KAFIR TETAPLAH KAFIR



Istilah Muslim dan kafir adalah istilah yang sejak awal digunakan oleh al-Quran. Istilah ini murni digunakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya untuk membedakan kaum yang beriman dan kaum yang ingkar.

Selama berabad-abad, penggunaan kata kafir untuk menyebut orang-orang di luar Islam nyaris tidak pernah menimbulkan problem. Baik di internal umat Islam sendiri maupun di kalangan eksternal non-Muslim. Para ulama sejak dulu juga biasa menggunakan istilah kafir di dalam kitab-kitab mereka untuk menyebut orang-orang non-Muslim. Apalagi penggunaan istilah kafir terkait erat dengan banyak persoalan fikih, dengan segala implikasi hukumnya. Muncullah, misalnya, kategorisasi istilah kafir menjadi: kafir harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahad dan kafir musta’man. Masing-masing tentu diperlakukan secara berbeda secara fikih. Masalah ini sudah banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih para ulama sejak lama.

Kafir dzimmi, misalnya. Mereka adalah non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam. Mereka ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Muslim dalam Daulah Islam. Misal dalam hal hak memeluk agama secara bebas; juga hak mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan keamanan, dll dari Daulah Islam. Dalam hal ini, tidak ada diskriminasi antara warga Muslim dan non-Muslim. Kafir dzimmi, misalnya, menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl adz-Dzimmah, tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Dalilnya adalah surat Rasulullah saw. kepada penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya dan wajib atas dia membayar jizyah.” (HR Abu Ubaid).

Begitu pun dalam hal jaminan keamanan. Bahkan dalam hal ini, jangankan kafir dzimmi yang menjadi warga negara Daulah Islam, kafir mu’ahad (kafir yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian dengan Daulah Islam) pun mendapatkan perlakuan istimewa. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad, dia tidak akan mencium bau surga, padahal sungguh bau surga itu bisa dirasakan dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR Muslim).

Karena itu wajar jika sepanjang sejarah Islam, orang-orang kafir menikmati rasa aman yang luar biasa selama hidup di dalam Daulah/Khilafah Islam. Mereka tak pernah sedikitpun mengalami kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan teologis sebagaimana yang diklaim oleh kalangan Muslim liberal saat ini. Inilah yang juga diakui oleh para sarjana dan cendekiawan Barat. Will Durant, misalnya, berkomentar, “Para Khalifah telah memberikan rasa aman kepada manusia (Muslim dan non-Muslim) hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka...” (Will Durant – The Story of Civilization).

Bahkan hingga pada era kemunduran Islam, keagungan perlakuan Khilafah terhadap kaum non-Muslim alias kaum kafir tetap mengagumkan. Sejumlah dokumen di sejumlah museum di Turki adalah di antara saksi bisu keagungan ini. Kita tahu, Turki pada masa Khilafah Utsmaniah adalah saksi terakhir kemajuan peradaban Islam.

Di Turki hingga hari ini, misalnya, ada sebuah masjid/museum terkenal bernama Aya Sofia. Di Aya Sofia dipamerkan surat-surat Khalifah (“Usmans Fermans”) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memberikan jaminan, perlindungan dan kemakmuran kepada warganya (Muslim dan non-Muslim) maupun kepada orang asing (kafir) pencari suaka, tanpa memandang agama mereka. Yang tertua adalah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.

Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris), abad 18.

Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709).

Yang paling mutakhir adalah peraturan Khilafah yang membebaskan bea cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.

Tak Relevan

Karena itu melarang penggunaan kata kafir untuk menyebut non-Muslim karena mengandung unsur kekerasan teologis tentu tidak relevan, sangat tidak berdasar dan ahistoris. Kalaupun saat ini banyak tindakan kekerasan di dunia, termasuk di negeri ini—bukan hanya kekerasan teologis, tetapi kekerasan psikis bahkan kekerasan fisik—hal itu sebetulnya lebih banyak dirasakan justru oleh kaum Muslim sendiri. Apakah bukan kekerasan teologis dan psikis namanya saat umat Islam hari ini terus dipojokkan dengan label “teroris”, “radikal”, intoleran”, “mengancam NKRI” dll hanya karena menolak dipimpin oleh orang-orang kafir, ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah, anti terhadap neo-liberalisme, atau para Muslimahnya berjilbab syar’i dan bercadar?

Lagi pula, dalam konteks global, yang banyak menjadi korban baik secara teologis, psikis maupun fisik saat ini adalah juga kaum Muslim yang diperlakukan secara semena-mena oleh kaum kafir. Contohnya adalah derita dan nestapa kaum Muslim Palestina oleh kekejaman kafir Yahudi Israel, Rohingnya oleh kebrutalan rezim kafir Budha, Uighur oleh keganasan rezim kafir komunis Cina, Kashmir oleh kejahatan kafir Hindu, dsb.

Kafir Tetaplah Kafir

Siapa orang kafir? Dalam kitab Mujam Lughah al-Fuqaha`(hlm. 268) karya Prof. Rawwas Qalah Jie disebutkan makna kafir sebagai berikut:

اَلْكَافِرُ: مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ لَا بِمُحَمَّدِ رَسَوْلِ اللهِ، أَوْ مَنْ يُنْكِرُ مَا هُوَ مَعْلُوْمٌ مِنَ الإِسْلاَمِ بِالضَّرُوْرَةِ، أَوْ يَنْتَقِصُ مِنْ مَقَامِ اللهِ تَعَالَى أَوْ الرِّسَالَةِ

Kafir adalah siapa saja yang tidak mengimani Allah dan Nabi Muhammad saw., atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam, atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.

Di dalam kamus bahasa Arab juga dinyatakan:

اَلْكَافِرُ مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِالْوَحْدَانِيَّةِ أَوْ النُّبُوَّةِ أَوْ الرِّسَلَةِ أَوْ بِثَلاَثَتِهَا

Orang kafir adalah siapa saja orang yang tidak mengimani keesaan Allah, atau kenabian Muhammad saw., atau risalah Islam, atau ketiga-tiganya (Kamus Al-Mujam al-Wasith, II/891).
Makna kafir di atas tentu digali dari nas-nas al-Quran maupun as-Sunnah. Di dalam al-Quran jelas bertaburan penggunaan kata kafir dengan makna di atas, dengan ragam variannya, seperti kafirun dan kuffar, untuk menyebut orang-orang di luar Islam. Contoh kecil firman Allah SWT saat menyebut kaum Nasrani:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah Al-Masih putra Maryam (TQS al-Maidah [5]: 17 dan 72).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah oknum ketiga di antara tiga oknum (TQS al-Maidah [5]: 73).

Bahkan di alam al-Quran sendiri ada satu surat yang secara khusus dinamai dengan Surat al-Kafirun.
Karena itu wajar jika di dalam Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) pun—yang diklaim tidak pernah mengunakan kata kafir—ternyata kata kafir digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai kepala Negara Islam saat itu. Pada Pasal ke-14 Piagam Madinah jelas dinyatakan:

١٤ :وَ لاَ يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا فِى كَافِرٍ وَ لاَ يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ.

Pasal 14: Seorang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang Mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang Mukmin (Lihat: Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabi saw., II/119-133).

Karena itu wajar pula jika Pendiri NU, Hadhartusy Syaikh Hasyim Asy’ari pun menyebut kaum di luar Islam, termasuk di negeri ini, dengan istilah kafir. Antara lain dinyatakan oleh beliau:

وَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ، بَيْنَكُمْ الْكُفَّارُ قَدْ مَلَؤُوْا بَقَاعَ الْبِلاَدِ...
"Wahai manusia, di antara kalian ada kaum kafir yang tinggal di berbagai wilayah di negeri ini...” (Lihat: Irsyad as-Sari fi Jam’i Mushanafat asy-Syaikh Hasyim Asy’ari, hlm. 33).

Bahkan dalam mazhab Asy-Syafii, seorang Muslim yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam—baik Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majusi dll; atau ragu dengan kekafiran mereka; atau membenarkan doktrin/ajaran mereka—maka ia dihukumi kafir. Imam an-Nawawi menyatakan:

مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى، أَوْ شَكَّ فِي تَكْفِيرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ، فَهُوَ كَافِرٌ، وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ الْإِسْلَامَ وَاعْتَقَدَهُ
Siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti Nasrani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan doktrin/ajaran mereka, maka dia telah kafir meskipun bersamaan dengan itu dia menampakkan dirinya Islam dan meyakininya (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin, 3/444).

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85). []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH