HUKUM MENGINGKARI DAN MENENTANG KHILAFAH?



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Khadim Ma’had Syaraful Haramain

SOAL:

Bagaimana status hukum orang yang mengingkari dan menentang kewajiban untuk menegakkan Khilafah?

JAWAB:

Untuk mengetahui bagaimana hukum orang yang mengingkari atau menentang kewajiban menegakkan khilafah, maka bisa dikembalikan pada tiga aspek: Pertama, dalil tentang kewajiban menegakkan khilafah; Kedua, hukum menegakkan khilafah; Ketiga, status orang yang meninggalkan dan mengingkari kewajiban tersebut.

PERTAMA,

yang digunakan oleh para ulama’ untuk membuktikan bahwa hukum menegakkan khilafah adalah wajib dapat dikembalikan pada tiga hal:

Pertama, Ijmak Sahabat yang secara sharih menyepakati wajibnya mengangkat pengganti Nabi untuk mengurusi urusan dunia dan agama ini. Ini terlihat dalam dua hal: Pertama, Khutbah Abu Bakar saat wafatnya Rasul saw. yang menyatakan:

“Ingat, bahwa Muhammad telah meninggal, sementara urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankan.”

Maka, semua yang hadir pun segera menerima khutbah tersebut, dan tak seorang pun menolaknya.[1] Setelah itu, mereka pun mulai berpikir, siapa yang akan diangkat menjadi khalifah.[2] Kedua, pengangkatan para sahabat terhadap Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’adah, yang kemudian diikuti oleh bai’at kaum Muslim di Masjid Nabawi.[3]

Kedua, nas-nas al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk menjalankan sanksi hukum, seperti potong tangan,[4] cambuk untuk pezina,[5]termasuk rajam dan qishash,[6] menyiapkan pasukan untuk berjihad[7]dan sebagainya, yang kesemuanya itu hanya bisa diwujudkan jika ada khalifah yang menjalankan hukum-hukum tersebut.

Maka, hukum mengangkat khalifah dan mendirikan khilafah sama dengan hukum menerapkan potong tangan, cambuk, rajam, qishash dan menyiapkan pasukan di atas.
Dalam hal ini, selain berlaku kaidah ushul, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib.” juga berlaku dalalah iltizam, yang statusnya sama dengan manthuq-nya.

Ketiga, nas-nas hadits yang memerintahkan untuk membai’at khalifah,[8]dan mencela orang yang tidak membai’at khalifah[9] atau melepaskannya.[10]

Semua ulama’ Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij —kecuali sekte an-Najadat— dan Muktazilah —kecuali sekte al-Asham dan al-Fuwathi— sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib.
Pandangan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam kitab Ghayat al-Maram, karya al-Amidi (1971: 364), as-Siyasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah (1955: 161-162), dan Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi (1964: I: 2), dan kitab muktabar yang lainnya.

Bahkan, Ibn ‘Abidin menyebutnya sebagai ahamm al-wajibat (kewajiban yang paling penting),[11] dan as-Syathibi menyatakannya sebagai hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah syariah yang qath’i.[12]

KEDUA,
mengenai hukum menegakkan khilafah, para ulama’ tidak ada ikhtilaf mengenai status kefarduannya. Dalam hal ini adalah fardu kifayah,[13] yang oleh as-Syathibi didefinisikan sebagai fardu yang ditujukan kepada semua orang, namun jika telah dilakukan oleh sebagian, maka fardu tersebut telah gugur dari yang lain.[14]

Namun, as-Syathibi juga menegaskan, bahwa dari statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf, supaya kondisi umum —yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus (maksudnya fardu ‘ain)— bisa tetap tegak.

Bagian (fardu kifayah) ini, lanjut as-Syathibi, sesungguhnya menyempurnakan bagian yang pertama (fardu ‘ain), sehingga statusnya sama-sama dharuri (vital). Sebab, fardu ‘ain tidak bisa dijalankan, kecuali dengan dijalankannya fardu kifayah.[15]

Beliau juga menegaskan, bahwa fardu kifayah itu umumnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum —yang beliau contohkan seperti hukum khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majlis ummah), qadha’ (peradilan), imamah shalah (kepemimpinan shalat), jihad, pendidikan dan sebagainya— jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya, maka sistem kehidupan manusia akan menjadi berantakan.[16]

Karena itu, beliau menegaskan, bahwa pada dasarnya semua mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut bisa ditunaikan. Sebagian ada yang mampu (mu’ahhil), sehingga dia berkewajiban menunaikannya secara langsung. Namun, bagi sebagian yang lain (ghair mu’ahhil), sekalipun tidak bisa menunaikannya secara langsung, mereka tetap berkewajiban untuk menghadirkan orang-orang yang mampu. Jadi, yang mampu dituntut menegakkan kewajiban tersebut secara langsung, sedangkan yang tidak mampu dituntut menghadirkan orang yang mampu.[17]

KETIGA,

Adapun status orang yang meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah dan mengingkarinya dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama,sebagai hukum syariat, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama’ sebagai perkara dharuri (vital) dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama’ seperti Ibn ‘Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah tersebut sebagai Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah yang bid’ahnya menyebabkan dirinya Kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat.[18]

Namun, sebagian yang lain, karena bersikap ikhtiyath (lebih hati-hati), tidak mau mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasarkan Ijmak Sahabat. Alasannya, karena masih ada isykalat (berbagai kemungkinan).[19] Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ Ahlussunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi).

Kedua, adapun hukum meninggalkan kewajiban untuk menegakkannya, para ulama’ sepakat bahwa hukumnya haram, dan orang yang meninggalkannya berdosa, dan wajib dikenai sanksi.[20]
Namun tetap harus dibedakan, bahwa ada orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut karena menolak bahwa hukum mengadakan atau mendirikannya adalah wajib, dengan orang yang tidak menolak hukum tersebut, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendirikannya.

Bagi orang yang tidak melakukan, karena menolak bahwa kewajiban tersebut hukumnya tidak wajib, maka —sebagaimana pandangan ulama’ di atas— orang tersebut selain berdosa, juga masuk dalam kategori ahli bid’ah. Tetapi, bagi orang yang tidak melakukannya, karena tidak mengetahui tata caranya, dan pada saat yang sama dia mengakui bahwa hukum menegakannya adalah wajib, bisa dipilah menjadi dua: orang awam dan ulama’.

Bagi orang awam, kesalahannya itu bisa di-ma’fu (diampuni), karena tatacara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh para ulama’ sebelumnya, dan untuk itu diperlukan ijtihad baru, sementara dia bukan ulama’ apalagi mujtahid.

Bagi orang awam, masalah bagaimana tatacara melakukan kewajiban tersebut tentu merupakan perkara yang ghair ma’ruf, karena itu mereka mendapatkan ampunan. Namun, ini berbeda dengan ulama’ yang mempunyai cukup ilmu untuk melakukan ijtihad, tetapi dia tidak melakukannya. Maka, dia tetap berdosa karena tidak melakukan kewajiban tersebut, dan juga berdosa karena tidak melakukan fardu kifayah yang menjadi kewajibannya, yaitu menggali atau merumuskan hukum tatacara untuk melakukan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam.

____________________________________
[1] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.
[2] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.
[3] Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cet. terakhir, 1969, juz I, hal. 9.
[4] Q.s. al-Maidah [05]: 38.
[5] Q.s. an-Nur [24]: 02.
[6] Q.s. al-Baqarah [02]: 178.
[7] Q.s. al-Anfal [08]: 60.
[8] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. hadits 3196; Muslim, Shahih Muslim, no. hadits 3372.
[9] Muslim, Shahih Muslim,
no. hadits 3441.
[10] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. hadits 6669.
[11] Ibn ‘Abidin, Ibid, juz II, hal. 278.
[12] As-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, ed. As-Syaikh ‘Abdullah Daraz dan al-Ustadz Muhammad ‘Abdullah Daraz, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t. juz I, hal. 127.
[13] As-Syathibi, Ibid, juz I, hal. 127.
[14] Teks aslinya berbunyi, “Annahu mutawajjah ‘ala al-jami’, wa lakin idza qama bihi ba’dhuhum saqatha ‘an al-baqin. Lihat, as-Syathibi, Ibid, juz I, hal. 126.
[15] As-Syathibi, Ibid, juz II, hal. 135.
[16] Ibid, hal. 138.
[17] Ibid, Juz I, hal. 128-129.
[18] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz II, hal. 301.
[19] Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, ed. Dr. ‘Ali Bu Mulhim, Dar wa Maktabah al-Hilal, Beirut, cet. I. 1993, hal. 271-272.
[20] As-Syathibi, Ibid, juz II, hal. 136.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH