PROFESIONALISME DAKWAH
Tulisan ini
sengaja saya share-kan kepada ustadz/h sekalian para kekasih Allah, para
pengemban dakwah yang dengan lisannya terus berupaya meraih kemuliaan Islam
menuju kehidupan Islam dibawah naungan Khilafah dengan satu harapan semoga
menjadi bahan introspeksi dan kontemplasi khusus untuk diri saya dan
umumnya kita semua.
Saya
pernah mengkonfirmasi beberapa hal kepada seorang pengemban dakwah terkait
aktifitas dakwahnya yang terlihat sangat menurun, dalam obrolon tersebut
tereksplorasi alasan bahwa dia tidak kerasan menjalani dakwah saat ini karena
ada hal-hal yang kurang sreg, kurang sreg dengan gaya
kepemimpinan qiyadahnya, kurang sreg dengan program-program
dakwah yang diamanahkan padanya, kurang sreg dengan kultur dakwah yang
sedang dijalaninya, dll.
Dengan
segala kekurang-sreg-annya itu efeknya ternyata tidak main-main dia
menjadi tidak total menjalani dakwah, banyak amanah yang justru tidak
tertunaikan bahkan nyaris diabaikan begitu saja. Sikap lain yang ditunjukkannya
adalah sering mangkir dari agenda-agenda dakwah dan mulai susah untuk
diberdayakan padahal ybs adalah pengemban dakwah yang sangat berpotensi.
Disadari
atau tidak, fragmen seperti diatas banyak ditemui dalam kancah perjuangan
dakwah yang mulia ini. Pun ketika seorang pengemban dakwah tidak menyadarinya,
itu semata karena demikian kuatnya setan memalingkan kita dari kebenaran.
Karenanya, mari semuanya untuk senantiasa berlindung pada Allah Swt dan
bersikap waspada agar tidak masuk dalam perangkap-perangkap setan yang
menginginkan kita jauh dari dakwah, yang menginginkan kita kembali pada jalan
jahiliyah setelah kebenaran itu datang atas kita.
Bagi
pengemban dakwah siapapun dia (yang ikhlas tentu saja), sikap seperti ini jelas
adalah sikap yang keliru, sangat mencolok dan terlihat sekali bahwa ybs belum
memahami hakikat dakwah yang diembannya. Tidak optimal dakwah karena faktor
berbeda pandangan, tidak cocok dengan pengurus dakwah, dll adalah cerita lama
yang selalu memakan “korban-korban” baru. Harus diakui dengan jujur, ini
persoalan elementer (mendasar) dan remeh temeh jika dibandingkan dengan
perjuangan saudara-saudara kita dibelahan negeri Islam lain yang sudah demikian
fokus pada upaya meraih nasrullah.
Tapi
demikianlah realitasnya, dakwah kita ternyata masih dikelilingi kader-kader
yang kurang tangguh, “cengeng” dan kurang ikhlas dalam berjuang. Jika itu yang
terjadi sulit rasanya meraih kemenangan yang diidam-idamkan, kemuliaan Islam
dengan tegakknya Syariah dan Khilafah.
Saat itu
saya bertanya pada beliau “Lalu selama ini antum mengabdi pada siapa? Antum
siap mencurahkan waktu, tenaga, harta, bahkan nyawa dalam dakwah ini demi
siapa? Semata ridho Allah-kah atau pujian dan penghargaan personal? Untuk
gaya-gayaan-kah atau demi tunainya amanah? Untuk kejayaan Islam-kah atau untuk
kejayaan diri?”.
Saya
katakan bahwa semuanya berpulang pada niat kita, pada keikhlasan kita dalam
menjalani dakwah ini. Selama kita terpasung dalam ketidakihklasan, selama itu
pula kita hanya berjibaku dengan kedongkolan diri dan yang lebih mengerikan
lagi tercerabutnya pahala yang sejatinya siap menanti. Kenikmatan perjuangan
semata karena mengabdi pada ideologi, adalah garansi agar tetap konsisten
menjalani dakwah ini tanpa mempersoalkan dari siapa amanah itu diberikan.
Inilah yang saya sebut sebagai “profesionalisme” dakwah.
“Profesionalisme”
dakwah dapat dimaknai sebagai upaya kita untuk tetap konsisten dengan berbagai
amanah dakwah yang dibebankan pada kita tanpa pertimbangan lain seperti
ketidakcocokkan dengan struktur, dll. “Profesionalisme” dakwah mengharuskan
kita bersikap “professional” dalam dakwah dan selalu mengedepankan sikap bahwa
aktifitas dakwah yang mulia ini kita lakukan semata-mata untuk mengharapkan
ridho-Nya bukan ridho yang lainnya. Juga semata-mata dilaksanakan demi
berlangsungnya hukum-hukum islam dengan tegakknya Syariah dan Khilafah. Memang
dakwah bukanlah profesi yang bisa dipilih atau tidak dipilih, melainkan dia
adalah kewajiban yang mau tidak mau suka tidak suka harus diemban oleh
hamba-Nya yang mengaku Muslim. Namun pemaknaan istilah “profesionalisme” disini
adalah untuk menggambarkan bagaimana seorang pengemban dakwah mampu menempatkan
urusan dakwahnya ini dengan tempat yang paling terhormat dalam hidupnya tanpa
terganggu dengan hal lainnya yang akan berupaya membuatnya terbengkalai.
Kemudian
saya banyak menceritakan pengalaman saya kepada teman saya itu di masa lalu
ketika saya pun nyaris “terlempar”dari dakwah gara-gara saya bertindak tidak
“professional” dalam dakwah, saya pernah mengalami berbagai macam kekurang-sreg-an
dalam aktifitas dakwah, bahkan saya sering adu mulut dengan rekan bahkan qiyadah
dakwah karena perbedaan pendapat terutama menyangkut konsep, gagasan, upaya,
dan strategi untuk meningkatkan kualitas dakwah, waktu itu terasa berat bagi
saya untuk menjalankan suatu amanah yang tidak sejalan dengan pandangan saya..,
nyaris dan nyaris saja saya menelantarkan dakwah gara-gara hal tsb, setan terus
berusaha mengokohkan pemberontakan saya, tapi saya mencoba untuk berfikir ulang
sembari monolog dalam diri “kepada siapa dakwah ini kupersembahkan? Kepada manusia
atau pada Allah?”
Istighfar,
segera menginsyafi semuanya dan akhirnya saya mampu memenangkan pertarungan itu
setelah saya berusaha untuk tetap menjalankan amanah yang diberikan pada saya
terutama yang datangnya dari pemegang sholahiyah, meski perlu usaha
keras untuk bisa berjalan sesuai dengan hati, tapi Alhamdulillah
Allah menolong saya, sedapat mungkin saya tetap fokus pada dakwah dan berusaha
seoptimal mungkin adanya perbedaan tsb tidak berdampak pada aktivitas
dakwah saya. Perbedaan boleh ada tapi amanah mesti tetap dijalankan, saya harus
komitmen sebagaimana sumpah saya saat memutuskan menjadi bagian integral dari
perjuangan dakwah ini. Ternyata tindakan inilah yang telah menyelamatkan saya
dari dakwah ini. Tetap istiqomah dan tidak “terlempar” darinya. Sepertinya kita
mesti terlatih untuk senantiasa bersikap demikian, sebab jika ini sudah
terbiasa dalam diri kita niscaya dakwah akan dijalani dengan sangat ringan.
Hari ini
kita masih menyaksikan tidak jarang para pengemban dakwah masih bersikap ngagugu
hawa nafsu, merekedeweng, keukeuh jumeukeuh dengan pendiriannya tanpa
prosedur yang benar sembari direfleksikan dalam bentuk kekurangtsiqohan
kepada qiyadah. Ketahuilah sesungguhnya tindakan seperti itu dalam
hitungan yang tidak lama lagi hanya akan “melemparkan” dirinya dari dakwah, Na’udzubillah..
sesuatu yang akan amat sangat kita sesali seumur hidup. Mudah-mudahan Allah Swt
senantiasa menghimpun kita dalam takwa.
Walloohu a’lam
Dalam note
sebelumnya saya singgung terkait aktifitas seorang pengemban dakwah yang
terlihat sangat menurun karena ada hal-hal yang kurang sreg, terutama
kurang sreg dalam hal kepemimpinan qiyadahnya, program-program
dakwah yang diamanahkan, kultur dakwah yang sedang dijalani, dll.
Kali ini saya
bertemu dengan pengemban dakwah yang tidak “profesional” lainnya dengan permasalahan
berbeda tetapi membawa efek sama yang telah mengantarkan banyak amanah dakwah
tidak tertunaikan dan nyaris diabaikan. Juga telah membawa efek si pengemban
dakwah jadi sering mangkir dari agenda-agenda dakwah dan mulai susah untuk
diberdayakan padahal lagi-lagi ybs juga adalah pengemban dakwah yang sangat
berpotensi.
Apa yang dia
ungkapkan? “Afwan ust beberapa bulan terakhir ini saya sibuk, kerjaan di kantor
banyak, bos nambah amanah baru buat saya, terus terang sulit jadinya membagi
waktu untuk dakwah” di kesempatan berbeda saya juga sering mendengar alasan
“Afwan ust untuk minggu-minggu ini saya ngga bisa diganggu, lagi sibuk ujian,
untuk amanah dakwah sementara minta diserahkan dulu pada yang lain tadz”. Saya
geleng-geleng kepala mendengarnya, sedih… ingin rasanya menangis sejadi-jadinya
mendengar hal tsb. Memang cerita kayak gini adalah lagu lama yang juga selalu
membawa “korban-korban” baru.
Terus terang
kadang saya begitu jealous dengan para pengemban dakwah yang sudah
“jatuh cinta” pada pekerjaannya, “jatuh cinta” pada studinya (sekolah dan
kuliahan), dan “jatuh cinta” pada hobinya melebihi dari yang lainnya terutama
dakwah, padahal kompensasi dari semuanya itu mungkin tidak seberapa, untuk
aktifitas dakwah kita bisa izin karena sibuk kerja, sekolah/kuliah, kurang enak
badan, atau ada juga yang terus terang kecapean setelah seharian bekerja.
Tapi untuk
kerja, studi, dan yang lainnya trus datang hujan dibarengi dar der dor petir
ge diudag, badan yang katanya kurang enak juga dipaksain. Di kesempatan
lain dakwah pun ditinggalkan dengan alasan anak atau istri sakit, minggu ini
anak sakit (izin), minggu berikutnya istri sakit (izin), minggu berikutnya lagi
giliran dia yang sakit (izin), minggu berikutnya semuaya sakit (izin) dan
minggu berikutnya lagi ketika semuanya diberikan kemudahan dan kelapangan oleh
Allah berupa kesehatan, eh masih izin juga untuk pergi bertamasya bersama
keluarga tercinta, jadi waktu sempit (ada halangan) tidak bisa dakwah, waktu
lapang pun masih tidak bisa dakwah, jadi maunya apa? Kapan sebenarnya waktu
yang bisa dipakai untuk dakwah?
Beberapa waktu
yang lalu saya dapat sharing sms nasihat dari teman seperjuangan “Ust apakah
kita sudah berlaku adil kepada Allah? Sungguh jika mau jujur selama ini kita
tidak berlaku adil kepada Allah, karena waktu kita tidak lebih banyak kepada
Allah dibanding untuk memenuhi kebutuhan kita. Padahal jika mau adil, sederhana
saja, kita bagi waktu menjadi tiga bagian (untuk bekerja, aktivitas lain, dan
dakwah/ibadah), atau sederhananya masing-masing dibagi menjadi 8 jam.. Bisa
saja kita membagi waktu menjadi 4 atau 5 bagian (terserah), yang jelas adil
bagi Allah (hak kepada Allah terpenuhi). Semoga Allah menjadikan kita termasuk
orang-orang yang beruntung. Amin”.
Jujur.., ba’da
membaca sms itu bulir air mata saya berkumpul di pelupuk mata, saya sangat
sedih, apa yang disampaikan dalam sms itu adalah potret betapa masih banyak
pengemban dakwah sering berlaku tidak adil kepada Allah, pun ketika dia diminta
menyisihkan waktu barang beberapa jam saja untuk menunaikan amanah-amanah
dakwah tetap tidak jua bisa dilaksanakan, kontak tidak jalan, halqah bolong,
acara-acara dakwah bablas, rakor dakwah diabaikan, dll. Sadarkah kita
bahwa kita telah merampas hak Allah?
Sehingga
menjadi hal yang biasa bagi pengemban dakwah tertentu dalam sepekan, sebulan
bahkan berbulan-bulan justru tidak menjalankan amanah dakwah sedikitpun, kita
tentu bertanya orang kayak gini ini disebut apa namanya? aktivis pergerakan kok
tidak bergerak, waktunya hanya dihabiskan di tempat kerja, sekolah, kuliahan,
atau komunitas lain yang justru aneh bin ajaib bisa diikuti oleh pengemban
dakwah kayak klub motor, komunitas penghobi burung, asesoris, dll (aah..
merinding bulu saawak-awak).
Kembali lagi,
disadari atau tidak, fragmen seperti diatas banyak ditemui dalam kancah
perjuangan dakwah yang mulia ini. Ingat! Jika pengemban dakwah tidak
menyadarinya, itu semata karena demikian kuatnya setan memalingkan kita dari
kebenaran.
Saya sering
bilang kepada teman-teman yang selalu “berlindung” dibalik
kesibukan-kesibukannya untuk menjustifikasi ditinggalkannya amanah dakwah, saya
katakan ”Antum sibuk...?! saya juga sibuk..! Dan masih banyak pengemban dakwah
lain yang super sibuk.. Sok lah pasibuk-sibuk! Tapi jangan coba-coba
bermain api dengan menjadikan kesibukan duniawi, kejar obsesi, dan mimpi
sebagai justifikasi untuk menelantarkan dakwah, nol rekrutmen, dan nyaris
mempermalukan kemuliaan perjuangan nan suci. Katanya dakwah adalah poros
kehidupan, berapa kali kata-kata itu meluncur dari lisan kita tanpa mengerti
akan substansinya. Kalau dakwah adalah poros, maka dia adalah aktivitas inti
yang lainnya mengikuti”.
Saya juga
sering mengalami kesibukan yang sangat terkait urusan kantor dan kuliah, tapi
Allah selalu menunaikan janji-Nya di saat yang paling tepat, saya selalu
mendapat pertolongan dengan diberikan berbagai kemudahan, berbagai urusan
kantor, kuliah, dan yang lainnya selalu bisa diselesaikan dan dilewati dengan
baik dengan hasil yang memuaskan, itu saya yakini terjadi tidak ujug-ujug tetapi
karena pertolongan-Nya sesaat setelah kita menunaikan amanah-amanah dakwah yang
mulia ini (sesuai dengan janji Allah di dalam QS Muhammad:7), sebaliknya sesaat
setelah kita beralasan karena mau fokus dulu menyelesaikan tugas-tugas duniawi
kita seraya meninggalkan amanah dakwah, saat itu pula urusan-urusan kita
sepertinya tambah banyak tetapi tidak pernah selesai dengan hasil yang
sempurna. Teruuus saja berkutat dengan urusan kerja, sekolah/kuliah, dll tanpa
ada penyelesaian dan disaat yang bersamaan akhirnya kita teruuuus saja
melalaikan dakwah, saya sudah banyak melihat hal-hal tersebut menimpa
rekan-rekan pengemban dakwah.
Ini kisah nyata
pisan, suatu saat ada beberapa pengemban dakwah yang sedang menjalani
ujian dan menyusun tugas akhir studinya, ada dua keputusan yang berbeda diambil
oleh mereka, beberapa orang dari mereka ada yang tetap fokus menunaikan amanah
dakwah sembari tetap membagi waktu sedapat mungkin agar juga bisa mengerjakan tugas-tugas
sekolah/kampusnya, kemudian beberapa pengemban dakwah yang lain justru memilih
"break" dulu dari dakwah, amanah minta dilepas karena alasan sedang
fokus ujian/nyusun tugas.
Bagaimana
hasilnya? Sungguh-sungguh sangat jauh berbeda, temen-temen kita para pengemban
dakwah yang memilih untuk tetap fokus menunaikan amanah dakwah melewati
urusan-urusan mereka dengan lancar, mendapat banyak kemudahan, dan tentu saja
hasil yang sesuai harapan, sementara teman-teman kita para pengemban dakwah
yang memutuskan "break" dakwah tea, boro-boro beres dengan
tugas-tugasnya saya lihat asa beuki ripuh belum beres-beres, selalu ada
rintangan, kalaupun akhirnya beres tentu nilainya akan jauh berbeda dihadapan
Allah, sepertinya apa yang dikatakannya mau fokus dulu itu tidak sesuai yang
diharapkan, sementara dia "gadaikan" dakwah untuk hal itu..
ck..ck..ck.. istighfar..istighfar..
Jadi lagi-lagi
ini adalah persoalan “profesionalisme” dakwah. Sejatinya kita tetap konsisten
dengan berbagai amanah dakwah yang dibebankan pada kita tanpa membenturkannya
dengan aktifitas lain. “Profesionalisme” dakwah mengharuskan kita bersikap
“professional” dalam dakwah dan selalu mengedepankan sikap bahwa aktifitas
dakwah yang mulia ini lebih prioritas dari yang lainnya. Intinya kita boleh beraktifitas
yang lain, tapi berikanlah kepada dakwah haknya, hak untuk kita emban agar
kemenangan bisa kita raih yakni berlangsungnya kehidupan Islam dengan tegakknya
Syariah dan Khilafah.
Walloohu a‘lam
Komentar
Posting Komentar