Kemana Engkau Gantungkan Harapan?

 اللَّهُ الصَّمَدُ
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS. Al-lkhlas: 2)
Tentang maksud ayat ini, Ikrimah telah meriwayatkan dari lbnu Abbas r.a:
يَعْنِي الَّذِي يَصْمُدُ الْخَلَائِقُ إِلَيْهِ فِي حَوَائِجِهِمْ وَمَسَائِلِهِمْ

bahwa (maksudnya) ialah yang semua makhluk bergantung kepada-Nya dalam (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan dan permintaan-permintaan mereka. (Tafsir Ibn Katsir, 8/528)
Allah adalah tempat bergantung bagi segala keperluan, Dia menjadi tujuan semuanya, tidak ada satu perkarapun bakal terjadi melainkan atas izin-Nya. Ini adalah i’tiqad seorang muslim.
Hanya saja, dalam kenyataan hidup, tidak jarang ungkapan tersebut hanya sekedar pemanis di bibir saja, tidak meresap sampai ke hati.
Bagaimana bisa dikatakan benar-benar bergantung kepada Allah jika hati lebih sering ‘menghadap’ kepada selain-Nya? Saat mulut mengatakan ‘wajjahtu wajhiya lil ladzii fatharaa samaawaati…’ (aku menghadapkan wajahku kepada Pencipta langit…) dalam sholat pun kadang hati masih ‘menghadap’ kepada kesibukan duniawinya, saat bermunajat mengharap terkabulnya hajatpun kadang masih sering terselip kealpaan hati: sibuk memikirkan pekerjaan yang tersisa, seolah dirinya sendirilah yang menentukan sukses-tidaknya pekerjaan tersebut. Dengan kondisi hati yang lalai begini, masihkah pantas menyebut ‘bergantung kepada Allah’ untuk tercapainya suatu harapan?.
Ingin memiliki anak yang shalih misalnya, namun jarang menghadapkan hati kepada Allah, ‘berduaan’ bersama-Nya, mengutarakan isi hati sembari ‘merengek’ agar dikabulkan impiannya, jika begini, masihkah pantas menyebut ‘bergantung kepada Allah’ untuk tercapainya harapan ini?.
Ini dari sisi hati. Di sisi lain, jika hati sudah benar berharap kepada Allah Ta’ala, menjadikan Dia sebagai sumber harapan (al-shamad), senantiasa membangun prasangka baik (husn al-dzann) kepada Allah, maka hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan harapan itu.

Jika harapan dan prasangka baik tanpa dibarengi dengan usaha keras untuk mewujudkannya, maka yang ada sebenarnya bukanlah harapan (ar roja’), namun sekedar angan-angan (al-amaniy), sehingga tidak bisa disebut hatinya bersandar kepada Allah, namun hanya bersandar pada angan-angan belaka, dusta juga jika dikatakan dia berprasangka baik kepada Allah. Imam al Hasan al Bashri (w. 110 H) berkata:

إِنَّ قَوْمًا أَلْهَتْهُمُ الْأَمَانِيُّ، حَتَّى خَرَجُوا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا لَهُمْ حَسَنَةٌ، وَيَقُولُ أَحَدُهُمْ: إِنِّي أُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّي وَكَذَبَ، وَلَوْ أَحْسَنَ الظَّنَّ لَأَحْسَنَ الْعَمَلَ

“Diantara manusia ada golongan yang mereka terbuai dengan angan-angan (merasa yakin akan mendapat ampunan), hingga akhirnya mereka meninggal dunia tanpa membawa kebaikan. Salah seorang diantara mereka berkata: “aku telah berprasangka baik terhadap Tuhanku”, dia berdusta!, jika memang dia telah berprasangka baik tentunya dia juga akan beramal baik” [Imam Al Qurthuby (w. 671H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 15/353].

Usaha dan perjuangan apapun itu, baik untuk urusan dunia atapun akhirat, baik bisnis ataupun dakwah, tanpa dibarengi dengan menjadikan Allah sebagai sumber harapan, membangun prasangka baik (husn al-dzann) kepada Allah dan menjadikan syari’ah Allah sebagai pedoman dalam melakukan berbagai aktivitas perjuangan, sebenarnya tidak bisa dikatakan sedang ‘bergantung kepada Allah’ dalam terlaksananya hasil, tidak, itu hanyalah angan-angan kosong, bisakah dikatakan bergantung hati kepada Allah namun sambil bermaksiyat kepada-Nya dan mengingkari aturan-aturan-Nya?. Allaahu A’lam. [MTaufikNT]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH