SOAL JAWAB TENTANG BID'AH
Jawab
Soal : Seputar Bid’ah
(sumber : Situs Amir Hizbut Tahrir ;
http://hizb-ut-tahrir.info)
Soal: pada satu pertemuan kami
mendiskusikan masalah bid’ah secara istilah. Sebagian dari kami mengatakan
bahwa bid’ah itu mencakup semua bentuk yang menyalahi ketentuan asy-Syâri’.
Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud bid’ah itu hanya
penyimpangan ketentuan asy-Syâri’ dalam ibadah… Kami mohon penjelasan masalah
ini? Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.
Jawab:
Perintah-perintah asy-Syâri’ itu ada
dua jenis:
Jenis pertama, dinyatakan redaksi
perintah disertai penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu
langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan. Misalnya Allah SWT
berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
Dan
dirikanlah shalat (QS al-Baqarah [2]: 43)
Ini adalah redaksi perintah. Akan
tetapi manusia tidak dibiarkan untuk shalat sesuai keinginannya, melainkan
datang nash-nash lain yang menjelaskan tata cara menunaikan shalat mulai
takbiratul ihram, berdiri, membaca al-Fatihah, ruku’, I’idal, sujud… Demikian
juga Allah berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
dan
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 97)
ini adalah redaksi perintah untuk
menunaikan haji “berupa redaksi berita dalam makna tuntutan”, kemudian terdapat
nash-nash yang menjelaskan tata cara menunaikan perintah berhaji itu…
Jenis kedua, dinyatakan redaksi
perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan tata cara
menunaikannya. Artinya tanpa penjelasan langkah-langkah praktis untuk
menunaikannya.
Misalnya sabda Rasulullah saw:
«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ [أخرجه البخاري]
Siapa saja yang melakukan salaf pada
sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu
tertentu (HR Bukhari)
Di sini terdapat perintah melakukan
jual beli salam “salaf” dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan
agar jual beli salam itu dilakukan pada takaran, timbangan, dan jangka waktu
tertentu. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara langkah-angkah
pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad hendaknya duduk berhadapan, dan
membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan, saling memeluk satu
sama lain, kemudian saling menyeru dalam masalah jual beli salam … dan setelah
itu baru dilakukan ijab dan qabul…
Contoh lain, sabda Rasulullah saw:
« الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ » [البخاري ومسلم]
Emas dengan emas adalah riba kecuali
tunai (HR Muslim)
«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ
بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»[البخاري ومسم]
Emas dengan emas harus sama, dirham
dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan perintah “redaksi
berita dalam makna tuntutan”. Akan tetapi tidak dijelaskan tata cara
langkah-langkah praktis untuk pertukran itu seperti yang kami sebutkan
sebelumnya.
Contoh lainnya, telah sahih bahwa
Rasul saw telah memerintahkan untuk berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Akan
tetapi Beliau tidak menjelaskan tata cara langkah-langkah praktis berdiri itu
seperti yang kami jelaskan pada contoh pertama.
Begitulah, jadi terdapat
perintah-perintah asy-Syâri’ dan bersamanya dinyatakan pula langkah-langkah
praktis untuk menunaikannya. Dan juga terdapat perintah-perintah asy-Syâri’
yang dinyatakan secara mutlak atau secara umum tanpa disertai langkah-langkah
praktis terperinci tata cara menunaikannya.
Penyimpangan perintah asy-Syâri’
yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya secara istilah disebut bid’ah,
karena dilakukan tidak menurut tata cara yang telah dijelaskan oleh asy-Syâri’.
Jadi bid’ah secara bahasa seperti
dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’)
adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya…
Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan
contoh sebelumnya.
Dan bid’ah secara istilah demikian
pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’
untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan
oleh hadis berikut.
«
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ » [البخاري ومسلم]
Siapa saja yang melakukan satu
perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari
dan Muslim)
Begitulah, jika orang bersujud tiga
kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja
yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan
maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan
setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya
itu.
Menyalahi perintah syara’ yang tidak
memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum
syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan
taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid … jika berupa
seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang
menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.
Pada contoh kami yang pertama, siapa
yang melakukan salaf “yaitu mengakadkan akad salam” dengan menyalahi perintah
asy-Syâri’ yaitu tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak
dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah. Melainkan dikatakan bahwa akad yang
menyalahi perintah asy-Syâri’ tersebut adalah batil atau fasid sesuai jenis
penyimpangannya.
Pada contoh kedua, jika menyalahi
perintah asy-Syâri’ “emas dengan emas kontan dan sama”, yaitu seandainya
seorang laki-laki mempertukarkan emas dengan emas dengan cara menyalahi
perintah asy-Syâri’ yaitu tidak sama dan tidak kontan, maka tidak dikatakan
bahwa ia mendatangkan bid’ah karena menyalahi perintah tersebut. Melainkan
dikatakan ia melakukan keharaman dengan melakukan muamalah ribawi.
Juga menyalahi perintah berdiri
ketika ada jenazah lewat dan ia tetap duduk, tidak dikatakan bahwa itu bid’ah.
Tetapi dikatakan bahwa itu adalah mubah karena nash-nash syara’ menyatakan dua
kondisi. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:
«قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ قَعَدَ» [مسلم]
Rasulullah saw berdiri kemudian
Beliau duduk (HR Muslim)
Begitu pula terkait penyimpangan
perintah asy-Syâri’:
«فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ» [البخاري]
Pilihlah yang memiliki kebaikan
agama niscaya engkau akan selamat (HR Bukhari)
Penyimangan terhadap perintah ini
tidak dikatakan sebagai bid’ah. Akan tetapi dipelajari hukum syara’ berkaitan
dengan pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu
karena tidak dijelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya apakah
orang yang meminang itu berdiri di depan wanita itu, membaca ayat kursi, lalu
melangkah ke depan satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian
melangkah satu langkah lagi dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan
kanannya dan menyampaikan pinangan…
Demikian juga sabda Rasul saw:
«يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ هَذَا الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ
اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ» [أبو داود وأحمد]
Wahai para pedagang sesungguhnya
jual beli ini dihadiri oleh ungkapan berlebihan dan sumpah maka siramlah dengan
sedekah (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Sabda itu Beliau sampaikan kepada
para pedagang akibat mereka banyak bersumpah. Maka asy-Syâri’ tidak menjelaskan
langkah-langkah rinci untuk menunaikan perintah “siramlah”. Atas dasar itu maka
tidak dikatakan bahwa siapa yang menjual dan menggunakan sumpah, jika ia tidak
jujur, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Melainkan dipelajari
hukum syara’ berkaitan dengan ketidakjujuran pedagang yang mengucapkan sumpah
pada saat berjual beli itu.
Begitulah berkaitan dengan
penyimpangan perintah-perintah yang asy-Syâri’ tidak mendatangkan tata caranya
secara terperinci untuk menunaikannya.
Dengan melakukan elaborasi terhadap
nash-nash syara’ didapati bahwa pada sebagian besar ibadah dinyatakan tata cara
untuk menunaikan perintah asy-Syâri’ tersebut, yaitu langkah-langkah praktis
untuk menerapkan perintah asy-Syâri’ itu. Karena itu bid’ah tidak terjadi dalam
selain ibadah. Karena hanya ibadah sajalah yang di dalamnya dinyatakan
langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’.
Kami katakan sebagian besar ibadah,
karena sebagian ibadah, tentangnya tidak dinyatakan langkah-langkah praktis
implementasinya. Misalnya, jihad. Meski jihad adalah ibadah, namun
perintah-perintahnya dinyatakan secara mutlak atau bersiat umum.
قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ
Perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu (QS at-Tawbah [9]: 123)
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Berjihadlah (melawan) orang-orang
kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS
at-Tawbah [9]: 73)
Perintah-perintah tersebut tidak
terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Tidak terdapat
misalnya tata cara memerangi itu seperti apa, misalnya dengan membaca
ayat-ayat, mengirimkan pengintai, melangkah satu langkah ke depan, kemudian
bergerak ke kanan … begitulah. Karena itu, siapa saja yang tidak berjihad pada
waktu yang ditetapkan untuk berjihad, tidak dikatakan ia mendatangkan bid’ah.
Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman karena tidak turut berjihad.
Ringkasnya bahwa penyimpangan
perintah asy-Syâri’ yang asy-Syâri’ jelaskan tata cara penunaiannya, maka
penyimpangan itu merupakan bid’ah. Sedangkan penyimpangan perintah asy-Syâri’
yang bersifat mutlak atau bersifat umum, yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata
cara penunaiannya maka penyimpangan itu terjadi pada hukum syara’ “taklif
–haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy –batil, fasad”.
Dan karena dengan melakukan
elaborasi ditemukan bahwa kebanyakan ibadah di dalamnya dinyatakan tata cara
penunaiannya, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalam ibadah masuk
dalam kategori bid’ah.
Sedangkan dalil-dalil mumalah atau
jihad… maka dinyatakan secara mutlak atau umum, atas dasar itu penyimpangan
yang terjadi di dalamnya masuk dalam bab hukum syara’ “taklif: haram, makruh,
mubah” atau “wadh’iy: batil, fasad”.
Komentar
Posting Komentar