*ANTARA PUASA DAN KHILAFAH*
*Puasa* dalam bahasa Arab disebut dengan _Ash Shiyaam_ (الصيام) atau _Ash Shaum_ (الصوم). Secara bahasa
_Ash Shiyam_ artinya adalah _al imsaak_ (الإمساك) yaitu menahan diri.
Sedangkan secara istilah, _ash shiyaam_ artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
_Sedangkan *Khilafah* adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia._ Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. _Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih._
*Apa Persamaan Keduanya ?*
_Puasa dan Khilafah_ adalah sama-sama perintah dan syariat Allah untuk manusia. Allah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (TQS.Al-Baqarah : 183)
Dalam tafsirnya Imam Ibnu Katsir memulai penjelasan ayat ini dengan ungkapan
يقول تعالى مخاطبا للمؤمنين من هذه الأمة وآمرا لهم بالصيام
Allah menyeru orang-orang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa….(Tafsir Ibnu Katsir)
*Tentang Khilafah Allah berfirman :*
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ …٣٠
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (TQS. Al-Baqarah : 30)
Imam al-Qurthubi menyatakan:
…هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ.
…Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah.
(Imam al-Qurthubi, _Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân_, (1/264-265)
(Imam al-Qurthubi, _Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân_, (1/264-265)
*Kapan dan Bagaimana Awal Sejarah Keduanya ?*
Perintah *puasa* turun pada bulan sya’ban tahun ke-2 hijriyah. *Puasa Ramadhan* dilaksanakan hanya 29/30 hari di bulan Ramadhan saja.
Bila *Ramadhan* habis maka selesai pulalah kewajiban melaksanakan _shiyam_. *Ramadhan* berulang setiap tahun atas kehendak Allah.
Sedangkan *Khilafah* pertama kali dilaksanakan pada tahun ke-12 hijriyah ketika Rasulullah Saw wafat dan diangkatnya Abu Bakar ra sebagai *Khalifah* (pengganti) beliau Saw.
Dan kewajiban itu kembali dipikul umat ketika _Khilafah Utsmani_ dihapus oleh agen Inggris keturunan Yahudi Mustafa Kemal.
*Dan akan terus menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menegakkannya (sebagaimana sekarang Ramadhan 2016) sampai seorang khalifah diangkat sesuai dengan metode kenabian (Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah)*.
*Siapa yang Diseru untuk Melaksanakannya ?*
*Puasa* : Perintah puasa ditujukan kepada _setiap individu muslim_ yang telah memenuhi syarat.
Sedangkan pelaksanaan dan penegakan *Khilafah* diserukan kepada _kaum muslimin secara umum_, bukan hanya individu tapi masyarakat secara luas.
*Apa Hukum Melaksanakan Keduanya ?*
*Puasa Ramadhan* hukumnya _wajib ‘ain_ bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/perjalanan jauh).
Sedangkan *menegakkan Khilafah* hukumnya _*wajib kifayah*_. Muhammad bin Rasyid Ali Ridho mengatakan :
اتّفق أهل السّنة على أَن نَصْبَ الْخَلِيفَة فرض كِفَايَة
Ahlussunnah sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah adalah fardhu kifayah.
_Apakah perbedaan antara *fardhu ‘ain* dan *fardhu kifayah* ?_
فالواجب العيني : ما طلب الشارع فعله من كل فرد من أفراد المكلفين طلباً جازماً .
Wajib (fardhu) ‘ain adalah perintah yang dituntut oleh Allah (pemilik hukum) untuk setiap orang yang mukallaf (dikenai hukum) dengan sifat harus.
Wajib (fardhu) ‘ain adalah perintah yang dituntut oleh Allah (pemilik hukum) untuk setiap orang yang mukallaf (dikenai hukum) dengan sifat harus.
والواجب الكفائي : هو الذي طلبه الشارع من مجموع المكلفين ، ولم يطلبه من كل واحد منهم، فإن قام العدد الذي يكفي سقط عن الباقين ، وإلا أثموا جميعاً
Sedangkan wajib (fardhu) kifayah adalah perintah Allah terhadap sekelompok mukallaf dan bukan untuk individu
diantara mereka. Jika telah ditunaikan *secara sempurna* oleh sebagian diantara mereka, maka gugurlah kewajiban itu atas sebagian yang lain. _Jika tidak (ditunaikan hingga sempurna) *maka mereka semua berdosa*._
_Dosa karena belum tegaknya Khilafah Islam tetap melekat pada seluruh kaum Muslim_, *kecuali* _bagi mereka yang terlibat dan mendukung perjuangan agung dan mulia ini_.
Adapun mereka yang _tidak melibatkan diri, abai, atau bahkan menghalang-halangi penegakkan Khilafah_ *tidak akan pernah bisa luput dari siksaan Allah SWT kelak pada Hari Kiamat*.
*Apa Tujuan Keduanya ?*
*Puasa* _diperintahkan Allah dengan tujuan agar setiap muslim menjadi individu yang bertaqwa_. _Sedangkan tujuan ditegakkannya *Khilafah* adalah untuk melaksanakan semua aturan Allah menyebarkan risalah Islam di muka bumi sekaligus melanjutkan kehidupan Islam dalam naungan ridha Allah swt_.
*Apa Hukum Meninggalkannya ?*
_Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa Ramadhân, maka dia menjadi kafir._ (Lihat al-Wajîz, hlm. 189)
Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Râjihi -hafizhahullâh- berkata, _“Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa (Ramadhân), maka dia kafir, murtad dari agama Islam._ *Karena* dia telah mengingkari satu kewajiban besar dan satu rukun dari rukun-rukun Islam, serta satu perkara yang diketahui dengan pasti sebagai ajaran Islam._
Barangsiapa mengakui kewajiban puasa Ramadhân dan namun dia berbuka dengan sengaja tanpa udzur, berarti dia telah melakukan dosa besar, dia dihukumi fasik dengan sebab itu, namun tidak dikafirkan menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat Ulama.
Dia wajib berpuasa, dan Penguasa muslim (harus) menghukumnya dengan penjara atau dera atau kedua-duanya.
Sebagian Ulama berkata, _“Jika seseorang berbuka puasa Ramadhân dengan sengaja tanpa udzur, dia menjadi kafir”._ [Ilmâm bi Syai-in min Ahkâmis Shiyâm, hlm. 1]
Rasulullah bersabda : _“……Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”._
_Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?”_
Mereka menjawab, _“Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”._ [Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]
*Meninggalkan Kewajiban Khilafah*
Adapun status orang yang meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah dan mengingkarinya dapat diuraikan sebagai berikut :
*Pertama*, sebagai hukum syariat, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama’ sebagai perkara dharuri (vital) dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama’ seperti Ibn ‘Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah tersebut sebagai _Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah yang bid’ahnya menyebabkan dirinya Kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat._
_Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ Ahlussunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi)._
*Kedua*, _adapun hukum meninggalkan kewajiban untuk menegakkannya, *para ulama’ sepakat bahwa hukumnya haram, dan orang yang meninggalkannya berdosa, dan wajib dikenai sanksi.*_
Namun tetap harus dibedakan, bahwa ada orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut karena menolak bahwa hukum mengadakan atau mendirikannya adalah wajib, dengan orang yang tidak menolak hukum tersebut, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendirikannya.
Bagi orang yang tidak melakukan, *karena menolak bahwa kewajiban tersebut hukumnya tidak wajib*, maka —sebagaimana pandangan ulama’ di atas— orang tersebut selain berdosa, juga masuk dalam kategori ahli bid’ah.
Tetapi, bagi orang yang tidak melakukannya, karena tidak mengetahui tata caranya, dan pada saat yang sama dia mengakui bahwa hukum menegakannya adalah wajib, bisa dipilah menjadi dua: orang awam dan ulama’.
Bagi orang awam, kesalahannya itu bisa di-ma’fu (diampuni), karena tatacara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh para ulama’ sebelumnya, dan untuk itu diperlukan ijtihad baru, sementara dia bukan ulama’ apalagi mujtahid.
Bagi orang awam, masalah bagaimana tatacara melakukan kewajiban tersebut tentu merupakan perkara yang ghair ma’ruf, karena itu mereka mendapatkan ampunan.
*Bagaimana Hubungan Keduanya ?*
*Shiyam atau Puasa* adalah perintah dan syariat Allah untuk semua hambanya selama 1 bulan penuh agar mereka menjadi individu yang bertaqwa. *Ketaqwaan individu* ini akan terealisasi di 11 bulan lainnya.
_Dalam merealisasikannya itulah kita membutuhkan sebuah sistem kehidupan yang diatur dengar Full aturan Allah yaitu *Khilafah*_
*Khilafah* sebagai sebuah sistem dan Negara bagi kaum muslimin di seluruh dunia akan terus menjaga dan melestarikan ketaqwaan individu itu dengan semua perangkat dan struktur Khilafah serta penerapan aturan Allah.
KETAQWAAN tidak bisa direalisasikan kecuali dengan KETAATAN yang TOTALITAS kepada _SEMUA ATURAN_ ALLAH. Dan penerapan semua aturan Allah itu hanya ada dalam Sistem *KHILAFAH* bukan dalam sistem Demokrasi Sekuler.
*Bagaimana Kaitan Keduanya ?*
*Shiyam Ramadhan* dan syariat Allah lain yang terkait dengannya seperti zakat (fitrah dan maal) infaq, shadaqoh, ifthar as-shaimin (memberi makan berbuka puasa) tidak bisa ditegakkan secara sempurna tanpa khilafah.
Misal orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tidak bisa diberi sanksi dan hukuman di negara demokrasi-sekuler.
Orang yang _tidak membayar zakat (fitrah atau maal) padahal ia kaya_ tidak diberi sanksi dan hukuman karena negara demokrasi-sekuler tidak menerapkan aturan dan syariat Allah.
Sehingga bisa jadi seseorang itu berpuasa, umrah dan haji berkali-kali namun juga masih korupsi atau bisnisnya masih terkait riba _atau masih meyakini bahwa Khilafah itu tidak wajib_ dan tidak mau berupaya terikat kepada syariat dan aturan Allah lainnya.
Jadi, kita masih butuh *Khilafah* sebagai panjaga dan pelindung KETAQWAAN _yang telah diraih pada bulan Ramadhan ini_. Karena ketaqwaan individu itu akan subur dengan sistem yang terbaik yang datang dari Allah yaitu _Khilafah_.
Dan kesuksesan seseorang dalam berpuasa adalah dengan merealisasikan *TAQWA* yang diraih itu di sisa umur yang ada _dengan menjadikan aturan Allah sebagai pegangan dan mahkota terindah dalam hidup ini._
*Apa Hukum Meninggalkan salah satu diantara keduanya ?*
Bila seseorang meninggalkan salah satu diantara hukum Allah, maka tentu masing-masing perbuatan akan diganjar sesuai dengan apa yang dilakukannya.
*Meyakini wajibnya terikat kepada semua syariat Allah dengan berusaha semaksimal mungkin merealisasikannya dalam hidup adalah jalan kebahagiaan yang hakiki.*
Dan bukan dengan memilih dan memilah aturan Allah serta meninggalkan syariat Allah yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsunya.
_Janganlah sampai sifat *yahudi* itu menempel dalam jiwa kita atau bahkan kita melakukan *perbuatan yahudi* sebagaimana digambarkan Al-Quran berikut :_
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٨٥
_Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan *kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat*. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat._ (TQS. Al-Baqoroh : 85)
Allah mengabarkan prilaku buruk yahudi di dalam Al-Quran adalah dalam rangka kita sebagai umat Rasulullah *tidak mengulangi lagi perbuatan mereka*, jika tidak ingin terjadi pada diri kita apa yang telah ditimpakan dan diancamkan Allah kepada mereka.
Semoga Puasa kita diterima Allah dan berbuah *TAQWA*, dengan totalitas kerikat kepada *ATURANNYA* dengan lebih serius mengupayakan Tegaknya *KHILAFAH* Amin.
Wallahu A’lam bisshawab
Wajdi Abdul Wahid
Wajdi Abdul Wahid
Komentar
Posting Komentar