BAHAYA POLITIK DAGANG SAPI



Bahaya Politik Dagang Sapi

http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2014/04/NO-URUT-PARTAI-300x121.jpg

Dengan semakin miripnya program dan orientasi kampanye partai, demokrasi menjadi alat stabilitas politik bukan perubahan sosial (Richard S. Katz and Peter Mair, How Parties Organize)

Politik dagang sapi atau kompromi tidak bisa dihindarkan , semua sama saja, bahkan bisa lebih parah dari pemilu sebelumnya. Pernyataan ini muncul dari Ketua DPR Marzuki Ali setelah melihat hasil pemilu legislatif.  Tidak adanya partai yang dominan menurutnya akan membuat partai-partai akan berkompromi untuk bisa mendapatkan jatah kekuasaan. Dengan kekuataan yang hampir merata, bisa dipastikan, keputusan DPR maupun kebijakan pemerintah akan terbelenggu partai-partai koalisi.

Kita sudah bisa membayangkan, kebijakan yang lahir dari pemerintahan ke depan bukanlah untuk kepentingan rakyat tapi lebih banyak untuk kepentingan elit-elit politik. Kalau semua masuk dalam koalisi, jangan berharap akan muncul partai yang serius mengkritisi kebijakan yang salah. Persoalannya, bukanlah lagi, salah benar tapi untung atau rugi buat elit partai.

Namun kita jangan lupa, semua ini merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang kita anut. Sri Mulyani, mantan menteri keuangan dalam beberapa priode dan sekarang menjadi pejabat tinggi IMF, pernah menggambarkan  demokrasi seperti perusahaan yang melibatkan kartel politik dan pengusaha. Rakyat sebagai pemegang saham utama berhak memilih chief executive officer republik ini dan juga memilih orang-orang yang menjadi pengawas CEO.

Dalam pidatonya yang disampaikan tidak lama setelah pengunduran dirinya pada mei 2010, Sri Mulyani menyatakan, proses ini (demokrasi)  tak murah dan mudah. Butuh biaya luar biasa. Apalagi (memilih) Presiden, dan tak bisa terbayangkan.Bahkan Sri Mulyani mengaku terkejut dengan besarnya biaya sebab menjadi beban personal. Besarnya biaya, ia gambarkan sangat tak masuk akal karena tak masuk perhitungan pengembalian investasi.

Untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat harus “berkolaborasi” dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan. Kebijakan publik untuk masyarakat, lanjutnya, dibuat oleh kekuasaan. Sehingga bahan utamanya yaitu kekuasaan yang amat mudah menggelincirkan pejabat publik.Kekuasaan itu membuat korup, katanya.

Membaca hal itu, sulit kita berharap demokrasi  akan membawa perubahan yang berarti.  Apalagi ketika partai-partai yang minus ideologi dan semakin pragmatis. Inilah yang dikatakan Richard S. Katz and Peter Mair dalam How Parties Organize.

Menurutnya seiring dengan semakin miripnya program partai politik, kampanye yang berorientasi sama, kaburnya perbedaan partai pemerintah dan oposisi, kesempatan konstituen (rakyat) untuk menghukum partai politik yang dinilai kurang berpihak kepada rakyat semakin kecil. Demokrasi akhirnya menjadi alat untuk menciptakan stabilitas politik bukan untuk perubahan sosial.

Maka sungguh sangat kita sayangkan kalau partai-partai yang mengklaim berasas Islam atau berbasis massa Islam, juga terjebak dalam politik dagang sapi ini. Tindakan ini jelas merupakan bunuh diri secara politik. Sebab keterlibatan dalam politik dagang sapi, jelas akan mendistorsi ideologi partai yaitu aqidah Islam dan syariah Islam.

Partai Islam yang seharusnya berpegang teguh pada aqidah Islam dan syariah Islam, akhirnya merendahkan dirinya demi secuil kekuasaan dan kesenangan dunia. Berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan liberal, yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Karena terbelenggu dalam koalisi, partai Islam kalaulah tidak ikut mendukung kebijakan yang sekuler-liberal yang bertentangan dengan Islam, paling tidak diam ketika melihat kemungkaran terjadi. Yang menyedihkan kalau partai-partai yang mengklaim berasas Islam , berusaha untuk mencari-cari dalil-dalil agama untuk membenarkan kemaksiatan.

Islam kemudian hanya dipakai untuk menarik masa bukan untuk diperjuangkan dan diterapkan. Karena itu seruan penegakan syariah Islam apalagi dalam bentuk seruan kewajiban Khilafah Islam, semakin senyap, bahkan hilang sama sekali.

Jebakan koalisi dalam demokrasi, menuntut partai Islam harus bertoleransi terhadap ideologi sekuler sahabat koalisi. Untuk menjaga persahabatan  itu, partai Islam pun cenderung memilih diam, tidak menyerang kekufuran dan kedzoliman dari ideologi sekuler yang diadopsi sahabat koalisi.

Padahal tugas sejati partai Islam seperti yang terdapat dalam al Qur’an surat Ali Imron 104 adalah menyeru ke jalan al khoir , memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.  Dalam tafsir Jami’ al bayan fi ta’wil al Qur’an, Imam atThobari dengan gamblang menjelaskan, seruan al khoir itu adalah seruan kepada Islam dan syariah-nya.

Menyeru kepada yang ma’ruf artinya menyeru manusia untuk mengikuti Rosulullah SAW dan agama yang dibawanya dari sisi Allah SWT. Sementara mencegah kemungkaran adalah mencegah kekufuran terhadap Allah dan kedustaan terhadap Rosulullah SAW dan apa-apa yang beliau bawa dari Allah SWT.  Walhasil, tunduk dan diam terhadap ideologi sekuler adalah bentuk keharaman dan pengkhianatan kepada umat , Allah dan Rosul-Nya!(Farid Wadjdi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH