JAWABAN UST. ISMAIL YUSANTO TTG PEMILU

>> Jika orang-orang baik seperti Ustadz tidak ikut Pemilu dan tidak memilih, apakah rela jika nanti negeri ini justru dikendalikan oleh orang-orang yang tidak baik atau bahkan non-Muslim?

Tentu kita tidak rela. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus mencegah orang kafir menguasai negeri ini. Karena itu dalam Pemilu kemarin kita menyerukan kepada publik, bila hendak memilih, pilihlah calon wakil rakyat yang benar-benar hendak berjuang untuk tegaknya syariah dan khilafah, menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah, menegakkan amar makruf nahi mungkar dan tidak terlibat dalam proses legislasi yang tidak islami. Bila hendak memilih pemimpin, pilihlah yang Muslim, laki-laki, beriman dan bertakwa, dan yang mau menerapkan syariah secara kaffah dalam sistem Khilafah.

Hanya bila dipimpin oleh orang seperti itu, negeri Muslim ini akan tumbuh menjadi baldah thayyibah wa rabbun ghafur.

Selama ini, justru melalui jalan demokrasilah semua yang dikhawatirkan tadi, yakni naiknya orang yang buruk dan orang kafir ke tampuk kekuasaan bisa terjadi. DKI Jakarta, Kalbar, Kalteng dan sejumlah propinsi lain yang notabene merupakan bagian dari negeri muslim dengan penduduk mayoritas Muslim, tapi dipimpin oleh orang kafir. Jadi jelaslah, bahwa yang menjadi pangkal keburukan adalah demokrasi itu sendiri, bukan golput.

>>> Melalui Pemilu setidaknya keburukan dan hal-hal yang merugikan Islam dan umat kan bisa diminimalisir?

Tergantung apa yang dimaksud dengan keburukan dan hal-hal yang merugikan itu. Seperti tadi sudah saya sebut, semua keburukan yang terjadi saat ini, mulai dari lahirnya peraturan perundangan yang buruk, pemimpin yang buruk, wakil rakyat yang korup dan sebagainya, pangkalnya adalah demokrasi dan penerapan sistem sekular. Oleh karena itu, selama dua hal itu ada, keburukan tidak akan hilang. Sebaik apapun orang yang dipilih dalam sistem itu, hasilnya akan tetap buruk, karena yang membuat buruk adalah sistemnya itu sendiri. Jadi, kalau kita ingin benar-benar menghentikan keburukan, sistem demokrasi dan sistem sekular itu harus dibuang jauh-jauh dari negeri ini.

>> Lalu bagaimana seharusnya sikap yang harus dibangun dalam masalah ini?

Penting untuk ditegaskan di sini, tidak boleh kita memfokuskan apalagi menggantungkan perjuangan melalui Pemilu. Apalagi kenyataannya, Pemilu dalam sistem demokrasi bukanlah jalan yang diberikan kepada kekuatan politik Islam untuk naik ke puncak kekuasaan. Lihatlah apa yang terjadi di Mesir, juga di Aljazair dengan FIS-nya yang menang pemilu secara telak tapi kemudian dianulir, dan bahkan kini FIS, sama seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, menjadi partai terlarang. Keadaan serupa menimpa Hamas di Palestina, yang menang Pemilu tetapi hingga sekarang tidak diakui oleh Barat. Sama seperti Ikhwanul Muslimin, Hamas juga telah ditetapkan sebagai kelompok teroris. Erbakan di Turki, yang naik ke puncak kekuasaan melalu Pemilu, tapi baru dua tahun barjalan dari 4 tahun masa kekuasaannya, digulingkkan oleh militer Turki. Ibarat lomba lari, demokrasi membolehkan kekuatan politik Islam turut serta, tapi wasit telah lebih dulu membuat aturan, parpol Islam tidak boleh menang. Kalau menang akan ditembak.

Karena itu, kita harus memfokuskan perjuangan melalui jalan dakwah yang dilakukan sesuai dengan thariqah dakwah Rasulullah saw., yang dimulai dengan pengkaderan, pembentukan kesadaran umum tentang Islam di tengah masyarakat dan thalabun nushrah. Inilah jalan yang haq, yang dijamin akan menghasilkan kemenangan yang hakiki pula demi tegaknya al-haq: penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.[]
Mengapa kaum muslimin tidak boleh terlibat dalam demokrasi yang merupakan sistem kufur untuk memilih pemimpin?
Salah satu alasan yang sering disampaikan oleh sebagian kalangan yang membolehkan ikut terlibat dalam sistem demokrasi untuk memilih pemimpin adalah perubahan harus dilakukan dari dalam sistem dan tidak mungkin dilakukan dari luar sistem.
Alasan ini, menurut saya adalah alasan yang mengada-ada dan tidak disesuai dengan sikap Nabi saw.  Kalau lah perubahan harus dilakukan dari dalam sistem, maka Nabi telah pernahi diberikan tawaran untuk masuk ke dalam sistem. Beliau dijanjikan harta, kedudukan dan wanita. Tidak tanggung-tanggung, Nabi dijanjikan akan dijadikan pemimpin dan diangkat sebagai raja. Tapia pa jawaban Nabi saw?
Beliau tegas menolak. Berikut kisahnya:
Kisah Nabi Muhammad saw dan Utbah bin Rabiah
Ketika kaum Musyrikin Quraisy melihat perkembangan islam yang semakin pesat, Utbah bin Rabiah meminta izin kepada mereka untuk mencoba berdialog dengan Nabi Muhammad saw.
Dia ingin menanyakan secara pribadi apa yang dimaksud Nabi dengan dakwahnya dan apa tujuan beliau. Apakah beliau ingin harta dan kedudukan? Jelasnya Utbah ingin berdiplomasi dengan Muhammad saw. Usul Utbah kemudian disepakati oleh kaum Musyrikin.
Setelah Utbah tiba di hadapan Nabi, dia duduk dan berkata:
“Hai anak saudaraku, engkau telah tahu kedudukanmu di tengah kita, dan kini engkau membawa di tengah kaummu sesuatu yang besar sekali. Engkau pecah belah persatuan mereka, engkau caci tuhan mereka dan apa yang dilakukan nenek moyang mereka. Karena itu dengarlah apa yang akan kami tawarkan kepada kamu dengan harapan sudilah kamu menerima walaupun hanya sebagian saja.”
Jawab Nabi’ “Katakanlah hai Abal Walid apa yang akan kamu tawarkan”
Utbah bin Rabiah menjawab,
“Hai anak saudaraku, jika kamu berdakwa ini bertujuan ingin cari uang, maka kami akan kumpulkan uang untukmu sampai kamu menjadi orang terkaya di seluruh kota Mekkah. Jika kamu ingin menjadi orang terpandang, kami akan menjadikanmu raja. Jika kamu memang terkena gangguan jin yang kamu tidak dapat menghindarinya kami akan mencarikan seorang dukun dan kami akan bersedia menanggung biayanya sampai kamu sembuh”

Setelah Utbah bin Rabiah selesai dengan ucapannya, Nabi bertanya kepada Utbah,
“Apakah kamu sudah selesai hai Abbal Walid?”
“Ya, aku sudah selesai” Jawab Utbah.
Nabi berkata, “Dengarkanlah apa yang aku ucapkan” kemudian Nabi Muhammad saw membacakan surat “Hamiim Sajdah” di hadapan Utbah.
Utbah bin Rabiah mendengarnya dengan penuh keheranan akan keindahan isi kandungan surat itu sehingga Utbah hanya terdiam saja. Ketika Nabi sampai ayat Sajdah beliau bersujud dan beliau meneruskan bacaannya sampai selesai.
Setelah selesai Nabi Muhammad saw bertanya, “Sudahkah kamu dengar apa yang kubaca tadi wahai Abal Walid?”
Tanpa berkata-kata Utbah bin Rabiah bangkit meninggalkan Nabi dan kembali ke tempat kaumnya yang sedang menunggu hasil kunjungannya dari Muhammad saw.
Ketika mereka melihat wajah Utbah mereka berkata, “Demi Allah kini Utbah berubah wajahnya sebelum dia pergi menemui Muhammad saw”
Sesampainya, Utbah ditanya, “Bagaimanakah hasil perundinganmu hai Abal Walid”
Jawab Utbah dengan polos,
“Demi Allah aku telah mendengarkan dari padanya suatu bacaan yang tidak pernah kudengar seindah itu sebelumnya. Bacaan itu tidak serupa dengan syair atau pun bacaan dukun. Karena itu hai kaumku, sebaiknya kamu biarkan saja, jangan dihalangi sedikitpun kegiatannya”
Kaum musyrikin berkata, “Demi Allah, Muhammad telah menyihirmu sampai kamu terpengaruh dengan bujukannya”
‘Utbah menjawab, “Ini adalah pendapatku yang sebenarnya, kamu bebas untuk berbuat sesukamu”

Saudaraku!!!
Mengubah keadaan kaum muslimin wajib dengan cara yang dicontohkan oleh Nabi saw. Ubahlah sistem yang tidak sesuai dengan system Islam, jangan malah ikut masuk system yang akan melanggengkan system kufur tersebut.

Wallahu A’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH