Dilan, Simbol Baru Budaya Pacaran dan Vandalisme




 Oleh: Luky B Rouf
(Penulis, Aktivis Dakwah, Pemerhati Interaksi Sosial Kawula Muda, Inisiator Gerakan Indonesia Nikah Syar’i)

Dilan adalah tokoh fiktif dalam sequel novel Dilan 1990 yang ditulis penulis ‘nyeleneh’ Pidi Baiq. Tahun 2018 kemarin sukses diangkat ke layar lebar dan mendapat sejumlah penghargaan. Saya tidak membaca langsung novelnya, tapi saya mengikuti beberapa review yang ditulis oleh para penulis lain. Tidak berbeda jauh antara yang ditulis di novel dengan yang difilmkan.

Dilan, seorang anak SMA di Bandung yang layaknya remaja pada umumnya, jatuh cinta, eksistensi diri dan kesetiakawanan. Hanya yang membuat Dilan berbeda dengan remaja pada umumnya, dan ini barangkali yang membuat tidak sedikit anak-anak muda mem-berhala-kan Dilan, yakni sikapnya sok cool, pandai merayu, kata-katanya puitis dan setia pada pasangan.

Justru dari penciptaan karakter Dilan “yang beda” itulah, semakin menegaskan bahwa dia menambah deretan simbol anak-anak muda untuk semakin asyik masyuk menggauli dunia pacaran. Jadi seolah-olah dari tokoh Dilan itu penulis maupun pembuat filmnya ingin mengatakan kepada pemirsah bahwa “loe nggak papa pacaran, asalkan loe setia dan pengertian kayak Dilan”.

Tak hanya itu, Dilan dalam alur ceritanya memiliki sikap dan sifat yang sebenarnya tak pantas ditiru oleh pelajar dan anak muda pada umumnya, yakni sikap temparement yang berimbas pada sikap beraninya pada guru. Meskipun bisa jadi oleh penulisnya atau pemfilmnya, sikap tersebut bisa jadi pembenaran karena melawan ‘kezaliman’ guru.

Padahal dari sikap itulah berbarengan dengan kelakuan vandalisme Dilan, Anhar yang hobi tawuran. Jadi, kalau beberapa waktu lalu kita diributkan oleh perilaku siswa yang berani memukul gurunya, maka Dilan bisa menjadi rujukan tutorial untuk hal tersebut. Karena di filmnya yang 1990 persis dipertontonkan perilaku itu oleh Dilan. Sehingga tidak berlebihan jika judul tullisan saya kali ini dengan judul demikian.

Lebih dari itu, Dilan sangat dipuja, dinanti karena cerita romantisnya, bunga-bunga katanya dalam setiap rayuan kepada Milea. Aktingnya Dilan pedekate sampai jadian dengan Milea, secara sengaja ataupun tidak menjadi tutorial anak muda melakukan pacaran. Anak-anak muda seakan mendapat stempel legalitas untuk semakin berani berpacaran atau minima mencari gebetan.

Ironisnya, tepat tanggal 28 Februari 2019, seorang Gubernur yang selama dahulu menjabat Walikota hobinya bikin taman-taman, sekarang niatnya keturutan membuat taman, yang akhirnya diralat menjadi Pojok Dilan. Tak habis pikir, satu sisi seorang pejabat kepala daerah, level berpikirnya hanya setingkat taman, di sisi yang lain tidak melihat secara komprehensif dampak setelah dibuatnya taman-taman semacam itu.

Padahal, sudah bukan rahasia lagi, pacaran tidak bisa dilepaskaitkan, tidak bisa dijauhkan dari seks bebas itu sendiri. Meskipun, ada pembelaan dari siapapun bahwa pacaran atau setidaknya gaya pacaran Dilan, masih aman-aman saja, maka itu tidak bisa menutup fakta bahwa pacaran adalah pintu zina. Kalau dalam istilah saya, pacaran adalah salah satu dari induknya kemaksiatan zina. Sebab berawal dari pacaran (pergaulan bebas) juga, lahirlah kemaksiatan aborsi, hamil diluar nikah, bunuh diri, dan lain-lain.

Dan bagi kita yang muslim, pacaran itu qaraba zina (mendekati zina) dan itu sudah dilarang oleh Allah (QS. Al Isra 32). Jika ada upaya untuk menjauhkan nilai-nilai agama (spiritual) dengan dalil, maka secara sengaja orang tersebut sekularisme dan mengajak sekular orang lain. Sepertinya, itulah upaya yang hendak dan masih dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin disekitar kita, termasuk di film Dilan.

Jadi, jika hari ini masih terjadi kontroversi pembuatan pojok Dilan di Kota Bandung, mengingat Dilan hanya tokoh fiktif, sementara tokoh Sunda/Jawa Barat yang lebih layak dibuatkan semacam taman, maka sejatinya Dilan adalah tokoh alias simbol budaya pacaran yang sudah jelas mendekati zina dan vandalisme tawuran.

Jika ada upaya menokohkan Dilan, mensibolkan Dilan, memberhalakan Dilan, maka dia secara sengaja setuju dengan pacaran atau zina itu sendiri. Padahal zina, adalah salah satu dari tiga (3) pintu induk kemaksiatan. Imam Ibnu Qoyyim rohimahulloh berkata: “Induk semua kemaksiatan, baik yang besar ataupun yang kecil ada tiga, yaitu; (1) Keterikatan hati kepada selain Allah Ta’ala, yang tidak lain adalah syirik; (2) Menuruti dorongan emosi, yang tidak lain adalah zholim; (3) Menuruti kekuatan nafsu syahwat, yang tidak lain adalah berzina.

Berpikirlah agak fundamental dikit, wahai penulis, pembuat film, dan para pemuja Dilan. Anda telah berkontribusi terhadap kerusakan generasi negeri ini makin parah dengan mengkampanyekan film Dilan. Jangan sampai Allah murka ketika zina (pacaran) telah marak disimbolkan dan dilegalisasi. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH