DEMOKRASI SISTEM KUFUR BUNG !!!
Demokrasi : Sistem Kufur
HARAM
mengambilnya, Menerapkannya dan Menyebarluaskannya
Pengarang
: Abdul Qadim Zallum
Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh
HIZBUT TAHRIR
Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh
HIZBUT TAHRIR
Demokrasi
yang telah dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya
adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik
langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan
hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber
kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta
berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Karena
itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan dan
menyebarluaskan Demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang
dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan
penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah
suatu sistem yang bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu
atau agama.
Kelahiran
Demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa
penguasa adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan
kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan
membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa dianggap memiliki
kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri,
karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Lantaran hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat — sebagaimana pemilik
budak menguasai budaknya — berdasarkan anggapan tersebut.
Lalu
timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para filosof
dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem
pemerintahan rakyat — yaitu sistem Demokrasi — di mana rakyat menjadi sumber
kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari
rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan.
Rakyat
dikatakan memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan
menjalankannya sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang
menguasai rakyat, karena rakyat ibarat pemilik budak, yang berhak membuat
peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan
keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat —
karena posisinya sebagai wakil rakyat — dengan peraturan yang dibuat oleh
rakyat.
Karena itu, sumber kemunculan sistem Demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama. Demokrasi merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri — karena mereka adalah pemilik kedaulatan — melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat — sebagaimana individu lainnya — berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.
Menurut
konsep dasar Demokrasi — yaitu pemerintahan yang diatur sendiri oleh rakyat —
seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan
undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta
memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun
karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar seluruhnya
menjadi sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya
untuk menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan
Perwakilan, yang dalam sistem Demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum rakyat
dan merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian
memilih pemerintah dan kepala negara — yang akan menjadi penguasa dan wakil
rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut mengambil
kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan
peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah
yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan undang-undang dan
memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Kemudian,
agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat
melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —
baik dalam pembuatan undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan
penguasa — tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi
prinsip yang harus diwujudkan oleh Demokrasi bagi setiap individu rakyat.
Dengan demikian rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan
kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan
individu ini nampak dalam empat macam kebebasan berikut ini :
- Kebebasan Beragama.
- Kebebasan Berpendapat.
- Kebebasan Kepemilikan.
- Kebebasan Bertingkah Laku.
Demokrasi
lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideologi
Kapitalisme. Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir
dari pergolakan antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para
filosof dan pemikir. Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama
sebagai alat mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap
darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah
wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar itu lalu memanfaatkan para rohaniwan
sebagai tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah pergolakan
sengit antara mereka dengan rakyatnya.
Pada
saat itulah para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di antara mereka ada
yang mengingkari keberadaan agama secara mutlak, dan ada pula yang mengakui
keberadaan agama tetapi menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang
kemudian melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan. Pergolakan
ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan
yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini
merupakan aqidah yang menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan
pemikiran (Qaidah Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari seluruh
bangunan pemikirannya, menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidupnya,
sekaligus menjadi sumber pemecahan bagi seluruh problem kehidupan. Maka aqidah
ini merupakan pengarahan pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang diemban oleh Barat
dan selalu diserukannya ke seluruh penjuru dunia.
Jelaslah bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan Gereja dari kehidupan bernegara, yang selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan undang-undang, pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena itu, rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan undang-undang, dan mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas rakyat.
Dari sinilah sistem Demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah aqidah yang telah melahirkan Demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide-ide Demokrasi.
Demokrasi
berlandaskan dua ide :
- Kedaulatan di tangan rakyat.
- Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Kedua
ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka
melawan para kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine
Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja
menganggap bahwa mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah
yang berhak membuat peraturan dan menyelenggarakan pemerintahan serta
peradilan. Raja adalah negara.
Sementara itu rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan kehendak, melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan melaksanakan perintah. Lalu disebarkanlah dua ide landasan Demokrasi tersebut untuk menghancurkan ide Hak Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat adalah budak, sebab perbudakan artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi budak.
Maka untuk membebaskan rakyat dari perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta robohnya ide Hak Ketuhanan, maka kedua ide landasan Demokrasi tersebut — kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan — dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah yang menjadi asas sistem Demokrasi. Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan bertindak sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas pemilih dari rakyat.
Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem Demokrasi. Pendapat mayoritas menurut Demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya. Demikianlah penjelasan ringkas mengenai Demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan Demokrasi.
Dari penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :
1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
2. Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi berlandaskan dua ide :
a.
Kedaulatan di tangan rakyat.
b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu:
a.
Kebebasan Beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)
c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)
b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)
c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)
Demokrasi harus mewujudkan kebebasan tersebut bagi setiap individu rakyat, agar rakyat dapat melaksanakan kedaulatanya dan menjalankannya sendiri. Juga agar dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga-lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Dengan memperhatikan poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas bahwa Demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam. Namun sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan Demokrasi dengan Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, bahwa Demokrasi itu sendiri sebenarnya belum pernah diterapkan di negara-negara asal Demokrasi, dan bahwa praktek Demokrasi itu sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan Demokrasi, serta berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan Demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang menerapkan Demokrasi.
Demokrasi dalam maknanya yang asli, adalah ide khayal yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan atas seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya, juga hal yang mustahil.
Oleh karena itu, para penggagas Demokrasi lalu mengarang suatu manipulasi terhadap ide Demokrasi dan mencoba menakwilkannya, serta mengada-adakan apa yang disebut dengan "Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan Perwakilan". Namun meskipun demikian, pengertian Demokrasi yang telah ditakwilkan ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan. Klaim bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat — bukan mayoritasnya — mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu suara para pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut.
Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka menjadi orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan menjadi wakil mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi wakil mereka.
Demikian pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota parlemen, sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas.
Lagi pula, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara asal Demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis — yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya — dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebut telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat atas presiden dan anggota parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika. Sementara di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari partai Konservatif. Partai Konservatif ini juga mewakili para kapitalis raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan pemilik tanah, serta golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Berdasarkan fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri Demokrasi adalah wakil dari pendapat mayoritas, merupakan perkataan dusta dan menyesatkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!
Di samping itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam parlemen-parlemen tersebut, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara tersebut, diputuskan dengan pertimbangan: bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat. Kemudian pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung jawab kepada parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat; dan bahwa keputusan-keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya, telah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John Foster Dulles pada saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Namun dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres. Sementara itu Charles de Gaulle telah mengambil keputusan-keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun telah mengambil keputusan-keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau anggota parlemen.
Oleh karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri Demokrasi telah mewakili pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara mayoritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan menyesatkan!
Penjelasan di atas berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal usul Demokrasi. Adapun parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya lebih buruk lagi. Parlemen-parlemen tersebut tak lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasanya, atau menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania misalnya —yang dipilih dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan" — ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara.
Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri. Padahal mereka tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan, yang tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu dari raja.
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang itu dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri Demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada. Cacat yang menonjol dalam sistem Demokrasi —yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet — antara lain ialah bila di dalam suatu negeri Demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar — yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya sendiri — maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan kepercayaan mayoritas parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi. Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinetnya yang baru.
Krisis-krisis tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan negeri-negeri Demokrasi yang lain, yang memiliki banyak partai politik sementara tidak ada satu partai politik besar yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak. Karena kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu terjadi di antara partai-partai tersebut, sehingga terkadang partai-partai kecil dapat mendikte partai-partai lain — yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet — dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil — yang hanya mewakili minoritas rakyat itu — dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.
Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh Demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri Demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!
Sebenarnya ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka ini jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta bendanya, memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsa-bangsa tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.
Keserakahan dan kerakusan yang luar biasa dari negara-negara kapitalis itu, kekosongan jiwa mereka dari nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan di antara mereka untuk mencari harta yang haram; telah membuat darah bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga telah mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsa-bangsa terjajah, sehingga negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya dan dapat mengembangkan industri-industri militernya yang menghasilkan keuntungan besar.
Sungguh betapa banyak hal yang menggelikan sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negara-negara Demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika, Inggris, dan Perancis, misalnya, selalu saja menggembar-gemborkan nilai-nilai Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) di mana-mana. Padahal pada waktu yang sama mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh Hak-Hak Asasi Manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Krisis-krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan, adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu itu!
Adapun ide kebebasan bertingkah laku, sesungguhnya telah memerosotkan martabat berbagai masyarakat yang mempraktekkan Demokrasi sampai pada derajat masyarakat binatang yang sangat rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman :
"Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqaan 25:43-44)
Dalam masyarakat Demokrasi ini, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja — seperti halnya minum air — karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan parlemen negeri-negeri tersebut dan direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya bila masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orang tua tidak berwenang sedikit pun untuk mencegah segala perilaku seksual tersebut.
Undang-undang itu ternyata tidak sekedar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi lebih dari itu telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan beberapa negeri Demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang yang berkelainan seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya, dan wanita dibolehkan menikahi sesamanya pula. Karena itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat Demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan — di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus, dan di wagon-wagon kereta api — para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun karena perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja.
Begitu pula sudah dianggap biasa kalau para wanita Barat menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang — persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka — tanpa penutup kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Juga sudah dianggap biasa para wanita di sana pada musim panas berjalan-jalan dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya saja.
Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal telah memenuhi masyarakat Demokrasi yang bejat ini. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Juga banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di mana beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal perilaku seperti ini bahkan tak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.
Sensus sebuah koran Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di Amerika Serikat telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain juga mempublikasikan data, bahwa satu juta orang di Amerika Serikat telah melakukan hubungan seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka. Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin — yang paling mematikan adalah AIDS — dan juga telah menghasilkan banyak anak zina, sampai-sampai sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang Inggris adalah anak zina.
Dalam masyarakat Demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan. Tak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa, jika terdapat puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka! Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain anjing.
Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai Demokrasi, khususnya ide kebebasan individu yang selalu mereka dengung-dengungkan itu. Itu pula salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka bangga-banggakan, mereka gembar-gemborkan, dan mereka sebarluaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya tak lain agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan kebusukan Demokrasi.
Beberapa kerusakan dan keburukan Demokrasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Masyarakat-masyarakat Demokrasi Barat telah bejat sedemikian rupa, hingga terpesosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini akibat adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasanbertingkah laku.
- Penjajahan Barat yang demokratis itu telah nyata-nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang; dengan cara mencuri sumber daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan menistakan rakyat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
- Demokrasi dalam arti yang sebenaranya tidak mungkin diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang baru, sesudah dita'wilkan, tetap tidak sesuai dengan fakta dantidak akan terwujud dalam kenyataan.
- Kedustaan dan kebohongan para penganut Demokrasi telah nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudanpolitis kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas. Nyata pula kedustaan mereka yang mengklaim bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen ditetapkan berdasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat. Begitu pula nyata kedustaan mereka yang mengklaim bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya dari rakyat.
- Cacat dalam sistem Demokrasi telah jelas, khususnya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan para penguasa jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yangakan menjadi golongan mayoritas di dalam dewan perwakilan.
Ya,
meskipun semua keburukan tersebut telah terjadi, namun Barat yang kafir
ternyata telah mampu memasarkan ide-ide Demokrasi yang rusak itu di
negeri-negeri Islam! Adapun bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil
memasarkan ide-ide Demokrasi yang kufur — yang tidak berhubungan sama sekali
dengan hukum-hukum Islam itu — dinegeri-negeri Islam?
Jawabnya adalah bahwa keberhasilan Barat dalam hal ini disebabkan negara-negara Eropa yang kafir dan sangat dengki dan dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu, dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum muslimin. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"...telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi." (Ali 'Imraan 3:118)
Mereka telah memahami bahwa rahasia kekuatan kaum muslimin terletak pada ajaran Islam itu sendiri. Sebab Aqidah Islamiyah adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Maka setelah itu, mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia Islam, dengan jalan melancarkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan kebudayaan (berupa westernisasi). Serangan kebudayaan (westernisasi) ini ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide barat — termasuk Demokrasi — serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke Dunia Islam.
Negara-negara Eropa itu segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum muslimin, dengan maksud agar kaum muslimin menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka, sehingga pada gilirannya negara-negara Eropa itu akan dapat menyimpangkan kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghancurkan negara Islam — yakni negara Khilafah — dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum muslimin selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kafir, sebagai ganti dari Islam. Akhirnya Barat akan dapat menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas mereka. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah berfirman :
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al- Baqarah 2:120)
Serangan misionaris dan kebudayaan ini semakin sengit ketika kemerosotan kaum muslimin di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Yaitu setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa dan terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah, yang dengan cepat menghantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah dari hari ke hari. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan banjirnya berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat yang mengalir deras ke negeri-negeri Islam. Negara-negara Eropa dalam serangan misionaris dan kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri Islam menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek-jelekkan hukum-hukumnya, menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam, membangkitkan kebencian kaum muslimin terhadap Islam, serta menyatakan bahwa Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya, membangga-banggakan ide dan sistem Demokrasi, serta menggembar-gemborkan kehebatan peraturan dan undang-undang Demokrasi itu.
Selain itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan. Yaitu menyebarkan sangkaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa peradaban Barat tidak bertentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat sebenarnya berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang Barat sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum Islam.
Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan Demokrasi, serta menyatakan bahwa Demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka katakan Demokrasi itu berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan musyawarah, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa. Propaganda mereka ini ternyata sangat mempengaruhi kaum muslimin sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat.
Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum muslimin untuk mengambil beberapa peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan setelah negara khilafah hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar peraturan dan undang-undang Barat. Propaganda Barat itu berhasil pula mempe-ngaruhi kaum terpelajar, para politikus, para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayoritas kaum muslimin.
Mengenai kaum terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari mereka yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat — yang telah dijadikan asas pendidikan mereka — tatkala mereka mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat. Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya mereka mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum Islam jika bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa membenci Islam, serta sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam, sebagaimana halnya kelakuan orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat, sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.
Mengenai para politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar mengikhlaskan dirinya untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai penjaga berbagai undang-undang dan peraturan Barat.
Bahkan dengan suka rela mereka mengangkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat. Dengan demikian mereka telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan telah mengumumkan perang terhadap "Islam politik" beserta segenap pengemban dakwahnya yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya negara Khilafah dan kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran ?
Adapun
para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki
kesadaran terhadap Islam dan hakikat/realitas hukum-hukum syara', serta tidak
menyadari pula hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka
juga tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup
Barat dengan aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.
Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin telah merosot sehingga mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya, serta telah salah paham dalam memahami cara penerapan syari'at Islam di tengah masyarakat. Akibatnya, Islam lalu ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syara'. Demikian juga hukum-hukum Islam ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dari syara', atau dasarnya lemah, dengan hujah kaidah syar'iyah rumusan mereka yang sangat keliru : "Tidak diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan zaman."
Akhirnya Islam pun ditakwilkan banyak orang agar sesuai dengan setiap aliran, gagasan, dan ideologi, walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan pandangan hidup Islam. Mereka lalu mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat tidaklah bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam, karena semua itu justru diambil dari peradaban Islam. Mereka katakan pula bahwa sistem pemerintahan Demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalisme juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam, padahal faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem kufur. Mereka berkata pula bahwa ide Demokrasi dan kebebasan individu itu berasal dari Islam, padahal kedua ide itu pada hakekatnya sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka mengenai apa-apa yang boleh diambil kaum muslimin dari bangsa dan umat lain — seperti ilmu kedokteran, perikanan, matematika, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi, dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam — dengan apa-apa yang tidak boleh mereka ambil, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara'.
Hal-hal seperti ini tidak boleh diambil dari bangsa dan umat lain. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan hukum syara' tidak boleh diambil kecuali dari wahyu yang dibawa Rasulullah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunah, serta dalil-dalil syara' yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunah, yaitu Qiyas dan Ijma' Sahabat.
Ketidakjelasan dalam benak mereka inilah yang akhirnya menyebabkan Barat mampu menjajakan peradaban dan pandangan hidup mereka, ide Demokrasi dan Kapitalisme, serta ide kebebasan individu di negeri-negeri Islam.
Sebelum kami menjelaskan pertentangan Demokrasi dengan Islam dan menerangkan hukum syara' dalam pengambilan Demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum syara'.
Penjelasan kami sebagai berikut :
1.
Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang
digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya
adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan terikat dengan
hukum-hukum risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam
masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat
dengan hukum-hukum syara'. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apa-apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 59:7)
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka
perselisihkan,..." (An-Nisaa' 4: 65)
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuura 42:10)
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya)." (An-Nisaa' 4:59)
Bersabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Siapa saja yang melakukan suatu
perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak." (HR. Muslim)
"Siapa
saja yang mengada-adakan — dalam urusan (agama) kami ini — sesuatu yang tidak
berasal darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara' dan terikat dengannya adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya.
Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu perbuatan hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.
Adapun benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah. Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang menunjukkan keharamannya. Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syara' yang telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada (di alam sekitarnya), sesuai nash-nash umum dalam masalah ini yang meliputi semua benda.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi." (Luqman 31:20)
Arti menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk manusia, adalah bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman pula :
"Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al- Baqarah 2:29)
"Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa
yang terdapat di bumi." (Al Baqarah 2:168)
"Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya" (Al-Mulk 67:15)
Demikianlah. Semua ayat yang telah membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan kata lain, hukum bolehnya memanfaatkan semua benda telah ditunjukkan oleh khithab (seruan) Asy-Syari' (Allah Subhanahu wa Ta'ala) yang bersifat umum. Maka jika suatu benda diharamkan, berarti harus ada nash syara' yang mengkhususkan keumuman nash tersebut, serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah
yang bersifat umum. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala..." (Al- Maaidah 5:3)
Dari dalil-dalil tersebut, maka hukum asal terhadap benda-benda yang digunakan manusia, adalah mubah.
2. Hukum-hukum Syari'at Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi, Syari'at Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi orang- orang Islam." (An-Nahl 16:89)
"Tiadalah
Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Quran)." (Al-An'aam 6:38)
"Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan
kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi
kalian." (Al-Maaidah 5: 3)
Walhasil, Syari'at Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Bagaimana pun juga perbuatan itu, Syari'at Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda (amaarah) dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut.
Jadi, secara syar'i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh dalil, atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"untuk menjelaskan segala sesuatu" (An Nahl 16:89).
Juga
berdasarkan nash yang tegas bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menyempurnakan agama Islam ini (Al-Maaidah 5:3).
3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin — dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain — dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang bercorak kekotaan dan terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya.
Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara' yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh benda-benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia.
Juga
berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
"Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan
kepada kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian,
maka laksanakanlah perintah itu. Tapi jika aku perintahkan kalian
mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah
aku ini hanyalah manusia biasa." (HR. Muslim).
Juga
berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang penyerbukan korma
sebagaimana sabdanya : "Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia
kalian." (HR. Muslim)
Juga berdasarkan tindakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tatkala mengutus beberapa shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata perang.
Atas
dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk masalah aqidah atau hukum
syara', boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang
tidak terdapat dalil khusus yang mengharamkannya.
Berdasarkan uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi — yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, Kapitalisme atau Sosialisme, dan semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Maka dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar." (Ar-Rahmaan 55:14)
"(Dialah
Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari sari air yang hina (mani)." (As-Sajdah 32:7)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah." (Ar-Ruum 30: 20)
Sebagaimana dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, kaum muslimin dibolehkan pula mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan mengambil pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis produknya. Dikecualikan di sini pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya. Produk-produk industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik industri berat — seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal api — maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori benda-benda yang mubah, dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan kemubahannya. Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamalkan hukum syara', yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti syari'at Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebab semua itu termasuk mubah, sedang mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
4. Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara', serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pandangan hidup Islam, dan hukum-hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut.
Dalil syar'i untuk ketentuan di atas adalah sebagai berikut :
a.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mengambil
apa saja yang dibawa oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada kita dan
meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apa
saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka
terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka
tinggalkanlah." (Al-Hasyr 49:7)
Kata " (apa saja)" dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah (penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.
b. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari'at Islam) di antara kamu." (An-Nisaa' 4:59)
Mentaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan mengambil hukum-hukum syara' yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Al-Ahzab 33:36)
"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir." (An-Nisaa' 4:59)
d. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan memperingatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan
kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai
penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al-Maaidah 5:48)
e. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari'at Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 4:65)
"Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63)
"Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
(kufur terhadap) thaghut itu." (An-Nisaa' 4:60)
Selain itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda :
"Setiap
perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak." (HR. Muslim)
Nash-nash syara' di atas menunjukkan dengan jelas mengenai kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk kita. Maka kita tidak boleh menghalalkan sesuatu kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang telah diharamkan Allah. Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul untuk kita, kita tidak boleh mengambil-nya, dan apa yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.
Jika kata "(apa saja)" dalam firman-Nya : "Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian." dan, "dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian." dikaitkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63)
Maka, akan nampak sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengakui keimanan dari orang yang berhakim kepada selain Rasul dalam perbuatan-perbuatannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 4:65)
Hal ini menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada apa yang dibawa Rasul saja, apalagi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadanya.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu." (Al- Maaidah 5:49)
Di samping itu, Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum kufur. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan undang- undang kufur), padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisaa'
4:60)
Hal ini menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul adalah suatu kesesatan, sebab tindakan ini berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengingkari thaghut itu.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya. Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan undang-undang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari negara. Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'.
Peradaban
Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity), dan menjadikannya sebagai
tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan demikian, peradaban Barat adalah
peradaban yang hanya mempertimbangkan nilai manfaat saja, serta tidak
memperhitungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik.
Karena itu, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai kerohanian, nilai
akhlak, dan nilai kemanusiaan. Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas
landasan rohani (spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip
halal-haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan, serta
mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan
Allah.
Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridla Allah Subhanahu wa Ta'ala. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum-hukum syara'.
Atas dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem pemerintahan Demokrasi, sistem ekonomi Kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang Demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan Republik, bank-bank ribawi, dan sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.
Sebagaimana tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta segenap ide dan peraturan yang terlahir darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh mengambil peradaban/kultur Komunisme. Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan peradaban Islam secara menyeluruh.
Peradaban Komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada pencipta terhadap alam semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi asal usul segala benda. Seluruh benda di alam semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan evolusi materi.
Sedangkan peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah yang menjadi pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta merupakan makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban Komunisme menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal menggunakan kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut diambil peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi masyarakat Kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat ini diambil peraturan Kapitalisme. Jadi peraturan Komunisme diambil dari evolusi materi. Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia, dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya.
Peradaban Komunisme memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur dalam kehidupan.
Sementara
itu peradaban Islam memandang halal-haram — yakni perintah dan larangan Allah —
sebagai tolok ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang
haram ditinggalkan. Dan bahwasanya hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan
atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan
asas manfaat ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara'
semata. Dari sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara
peradaban Komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak
boleh mengambil peradaban Komunisme beserta segala ide dan peraturan yang
berasal darinya.
Karenanya, kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide penghapusan kepemilikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak boleh mengambil ide mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang Atheistik ini. Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.
Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara Demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.
Sumber kemunculan Demokrasi adalah manusia. Dalam Demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus Demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa Demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan Demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 53: 3-4)
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al- Qadr 97:1)
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 6:57)
"Kemudian
jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)."
(An-Nisaa' 4:59)
"Tentang
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-
Syuuraa 26:10)
Adapun aqidah yang melahirkan ide Demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen — yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama — dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan. Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri. Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide Demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah — yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah — dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam. Mengenai ide yang melandasi Demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok :
Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai
sumber kekuasaan. Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan
melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang
menjalankan kehendaknya sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah
pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat
hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan
kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya
yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Rakyat berhak
menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula
membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun, menurut pertimbangan
mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak
mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi Republik atau sebaliknya,
sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem Republik Presidentil menjadi
Republik Parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di
Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem
pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi Republik dan dari Republik menjadi
kerajaan. Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari Kapitalisme
menjadi Sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya
dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama
kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme),
sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual,
serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut. Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 4:65)
"Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 6:57)
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum
kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 4:60)
Berhakim kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
Dan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah 5:50)
Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman juga :
"Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63).
Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul — sesuatu yang harus diwaspadai itu — adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Rasululah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.
Masih
ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang
menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah
yang menjadi Musyarri', bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa
mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai
dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Dan
siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada Khalifah),
berarti dia telah mati jahiliyah."(HR. Muslim)
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Siapa saja yang
membai'at seorang imam (Khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan
buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat
kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka
penggalllah batang lehernya." (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan: "Kami telah membai'at Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Meskipun
syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat — yang
diwakilkan kepada seorang Khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at
— akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan
penguasa, seperti yang ada dalam sistem Demokrasi. Ketentuan ini didasarkan
pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada Khalifah meskipun dia berbuat
zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat.
Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: 'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah."
Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : '...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata,"Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu ?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang — yang menjadi rakyat seorang penguasa — menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."
Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah "melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya. Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan : "...Maka kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."
Yang mempunyai wewenang memberhentikan Khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya Khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim. Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian Khalifah.
Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.
Oleh karena itu, dalam sistem Demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.
Sedangkan
dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum,
kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan
pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah Subhanahu
wa Ta'ala, bukan umat.
Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan, adalah Khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut.
Jika
Khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak
diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat Khalifah, meskipun
pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang
demikian ini karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah
mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian
Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat
mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati
Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada
mereka : "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan
sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya." Selain itu para
shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang
berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan
rakyat untuk mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan
pendapat mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan
ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :
"Perintah (keputusan) Imam
(Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."
"Perintah
(keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."
"Penguasa
(Khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai
perkembangan problem yang terjadi."
Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, sebagaimana firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam. Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya. Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Yang patut dicatat, bahwa para anggota Majlis Perwakilan Rakyat (parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar — yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis — yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Adapun
masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak
memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan
adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat
memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada.
Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B
(sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan
keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari
atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta
api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka
dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti
ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat. Dalil untuk
ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam ketika Perang Uhud. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar
dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat — khususnya para pemudanya —
berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna
menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar
di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas
shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat
senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi
pasukan Quraisy.
***
Adapun
ide kebebasan individu, sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling
menonjol dalam Demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting
dalam Demokrasi, sebab dengan ide ini tiap-tiap individu akan dapat
melaksanakan dan menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa
tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak
umumnya kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu bagi seluruh rakyat.
Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem Demokrasi, sehingga
baik negara maupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem Demokrasi
kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik,
serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah
satu tugas utama negara. Kebebasan individu yang dibawa Demokrasi tidak dapat
diartikan sebagai pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara
penjajahnya yang telah mengeksploitir dan merampas kekayaan alamnya. Sebabnya
karena ide penjajahan tiada lain adalah salah satu buah dari ide kebebasan
kepemilikan, yang justru dibawa oleh Demokrasi itu sendiri. Demikian pula
kebebasan individu tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat
ini sudah tidak ada lagi.
Yang dimaksud dengan kebebasan individu tiada lain adalah empat macam kebebasan berikut ini :
- Kebebasan beragama.
- Kebebasan berpendapat.
- Kebebasan kepemilikan.
- Kebebasan bertingkah laku.
Keempat
macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, sebab seorang muslim wajib
mengikatkan diri dengan hukum syara' dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim
tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya
kebebasan kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedang perbudakan itu
sendiri sudah lenyap sejak lama. Keempat macam kebebasan tersebut sangat
bertentangan dengan Islam dalam segala aspeknya sebagaimana penjelasan kami
berikutnya.
***
Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya, atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah baru, agama baru, atau berpindah kepada kepercayaan non-agama (Animisme/paganisme). Dia berhak pula melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Jadi, seorang Muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baginya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.
Sedangkan Islam, telah mengharamkan seorang muslim meninggalkan Aqidah Islamiyah atau murtad untuk memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, Komunisme, atau Kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam maka dia akan diminta bertaubat. Jika dia kembali kepada Islam, itulah yang diharapkan. Tapi kalau tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari isterinya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Barang siapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya." (HR. Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Jika yang murtad adalah sekelompok orang, dan mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak terbunuh kembali kepada Islam.
***
Adapun
kebebasan berpendapat dalam sistem Demokrasi, mempunyai arti bahwa setiap
individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun
juga pendapat atau ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan ide atau
pendapat itu dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun,
bagaimana pun juga ide dan pendapatnya itu. Dia berhak pula mengungkapkan ide
atau pendapatnya itu dengan cara apapun, tanpa ada larangan baginya untuk
melakukan semua itu baik dari negara atau pihak lain, selama dia tidak
mengganggu kebebasan orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan,
mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kebebasan.
Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalamnash-nash syara'. Dengan demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan kecuali jika dalil-dalil syar'i telah membolehkannya. Atas dasar itulah, maka seorang muslim berhak mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apapun, selama dalil-dalil syar'i telah membolehkannya. Tapi jika dalil-dalil syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi.
Jadi seorang muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syara' dalam mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya. Islam sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tempat. Dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :
"...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela."
Demikian pula Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa dan mengawasi serta mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah dari Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."
Dirawayatkan pula dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar jumrah aqabah, "Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah ? Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab :"Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."
Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda pula : "Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia menasehati Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya." Tindakan yng demikian ini bukanlah suatu kebebasan berpendapat, melainkan keterikatan dengan hukum-hukum syara', yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan, dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.
***
Adapun
kebebasan kepemilikan — yang telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, yang
selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta
perampokan kekayaan alamnya — mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki
harta (modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun.
Seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui
imperialisme, perampasan dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa
yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta
melalui penimbunan dan mudlarabah (usaha-usaha komanditen/trustee) mengambil
riba, menyembunyikan cacat barang dagangan, berlaku curang dan menipu,
menetapkan harga tinggi secara tidak wajar, mencari uang dengan judi, zina,
homoseksual, mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr,
menyuap, dan atau menempuh cara-cara lainnya.
Sedangkan ajaran Islam, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan harta tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide perampokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang. Di samping itu Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam mengharamkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam usahanya untuk memiliki, mengembangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendak-nya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syara', dan mengharamkannya untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil. Misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap, mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamr, mengeksploitir tubuh wanita, dan cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.
Semua itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Dan setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu, berarti haram dan tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi. Dengan demikian jelaslah bahwa kebebasan kepemilikan harta itu tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.
***
Mengenai
kebebasan bertingkah laku, artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala
macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian,
akhlak, dan kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan
keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan
ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan
membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan. Kebebasan inilah yang telah
menjerumuskan masyarakat Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat
memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang
lebih hina daripada binatang ternak.
Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja — walaupun sangat hina — dengan sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan. Hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan, berarti dia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, ketelanjangan, dan hal-hal lain yang merusak. Untuk masing-masing perbuatan itu Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya. Islam memerintahkan muslim berakhlaq mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.
***
Dari
seluruh penjelasan di atas, nampak dengan sangat jelas bahwa peradaban Barat,
nilai-nilai Barat, pandangan hidup Barat, Demokrasi Barat, dan kebebasan
individu, seluruhnya bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam.
Seluruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karenanya adalah suatu kebodohan dan upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan Demokrasi itu adalah bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan penyesatan kalau dikatakan Demokrasi itu identik dengan sistem syura (permusyawaratan) itu sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi munkar, dan atau mengoreksi tingkah laku penguasa.
Syura, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum syara', yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum muslimin telah diperintahkan untuk mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah
hukum-hukum syara'.
Sedangkan Demokrasi bukanlah hukum-hukum syara' dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan buatan manusia. Demokrasi bukan syura, karena syura artinya adalah memberikan pendapat. Sedangkan Demokrasi, sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan Demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan Demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan Demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya.
Kaum muslim wajib membuang Demokrasi sejauh-jauhnya karena Demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut. Demokrasi adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.
Demikian pula kaum muslimin wajib menerapkan dan melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. "Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisaa' 4: 115)
Komentar
Posting Komentar