BENARKAH HIZBUT TAHRIR LEBIH MEMENTINGKAN KHILAFAH DARIPADA AQIDAH ?
Ada banyak orang dan kelompok yang menganggap bahwa HT merupakan organisasi yang sesat dan aneh. Sebab, menurut mereka, HT lebih mengutamakan masalah Khilafah dan urusan politik dibanding masalah akidah atau tauhid. Mereka mengatakan, “HT dimana-dimana bicara Khilafah, tapi tidak pernah membahas akidah, seakan-akan Khilafah itu lebih penting dari akidah.” Ada sebagian orang yang mengatakan tentang HT: “Usaha dakwah kepada tauhid, dakwah kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah tidaklah diambil dalam manhaj mereka, kecuali bila situasi politik memperbaiki keadaan umat. Mereka berkata "simpanlah dulu usaha-usaha dakwah semacam itu di rak-rak kalian sampai situasi politik kita memperbaikinya". Padahal berjuta-juta orang menunggu pada dakwah al haq ini. Tapi mereka hanyalah memprioritaskan dakwah mereka untuk kembali pada Khilafah. Sampai-sampai mereka menggantungkan semua hal dan tidak ada yang bisa dilakukan sampai Khilafah kembali.”
Benarkah HT lebih mementingkan urusan Khilafah daripada akidah? Mengapa HT selalu bicara Khilafah?
Sebenarnya permasalahan ini tidak perlu dibahas, karena orang awam pun juga tahu bahwa akidah merupakan hal terpenting bagi orang Islam. Ini merupakan suatu yang teramat jelas, seperti jelasnya matahari di siang hari. Tetapi, karena ada beberapa tuduhan yang dilemparkan ke HT dan aktivisnya, meskipun sangat menggelikan dan sangat lucu, sehingga hal tersebut tetap harus dibahas sehingga kita semua tahu bahwa tuduhan yang menggelikan dan lucu itu memang benar-benar menggelikan dan lucu.
*****
Benarkah HT lebih mementingkan urusan Khilafah daripada akidah?
Benarkah HT lebih mementingkan urusan Khilafah daripada akidah?
Jawaban dari pertanyaan tersebut:
Akidah adalah pondasi dari segala hal bagi seorang mukmin, sehingga tidak ada yang lebih penting dari akidah.
Dipahami dengan sangat clear oleh HT, bahwa sebagai pondasi, akidah menduduki posisi terpenting bagi kehidupan seseorang. Bagi umat Islam, akidah Islam merupakan landasan kehidupan; baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara. Akidah Islam juga merupakan sumber kebangkitan umat Islam serta penentu maju dan mundurnya umat ini. Ini terlihat dengan jelas pada kebangkitan bangsa Arab. Bangsa yang sebelumnya tidak mempunyai sejarah, dan tidak pernah diperhitungkan oleh dunia, tiba-tiba muncul ke pentas sejarah sebagai adidaya di dunia, yang disegani oleh kawan dan lawan. Semua ini terjadi setelah bangsa ini memeluk Islam sebagai akidah dan syariat mereka. Demikian sebaliknya, saat ini, setelah akidah Islam itu tidak lagi dijadikan landasan kehidupan, baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara, serta tidak lagi sebagai sumber kebangkitan mereka, maka bangsa ini akhirnya kembali hina dan dinistakan oleh lawan-lawan, kaum kafir imperialis.
Allah SWT. berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid)-nya di atas dasar ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (QS at-Taubah [9]: 109).
Ust. Hafidz Abdur Rahman, MA salah seorang tokoh HTI menyatakan terkait ayat ini, “Konteks ayat ini memang berkaitan dengan bangunan masjid, tetapi bangunan masjid di sini ada yang merupakan produk ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, dan ada yang tidak. Allah menyatakan, bahwa produk yang dihasilkan dengan landasan takwa dan keridhaan-Nya adalah produk yang kokoh, demikian sebaliknya. Ini artinya, jika bangunan fisik saja dilandasi oleh akidah (yang dinyatakan sebagai faktor ketakwaan dan keridhaan-Nya) akan menjadi bangunan yang kokoh, lalu bagaimana dengan bangunan non-fisik yang jauh lebih kompleks ketimbang bangunan fisik? Karena itu, ayat ini juga membuktikan, bahwa AKIDAH Islam ini merupakan pondasi kehidupan, baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara, sekaligus merupakan sumber kebangkitan, yang akan menentukan kualitas umat ini.”
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhany menyatakan di dalam kitab Nidzomul Islam, bab Thariqul Iman, bahwa akidah merupakan pondasi bangunan Islam: “Islam telah menuntaskan problematika pokok ini (pertanyaan tentang: hidup kita ini dari mana, mau kemana setelah kita nanti mati, dan untuk apa hidup ini?) dan dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa.
Ditetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama Islam, tergantung sepenuhnya kepada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Karena itu, Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu AKIDAH. Akidah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khaliq) yang telah meciptakan ketiganya, serta yang telah meciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah SWT.”
Hal yang sama dinyatakan oleh Syeikh Taqiyuddin dalam kitab Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah jilid I, bab Al-Aqidah Al-Islamiyyah. Dinyatakan bahwa aqidah islamiyyah tak lain adalah keimanan kepada Allah dan rukun iman yang lain, dan ini merupakan pondasi dari keislaman seseorang.
“AKIDAH Islam tidak lain adalah keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, iman kepada hari akhir dan imana bahwa qadha dan qadhar dari Allah swt, baik atau buruknya. Arti imana adalah pembenaran yang pasti, yang meyakinkan, yang sesuai dengan fakta dan bersumber dari dalil atau bukti (al iman huwa at tashdiqul jazim, al muthabiqu lil waqi’ ‘an dalilin). Jika sikap pembenaran itu tidak berasala dari dalil atau bukti, maka itu tidak bisa disebut iman. Maka tidak akan pernah ada pembenaran yang meyakinkan, kecuali pasti bersumber dari dalil atau bukti. Jika tidak ada bukti atau dalil, maka tidak akan pernah ada keyakinan (al jazmu), yang ada hanyalah sekedar pembenaran (tashdiq) atas suatu informasi, dan itu tidak dianggap sebagai iman. Dari sini, maka keberadaan dalil atau bukti yang dituntut oleh keimanan haruslah ada, sehingga pembenaran itu dapat meningkat menjadi keimanan. Maka, keberadaan dalil atau bukti merupakan syarat pokok adanya iman, tanpa melihat keberadaan iman tadi benar atau salah”. Berikutnya, beliau menguraikan panjang lebar tentang bukti-bukti dan dalil-dalil atas keimanan seorang mukmin, sehingga keimanan itu mantap, bulat dan tidak mengandung keraguan sedikit pun.
Ketika HT berjuang untuk menegakkan Khilafah, Daulah Islam, maka yang diperjuangkan bukanlah sekedar negara yang bernama Khilafah atau Daulah Islam, tetapi benar-benar negara yang terpancar dari akidah Islam dan sesuai dengan syariah Islam. Hal ini dinyatakan oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhany dalam kitab Ad Daulah Al-Islamiyyah:
“Persoalannya bukanlah mendirikan banyak negara, melainkan membangun negara yang satu di seluruh dunia Islam. Demikian juga persoalannya bukan mendirikan negara sembarang negara. Bukan pula membangun sebuah negara yang diberi nama Islam, tetapi berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Bahkan juga bukan mendirikan sebuah negara yang dinamakan Islam dan berhukum dengan undang-undang Islam, tetapi tidak mengemban Islam sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis). Sekali lagi, persoalannya bukan mendirikan sebuah negara semacam itu, melainkan membangun sebuah negara yang akan dapat melanjutkan kehidupan Islami yang terpancar dari AKIDAH; sekaligus menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat, setelah terlebih dahulu Islam merasuk ke dalam jiwa, mantap di dalam akal, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Ketika aktivis HT berjuang untuk tegaknya Khilafah tak lain dan tak bukan adalah karena dorongan akidah Islam. Aktivis HT insya Allah tidak ada yang berjuang untuk kekayaan (HT tidak memiliki kekayaan duniawi), jabatan (HT tidak memegang pemerintahan manapun, dari RT sampai negara), tetapi mereka berjuang karena didorong oleh akidah mereka, yaitu pemahaman yang tak tergoyahkan bahwa berjuang adalah perintah Allah swt, yang nantinya akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat nanti.
Inilah yang digambarkan HT tentang orang-orang yang berjuang untuk Islam karena dorongan akidah Islam. Dijelaskan di dalam kitab Min Muqowwimat An-Nafsiyyah Al Islamiyyah:
“Di dalam buku ini, kami mempersembahkan kepada kaum Muslim umumnya, dan para pengemban dakwah khususnya, beberapa pilar pengokoh nafsiyah Islamiyah, supaya lisan para pengemban dakwah —yang sedang berjuang untuk menegakkan Khilafah— senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah; hatinya senantiasa dipenuhi dengan ketakwaan kepada Allah; anggota badannya senantiasa bergegas melaksanakan berbagai kebaikan. Membaca al-Quran dan mengamalkannya, serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Suka dan benci karena Allah. Senantisa mengharapkan rahmat Allah, dan takut akan azab-Nya. Bersabar sembari terus melakukan instrospeksi, disertai kepatuhan penuh kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Konsisten dalam memegang kebenaran, bagai gunung yang tinggi menjulang. Bersikap lemah-lembut dan penuh kasih sayang kepada orangorang Mukmin, dan bersikap keras dan terhormat di hadapan orang-orang kafir. Dia tidak terpengaruh oleh caci maki orang yang mencaci maki, semata karena Allah; akhlaknya baik, tutur katanya manis, hujjahnya kuat, dan senantiasa menyerukan kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran. Dia melangkah dan beramal di dunia, sementara kedua matanya senantiasa menatap nun jauh di sana (negeri akhirat), surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
Untuk memastikan bahwa para aktivis dakwah memiliki akidah yang lurus, mantap, memuaskan akal, sesuai fitrah, dan menenramkan hati serta dijauhkan dari keraguan, maka pertama kali yang dikaji adalah akidah, yaitu kitab Nidzomul Islam, bab Thariqul Iman. Hal ini dipahami, karena akidah (iman) adalah pondasi dari segala sesuatu. Akidah meruapakan hal terpenting dalam kehidupan ini. Tanpa akidah tak akan ada Islam. Tanpa akidah tak akan ada dakwah. Tanpa akidah tak akan ada Khilafah.
*****
Mengapa HT selalu bicara Khilafah?
Mengapa HT selalu bicara Khilafah?
Dipahami dengan sejelas-jelasnya, bahwa akidah Islam menuntut kita umat Islam agar menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan. Syariah Islam itu ada yang bisa diterapkan secara individu, seperti sholat puasa, zakat dan lain sebagainya. Syariah Islam ada yang hanya bisa dilakukan secara kelompok (jamaah), seperti amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dilakukan oleh pihak tertentu. Syariah Islam juga ada yang hanya bisa dilakukan oleh negara, seperti pemberian sanksi bagi orang yang tidak sholat, tidak puasa, tidak zakat, juga seperti hukum tentang jihad, hukum tentang hak milik umum, dan lain sebagainya. Negara yang mau menerapkan syariah Islam, tentu bukan sekedar negara. Negara tersebut dalam Islam disebut dengan Khilafah Islamiyyah. Negara inilah yang akan menerapkan Islam secara sempurna terutama syariah yang berada pada level negara. Negara Khilafah inilah yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Negara ini pulalah yang akan mengayomi dan melindungi umat Islam dari berbagai kedazaliman dan pembantaian seperti saat ini.
Jadi, memperjuangkan tegaknya Khilafah berarti berjuang untuk tegaknya syariah dan merupakan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini kebenarannya. Justru, harus dipertanyakan akidah seseorang, jika orang tersebut tidak melaksanakan syariah, atau tidak memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Bisa jadi memang ada something wrong pada akidah mereka. Jangan-jangan akidah yang mereka yakini hanyalah kumpulan filsafat yang berasal dari Yunani atau Persia yang dibalut dengan bungkus Islam.
Dipahami, memang setelah Islam berinteraksi dengan filsafat-filsafat asing, seperti Yunani, Persia, Hindu dan lain-lain, banyak diantara umat ini yang akidahnya tercampur dan terkotori oleh filsafat-filsafat tersebut. Sehingga akidah yang diyakininya kehilangan vitalitas dalam memandu kehidupan, baik individu atau kehidupan keumatan. Sebagai akidah filsafat, akidah tersebut akhirnya hanya mendorong seseorang untuk berdebat tiada akhir, saling klaim tentang kebenaran, memacu seseorang orang untuk saling menyesatkan, tetapi minus tindakan real dalam kehidupan, apalagi tindakan yang sifatnya keumatan.
Mungkin ada yang ingin mengajukan pertanyaan lebih jelas; Mengapa HT tidak menyampaikan akidah dahulu kepada umat? Mengapa HT harus berbicara tentang Khilafah kepada umat, padahal akidah umat masih banyak yang belum lurus?
Jawabannya:
HT selalu menyampaikan akidah terlebih dahulu kepada umat. Setiap orang yang mau berdakwah bersama HT harus lurus akidahnya, yaitu dengan mengkaji bab Thariqul Iman. Karena hanya dengan akidah yang kuat, orang tersebut sanggup memikul beban dakwah yang teramat berat. Hanya dengan akidah yang bulat, orang sanggup mengorbankan hidup dan matinya demi tegaknya kalimat Allah di muka bumi ini.
Jika membangun Khilafah itu diibartakan seperti membangun gedung lantai seratus (tentu saja membangun Khilafah jauh lebih berat dan lebih dahsyat dari membangun gedung. Ini hanya permisalan saja), dan itu membutuhkan usaha dan kerja yang ekstra, maka memang HT akan terus menyampaikan kepada umat bahwa gedung yang akan dibangunnya adalah lantai seratus, sehingga HT berjuang keras dan selalu mengajak semua elemen umat untuk mencapainya. Namun, hal itu tidak bisa dipahami bahwa mengajak membangun gedung lantai seratus, berarti mengabaikan pondasinya. Tidak. Bangunan lantai seratus itu artinya harus ditopang oleh pondasi yang kuat untuk bangunan tersebut. Artinya, mengajak membangun bangunan lantai seratus, itu pasti dimulai dari pondasinya yang kuat, kemudian dilanjutkan setahap demi setahap hingga bangunan itu lengkap.
Sungguh sangat aneh, jika ada orang beranggapan bahwa orang yang mengajak membangun gedung lantai seratus, berarti mengabaikan pondasinya (akidahnya). Pondasi itu include dalam bangunan, bahkan pondasi adalah dasar dari bangunan tersebut.
Kemudian tentang masyarakat masih banyak yang akidahnya belum lurus dan belum siap diajak bicara tentang Khilafah, maka di sinilah pentingnya dakwah. Dakwah itu dilakukan untuk meluruskan yang belum lurus. Dakwah itu untuk memahamkan yang belum paham. Dakwah itu untuk menyiapkan yang belum siap. Dakwah itu untuk mengubah sesuatu yang belum berubah. Itulah dakwah. Dakwah itu bukan dilakukan saat semuanya sudah lurus, sudah paham, sudah baik, sudah berubah dan “suda-sudah” lainnya. Saat Rasulullah berdakwah pertama di kota Makkah, semuanya bermula dari jahiliyyah secara total, kemudian dakwah mengubah semuanya.
Lantas, apakah harus berbicara Khilafah kepada orang awam? Jawabnya: saat bertemu orang, tentu kita berbicara tentang sesuatu yang sesuai dengan orang itu. Kata Sayyidina Ali: “Berbicaralah kepada orang sesuai dengan tingkat intelektualnya”. Jika mereka belum paham Islam, tentu pertama dipahamkan tentang Islam terlebih dahulu. Jika mereka belum sholat, tentu dijelaskan wajibnya sholat. Dan seterusnya... Sampai akhirnya mereka dijelaskan tentang wajibnya Khilafah sebagai pemersatu dan pelaksana syariah, jika memang saatnya tepat.
Saat HT berbicara Khilafah secara umum kepada masyarakat, maka sebenarnya HT sedang membangun kesadaran umum tentang visi besar umat. Memang di sana ada orang yang sama sekali tak paham, ada sedikit paham, ada yang agak paham, ada yang lumayan paham, dan ada yang sudah paham. Namun, jika penyadaran ini dilakukan terus menerus, maka mereka akan sedikit demi sedikit meningkat pemahamannya. Namun jelas, tanpa mengabaikan hal-hal lainnya.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa Rasulullah saat dakwah di kota Makkah hanya bicara tentang akidah, bukan masalah politik? Pernyataan dan pertanyaan ini sebagian benar, tetapi sebagian yang lainnya salah.
Bahwa Rasulullah mendahulukan akidah, maka itu benar adanya. Rasulullah saw berdakwah dengan sungguh-sungguh mengubah pemahaman masyarakat, yaitu dari akidahnya. Yang semula menyembah berhala, dipahamkan bahwa Allah itulah satu-satunya dzat yang layak disembah dan dijadikan tuhan.
Apakah di Makkah, Rasulullah hanya berbicara akidah? Tentu saja tidak. Rasulullah juga berdakwah tentang syariah sebagai konsekuensi dari akidah. Hukum-hukum tentang haramnya riba, haramnya curang dalam jual beli, dan beberapa hukum syariah yang lain itu bukan turun di Madinah, tetapi di Makkah. Sebaliknya, saat Rasulullah di Madinah, beliau justru baru bertemu dengan orang-orang Yahudi dan orang Nashrani Najran, sehingga ayat-ayat yang membahas tentang akidah (tentang kesesatan Yahudi dan Nashrani) justru banyak yang turun di Madinah (seperti surat Al Baqarah, dll). Jadi, sangat keliru jika diklasifikasi, bahwa di Makkah adalah periode dakwah akidah, dan di Madinah adalah periode dakwah syariah.
Apakah Rasulullah saat di Makkah juga bicara tentang politik dan kekuasaan? Jawabnya iya. Rasulullah melakukan thalabun nushrah (meminta agar tokoh suatu negara (suku) masuk Islam dan siap menjadikan Rasulullah sebagai pemimpinnya) itu dilakukan di Makkah. Rasulullah mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, Bani Bakar bin Wail, dll. Bahkan, Bani Amir bin Sha’sha’ah hampir mau negaranya menjadi Daulah Islam. Hanya saja mereka meminta agar sepeninggalnya Rasulullah (setelah wafatnya Rasulullah), kekuasaan menjadi milik anak cucu Bani Amir. Rasulullah menolak dengan keras permintaan Bani Amir ini. Sampai akahirnya, keberhasilan itu datang dari Suku Khazraj, dari Yatsrib. Mereka menerima Islam dan siap negerinya dijadikan sebagai Daulah Islam. Setelah disiapkan sekitar dua tahun dan masyarakatnya siap, Rasulullah hijarha ke Yatsrib dan menjadi pemimpin di sana. Saat itu namanya diubah menjadi Madinah. Jadi, semua dakwah tadi, dilakukan Nabi di Makkah, bukan di Madinah, meskipun hasilnya memang di Madinah.
Jadi, saat HT berbicara tentang Khilafah itu sedang berbicara tentang visi perjuangan. Dengan visi perjuangan yang jelas, membuat dakwah terarah dan terfokus, apapun yang sedang dilakukan dan dihadapi. Kata orang bijak: berjuang itu harus diawali dari akhir. Artinya apapun yang dilakukan manusia, harus dimulai dari menentukan tujuan akhir. Setelah tujuan akhir jelas, baru dimulai langkah pertama, langkah kedua, dan dengan izin Allah akan mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Sebaliknya, orang atau organisasi yang tak jelas tujuannya, langkah akhirnya akan berhenti di langkah pertama.
Wallahu a’lam bish showab.
By. Alustadz KH. Choirul Anam
Komentar
Posting Komentar