SOLUSI ISLAM MENGATASI MASALAH PERBURUHAN
Cara Islam Mengatasi Masalah
Perburuhan
Oleh:
Hafidz Abdurrahman
Problem perburuhan ini sebenarnya
terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji
buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang
digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh
tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya
mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.
Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah
eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh.
Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme
tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan
sebagainya.
Kaum kapitalis pun terpaksa
melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan
bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar
dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan
sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh,
memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti
kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana
pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak
upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan yang
terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme,
yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah
yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah
perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun
berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam
untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis,
namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem
Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil
memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong.
Islam
Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan
Konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah
milkiyyah) tidak ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam.
Solusinya, Islam mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah
Milkiyyah.
Dua konsep ini jelas berbeda. Jika
konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki
apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram, maka
konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal dan
haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak.
Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum asalnya
mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan
cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan
sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.
Setelah harta berhasil dimiliki,
Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan
harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu,
dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa
saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia
miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan
oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu
al-Milkiyyah.
Dengan demikian, konsep Ibahatu
al-Milkiyyah ini jelas berbeda secara diametral dengan konsep Hurriyah
Milkiyyah.
Islam
Mengharamkan Kebebasan Bekerja
Begitu juga bekerja, Islam juga
tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal). Konsep ini
juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.
Sebagaimana konsep kebebasan
kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini juga
membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah
pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur,
mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya bebas.
Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).
Ini berbeda dengan konsep Ibahatu
al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan
tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu
aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi
cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan
hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun,
tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum
syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli
babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino,
dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.
Terkadang ada pekerjaan yang asalnya
mubah, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar).
Dalam melakukan makelar, seorang broker harus terikat dengan ketentuan dan
hukum tentang samsarah, termasuk tidak boleh melakukan samsarah ‘ala
samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis MLM.
Dengan demikian, dua faktor yang
memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh
Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja.
Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Ibahatu
al-Milkiyyah dan Ibahatu al-‘Amal.
Solusi
Islam: Standar Gaji Buruh
Dalam menentukan standar gaji buruh,
standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd)
yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena
itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai
negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah
sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh
dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang
menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah
pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang
memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua
belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu
menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak
diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga
maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang.
Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi
jasa.
Hak
Berserikat dan Serikat Pekerja
Mengenai hak berserikat bagi buruh,
maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan
sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya
hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut
membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin
oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan
buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya
boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang
melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain
kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu
as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Mengenai hak mogok kerja, pada
dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini
merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang
mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan
dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan
bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang
dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban
negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi
kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara bukan kewajiban
majikan atau perusahaan.
Dengan demikian, berbagai solusi
yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi,
sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi
sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu,
masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah
diselesaikan.
Konsep dan solusi Islam di atas
benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama
akan terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan. Wallahu
a’lam.
Komentar
Posting Komentar