosalah ia di mata Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Cukuplah seseorang berdosa dengan mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya. (HR. Ahmad).
Maka carilah nafkah yang halal sebaik-baiknya. Gunakan untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri kita hingga level terpuji (di mata Allah). Ketika mereka mengeluhkan kebutuhan yang dirasa kurang, maka jangan hardik mereka, jangan sebut juga mereka – apalagi istrimu – sebagai pengemis. Kewajibanmu untuk memenuhinya. Engkaulah yang memang telah diamanati oleh Allah untuk memenuhi nafkah mereka. Bukankah kita, para suami, yang telah dengan segala rasa percaya diri mengambil amanah yang berat ini dengan kalimat yang berat pula (mitsaqon ghalidzan)?
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
Bertakwalah pada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimatullah! (HR. Muslim).
Komentar
Posting Komentar