Salah Sikap, Rahmat Terasa Bagai Bencana

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutuskan engkau (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Anbiya: 107)
Imam Al Baidlôwi (w. 685 H) dalam tafsirnya menjelaskan

لِأَنَّ مَا بُعِثْتَ بِهِ سَبَبٌ لِإِسْعَادِهِمْ وَمُوْجِبُ لِصَلاَحِ مَعَاشِهِمْ وَمَعَادِهِمْ

Karena sesungguhnya apa-apa (syari’at) yang engkau (Muhammad saw) diutus dengannya adalah sebab bagi kebahagiaan dan kebaikan kehidupan (dunia) mereka dan kebaikan tempat kembali (akhirat) mereka[1].
Jika memang risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah sebab dari segala kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, lalu mengapa sebagian manusia justru merasa ketakutan dengan rahmat-Nya ini, menganggapnya membahayakan kehidupan sehingga tidak layak diterapkan?
Setidaknya ada dua sebab yang menjadikan mengapa ini bisa terjadi.
Pertama, karena sakit. Jika seseorang sedang sakit, siapapun dia, orang biasa, cendekiawan, ulama, ahli gizi, maupun cheff, tidak akan bisa merasakan kelezatan makanan terlezat sekalipun, bahkan tak jarang menyebabkan muntah.
Begitu pula dengan hukum-hukum Allah swt yang dibawa Rasulullah, yang merupakan rahmat-Nya, orang-orang yang hatinya sedang sakit tidak akan merasakannya, bahkan bisa terasa ‘pahit’. Penyakit hati yang paling parah yang akan menjadikan rahmat-Nya serasa bencana adalah penyakit syirik, kufur dan nifaq. Allah berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An Nisaa’ 61)

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. (QS. An Nisaa’ 62)
Demikianlah, penyakit nifaq telah menyebabkan orang-orang munafik menganggap hukum Allah yang dibawa Rasulullah adalah bencana yang mendatangkan pertentangan, karena itulah mereka beralasan tentang penolakan mereka terhadap hukum Allah dengan sumpah mereka:

بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

“Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”.
Penyakit hati dibawah nifaq yang juga menyebabkan seseorang tidak lagi merasakan lezatnya mentaati Allah dalam segenap aspek kehidupan adalah kemaksiatan dan kecenderungan hati untuk bermaksiat. Seorang tabi’in bernama Wuhayb ibn al-Ward[2] (w. 153 H) ditanya:

هَلْ يَجِدُ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ يَعْصِي اللهَ ؟

‘Apakah orang yang berbuat maksiat kepada Allah akan merasakan nikmatnya iman?’ Beliau menjawab:

لَا ، وَلَا مَنْ هَمَّ بِالْمَعْصِيَةِ

‘Tidak, dan tidak pula orang yang ingin melakukan kemaksiatan’[3]
Jika kita merasakan berat menjalankan keta’atan kepada Allah, hati merasa kurang senang dengan syari’ah-Nya, maka tengoklah hati kita, barangkali di sana bercokol penyakit-penyakit yang menghilangkan kepekaan spiritual kita.
Kedua, yang menyebabkan rahmat Allah ‘tidak terasa’ adalah karena tidak dipakainya apa-apa yang menjadi sebab rahmat tersebut turun. Selezat apapun suatu makanan, jika hanya dipelajari resepnya, dibaca berulang-ulang nilai gizi yang ada didalamnya, namun tidak dimakan, maka tidak akan terasa lezatnya. Sebagus apapun sistem kehidupan yang diwahyukan kepada Rasulullah saw, jika tidak diterapkan dalam kehidupan kita niscaya tidak akan terasa pula kebaikannya, justru mungkin menjadi masalah yang akan menjerat kita di akhirat, dimintai pertanggungjawaban; “apa yang telah engkau lakukan atas nikmat yang Kuberikan, hukum syari’ah yang telah Aku wahyukan?”
Sesungguhnya banyak rahmat Allah yang bisa dirasakan secara individual dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya secara pribadi, masalah ibadah mahdhah, shalat, zakat, puasa dan semisalnya bisa ‘dinikmati’ oleh muslim manapun. Namun lebih banyak lagi yang tidak bisa ‘dinikmati’ oleh individu kecuali jika negara menerapkannya. Hukum-hukum berkaitan dengan ekonomi, pemerintahan, sosial, sanksi dan pembuktian, nafkah, pendidikan, politik dalam dan luar negeri dan semisalnya, sebagian besar hanya menjadi hak negara untuk melaksanakannya, ketika negara mengabaikannya, atau memilih-milih mana yang disukai saja, sungguh kerusakan benar-benar terjadi secara nyata. Rasulullah saw menegaskan:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka. (HR. Ibnu Majah).
Di sinilah pentingnya kekuasaan negara yang menegakkan seluruh hukum-hukum Allah swt, yang dalam khazanah Islam disebut dengan Khilafah (Imamah al Kubro). Berbagai kedzaliman, kemaksiyatan, kemiskinan, penjajahan, dan pengabaian hukum-hukum Allah tidak bisa diselesaikan hanya dengan dibacakan al Qur’an atau diberantas oleh individu atau ormas, kekuasaan negaralah yang bisa menghilangkannya, sebagaimana ucapan Utsman bin Affan r.a:

إِنَّ اللَّهَ لَيَزَعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ

”Sesungguhnya Allah mencegah sesuatu dengan kekuasaan apa-apa yang tidak bisa dicegah dengan Al Quran”. (al Bidâyah wan Nihâyah, 2/12). Allaahu A’lam. [M.Taufik NT]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH