BAHAYA POLITIK DAGANG SAPI
Bahaya Politik Dagang Sapi
Dengan
semakin miripnya program dan orientasi kampanye partai, demokrasi menjadi alat
stabilitas politik bukan perubahan sosial
(Richard S. Katz and Peter Mair, How Parties Organize)
Politik dagang sapi atau kompromi
tidak bisa dihindarkan , semua sama saja, bahkan bisa lebih parah dari pemilu
sebelumnya. Pernyataan ini muncul dari Ketua DPR Marzuki Ali setelah melihat
hasil pemilu legislatif. Tidak adanya partai yang dominan menurutnya akan
membuat partai-partai akan berkompromi untuk bisa mendapatkan jatah kekuasaan.
Dengan kekuataan yang hampir merata, bisa dipastikan, keputusan DPR maupun
kebijakan pemerintah akan terbelenggu partai-partai koalisi.
Kita sudah bisa membayangkan, kebijakan
yang lahir dari pemerintahan ke depan bukanlah untuk kepentingan rakyat tapi
lebih banyak untuk kepentingan elit-elit politik. Kalau semua masuk dalam
koalisi, jangan berharap akan muncul partai yang serius mengkritisi kebijakan
yang salah. Persoalannya, bukanlah lagi, salah benar tapi untung atau rugi buat
elit partai.
Namun kita jangan lupa, semua ini
merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang kita anut. Sri Mulyani, mantan
menteri keuangan dalam beberapa priode dan sekarang menjadi pejabat tinggi IMF,
pernah menggambarkan demokrasi seperti perusahaan yang melibatkan kartel
politik dan pengusaha. Rakyat sebagai pemegang saham utama berhak memilih chief
executive officer republik ini dan juga memilih orang-orang yang menjadi
pengawas CEO.
Dalam pidatonya yang disampaikan
tidak lama setelah pengunduran dirinya pada mei 2010, Sri Mulyani menyatakan,
proses ini (demokrasi) tak murah dan mudah. Butuh biaya luar biasa.
Apalagi (memilih) Presiden, dan tak bisa terbayangkan.Bahkan Sri Mulyani
mengaku terkejut dengan besarnya biaya sebab menjadi beban personal. Besarnya
biaya, ia gambarkan sangat tak masuk akal karena tak masuk perhitungan
pengembalian investasi.
Untuk mendapatkan dana luar biasa
itu, mau tidak mau, kandidat harus “berkolaborasi” dengan sumber finansial.
Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari
penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli
kebijakan. Kebijakan publik untuk masyarakat, lanjutnya, dibuat oleh kekuasaan.
Sehingga bahan utamanya yaitu kekuasaan yang amat mudah menggelincirkan pejabat
publik.Kekuasaan itu membuat korup, katanya.
Membaca hal itu, sulit kita berharap
demokrasi akan membawa perubahan yang berarti. Apalagi ketika
partai-partai yang minus ideologi dan semakin pragmatis. Inilah yang dikatakan
Richard S. Katz and Peter Mair dalam How Parties Organize.
Menurutnya seiring dengan semakin
miripnya program partai politik, kampanye yang berorientasi sama, kaburnya
perbedaan partai pemerintah dan oposisi, kesempatan konstituen (rakyat) untuk
menghukum partai politik yang dinilai kurang berpihak kepada rakyat semakin
kecil. Demokrasi akhirnya menjadi alat untuk menciptakan stabilitas politik
bukan untuk perubahan sosial.
Maka sungguh sangat kita sayangkan
kalau partai-partai yang mengklaim berasas Islam atau berbasis massa Islam,
juga terjebak dalam politik dagang sapi ini. Tindakan ini jelas merupakan bunuh
diri secara politik. Sebab keterlibatan dalam politik dagang sapi, jelas akan
mendistorsi ideologi partai yaitu aqidah Islam dan syariah Islam.
Partai Islam yang seharusnya
berpegang teguh pada aqidah Islam dan syariah Islam, akhirnya merendahkan
dirinya demi secuil kekuasaan dan kesenangan dunia. Berkoalisi dengan
partai-partai sekuler dan liberal, yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Karena terbelenggu dalam koalisi,
partai Islam kalaulah tidak ikut mendukung kebijakan yang sekuler-liberal yang
bertentangan dengan Islam, paling tidak diam ketika melihat kemungkaran
terjadi. Yang menyedihkan kalau partai-partai yang mengklaim berasas Islam ,
berusaha untuk mencari-cari dalil-dalil agama untuk membenarkan kemaksiatan.
Islam kemudian hanya dipakai untuk
menarik masa bukan untuk diperjuangkan dan diterapkan. Karena itu seruan
penegakan syariah Islam apalagi dalam bentuk seruan kewajiban Khilafah Islam,
semakin senyap, bahkan hilang sama sekali.
Jebakan koalisi dalam demokrasi,
menuntut partai Islam harus bertoleransi terhadap ideologi sekuler sahabat
koalisi. Untuk menjaga persahabatan itu, partai Islam pun cenderung
memilih diam, tidak menyerang kekufuran dan kedzoliman dari ideologi sekuler
yang diadopsi sahabat koalisi.
Padahal tugas sejati partai Islam
seperti yang terdapat dalam al Qur’an surat Ali Imron 104 adalah menyeru ke
jalan al khoir , memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.
Dalam tafsir Jami’ al bayan fi ta’wil al Qur’an, Imam atThobari
dengan gamblang menjelaskan, seruan al khoir itu adalah seruan kepada Islam dan
syariah-nya.
Menyeru kepada yang ma’ruf
artinya menyeru manusia untuk mengikuti Rosulullah SAW dan agama yang dibawanya
dari sisi Allah SWT. Sementara mencegah kemungkaran adalah mencegah kekufuran
terhadap Allah dan kedustaan terhadap Rosulullah SAW dan apa-apa yang beliau
bawa dari Allah SWT. Walhasil, tunduk dan diam terhadap ideologi sekuler
adalah bentuk keharaman dan pengkhianatan kepada umat , Allah dan
Rosul-Nya!(Farid Wadjdi)
Komentar
Posting Komentar