"Siapa Pemimpin" Tidak Lebih Penting Dari "Dengan Apa Dia Memimpin"
“Siapa Pemimpin” Tidak Lebih Penting
Dari “Dengan Apa Dia Memimpin”
Posted
by felixsiauw on
Jun 19, 2014
Allah
telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan paripurna.
Mengatur segala hal termasuk di dalamnya adalah urusan kepemimpinan dan sistem
kepemimpinan, tentang siapa yang layak menjadi pemimpin dan dengan apa dia
harus memimpin.
Bila kita
melihat di dalam Kitabullah dan Sunnah, ada beberapa syarat dan panduan bagi
seseorang agar layak menjadi seorang pemimpin. Disingkat menjadi 7 syarat
yaitu, Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan
orang fasik) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara.
Allah
misalnya dengan tegas menggariskan bahwa tidak boleh bagi kaum Muslim memiliki
pemimpin seorang selain Muslim, karena pasti akan terjadi mudharat di dunia.
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali (pemimpin atau peindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS An-Nisaa
[4]: 144)
Dan tentu
banyak lagi dalil lain di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merinci bagaimana
syarat dan keutamaan seorang pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya memberikan
batasan, Islam pun memberikan contoh nyata pemimpin amanah ini semisal Khalifah
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan,
Khalifah Ali bin Abu Thalib dan tentu saja Rasulullah Muhammad saw.
Namun
Islam tidak hanya merinci pemimpin seperti apa yang harus ada diantara kaum
Muslim. Lebih daripada itu, Islam lebih banyak merinci seperti apa seorang
pemimpin harus memimpin, dengan apa dia memimpin. Dengan kata lain, Islam
justru lebih menekankan pentingnya sistem kepemimpinan dibandingkan dengan
pemimpin. Sistem kepemimpinan inilah yang harus berdasar Kitabullah dan Sunnah,
sedangkan pemimpin di dalam Islam adalah orang yang tinggal menjamin
pelaksanaan hukum Allah dan Rasul semata.
Misalnya,
tatkala Allah memerintahkan ketaatan terhadap ulil amri (empunya urusan atau
pemimpin), maka Allah menggandengkan perintah ketaatan tersebut dengan
Kitabullah dan Sunnah sebagai syarat wajib ketaatan pada pemimpin.
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat (QS An-Nisaa [4]: 58)
Muhammad
bin Ka’ab, Za’id bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab berkata “Sesungguhnya ayat
ini diturunkan untuk para umara’ (para pemimpin), yaitu mereka yang berwenang
memutuskan hukum diantara manusia”. Ibnu Katsir menanambahkan dalam tafsirnya,
“Artinya, Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah, menetapkan hukum
diantara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang mencakup perintah-perintah
dan syariat-syariat-Nya yang sempurna, agung dan lengkap”.
Lalu Allah
melanjutkan ayat diatas dengan ayat yang lebih khusus lagi, yaitu perintah
ketaatan pada pemimpin, dan kewajiban pemimpin dalam menerapkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An-Nisaa [4]: 59)
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa “Ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah yang diutus oleh Rasulullah saw pada
sebuah pasukan”.
Imam Ali
menceritkan, bahwa Rasulullah saw mengutus sebuah pasukan dan mengangkat
seorang Anshar sebagai pimpinan pasukan itu. Ketika mereka keluar, maka ia
marah karena suatu hal kepada mereka seraya berkata, “Bukankah Rasulullah telah
memerintahkan kalian untuk taat kepadaku?”. Mereka menjawab, “Betul”. Dia
berkata lagi, “Kumpulkanlah kayu bakar untukku”. Kemudian dia meminta api, lalu
membakarnya, seraya berkata, “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke
dalamnya”. Maka nyaris saja mereka masuk ke dalamnya. Maka seorang pemuda
diantara mereka berkata, “Sesungguhnya (jika kalian lari, maka) kalian lari menuju
Rasulullah saw untuk menghindarkan diri dari api ini. Jangan kalian
terburu-buru hingga kalian bertemu Rasulullah saw. Apabila beliau memerintahkan
kalian untuk masuk ke dalam api itu maka masuklah”. Maka mereka pun kembali
kepada Rasulullah saw mengabarkan hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda,
“Seandainya
kalian masuk ke dalam api iu, pasti kalian tidak akan keluar lagi darinya
selama-lamanya. Ketaatan itu hanyalah (berlaku) pada sesuatu yang ma’ruf”(HR
Ahmad)
Dalam
lafadz lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
“Sama
sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam kebaikan” (HR
Bukhari)
Dalam ayat
ini juga secara jelas disampaikan agar setiap pemimpin dan yang dipimpin
senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pemutus atas semua
pertikaian dan perselisihan. Karena wajib bagi manusia untuk menerapkan
hukum-hukum Allah.
Elok
kiranya kita membaca uraian Ibnu Katsir berkaitan dengan ayat ini.
Jadi
apapun yang ditetapkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta terdapat dalil
tentang kebenarannya (dalam Al-Kitab dan As-Sunnah), maka itulah kebenaran.
Selain kebenaran itu, tidak ada lagi kecuali kesesatan. Karena itu Allah
berfirman “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, maksudnya, hendaklah
kalian kembalikan berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kalian kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Berhukumlah kalian kepada keduanya, pada
berbagai hal yang kalian sengketakan. “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari
Akhir”, artinya, orang yang tidak berhukum pada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam
setiap pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka ia tidak termasuk
orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka tugas
kaum Muslim tidak selesai hanya pada memilih pemimpin, namun juga harus memilih
pemimpin yang menjamin penerapan Kitabullah dan Sunnah sebagai pertanda iman
dan perlindungan terhadap iman.
Mengenai
lebih pentingnya sistem kepemimpinan ini, telah diindikasikan dari hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain, bahwa ia mendengar Rasulullah
saw bersabda dalam khutbah haji Wada’,
“Sekalipun
yang memerintah kalian adalah seorang budak (sementara) ia memimpin kalian
dengan Kitabullah. Maka dengar dan taatlah kepadanya” (HR Muslim)
Maka
“siapa yang memimpin” tidak lebih penting dibanding “dengan apa dia memimpin”.
Karena benar dan salahnya pemimpin tergantung “dengan apa dia memimpin”. Bila
dia memimpin dengan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dia benar dan
mulia. Maka taat kepada pemimpin yang menerapkan Kitabullah ini menjadi suatu
kewajiban, walaupun dia secara pribadi bermaksiat dan berbuat dosa.
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka,
mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin
kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka
mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah,
tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka
mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian
sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas
dari ketaatan kepada mereka” (HR Muslim)
Imam An
Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
Rasulullah
saw memerintahkan untuk menaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat
kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan Kitabullah. Para ulama berkata,
“maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada Kitabullah
Ta’ala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlak mereka”
(Imam Nawawi)
Lalu
bagaimana dalam keadaan seperti saat ini, ketika kita tidak memiliki pemimpin
yang amanah dan menerapkan sistem amanah berupa Kitabullah dan Sunnah? Maka
kewajiban kita adalah mengadakannya, mendidik dan memahamkan pada ummat Muslim
kewajiban yang agung yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya
lalu memilih pemimpin yang paling sedikit mudharatnya, lalu mengabaikan
kewajiban yang mengharuskan pemimpin untuk berhukum pada hukum-hukum Allah.
Disinilah
pentingnya para ulama, dalam mencerahkan ummat Muslim, bahwa tiada kebenaran
dan kebaikan kecuali itu datang dari Allah Swt, dan tiada yang bisa
menyelamatkan dan membangkitkan ummat Islam kecuali penerapan syariat Islam.
Karena kebangkitan itu telah dicontohkan Rasulullah dengan Islam, dan dengan
Islam itu pula semua manusia diselamatkan dan menjadi mulia.
Sehingga
tidak adil, bila kita mendukung satu calon pemimpin dengan mengusung
ke-Islam-an dirinya yang bisa jadi benar bisa jadi tidak, lalu
mengelu-elukannya atas calon pemimpin yang lain yang diposisikan tidak Islami,
tapi kita tidak mewajibkan dia untuk menerapkan syariat Islam. Lebih daripada
itu malah mendukung agenda-agenda yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan
Islam.
Tidak
pantas bagi kita mengusung “pemimpin yang ini Islami, yang disana tidak”,
sementara hukum-hukum Allah tidak pernah dibicarakan dan tidak pernah
disampaikan, lantas dimana letak “Islami”nya?
Mengenai
pendapat “akhaffu adh-dhararain” atau “memilih yang paling rendah mudharatnya
diantara dua mudharat” tentu masih bisa diperdebatkan dalam sebuah diskusi.
Tapi yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa puas hanya dengan
memilih pemimpin, namun santai-santai saja dalam hal “dengan apa pemimpin itu
memimpin”. Yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa sudah melaksakan
kewajibannya hanya dengan memilih, namun merasa ringan saat pemimpin itu
meninggalkan dan melalaikan hukum Allah.
Padahal
mereka mengaku beriman pada Allah dan Hari Akhir.
Karenanya
kami berlepas pada hingar bingar pesta yang bukan pesta kami, namanya pesta
demokrasi yang terjadi tentu bukan berdasarkan aturan Allah. Satu pihak sibuk
mencela dan mencari kesalahan pihak lain dan sibuk mempromosikan dan memuja
calon yang dijagokannya. Mencela hal yang belum ada dan menampakkan aib jadi
trend, begitupula memuji yang berlebihan dan memuja hal yang tidak ada.
Padahal
manusia bisa berubah, apalagi pada masa kini, sangat mudah berubah. Tahun lalu
masih berpasangan tahun depan sudah saling mencela. Kemarin masih gandengan
sekarang sudah musuhan. Tanpa Islam dan komitmen terhadap Kitabullah dan
Sunnah, tidak ada jaminan keselamatan dan kebangkitan.
Tapi tentu
dalil bisa didebat dengan dalil yang lebih baik, namun seburuk-buruk sikap
dalam perbedaan adalah saling mencela. Dan semoga kita semua yang berjuang
mencari ridha Allah —apapun dalil dan caranya— mampu menahan diri dari
mencela sesama. Karena perjuangan seseorang dalam berdakwah bisa jadi berpahala
atau tidak berpahala, tapi mencela sesama Muslim sudah pasti salah dan dosa.
Semoga
Allah segera karuniakan persatuan dan ukhuwah bagi ummat Muslim di seluruh
dunia, dan mengaruniakan mereka pemimpin yang tidak hanya siap mati demi bangsa
dan rakuyat, tapi siap mati dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Akhukum
fil Islam
@felixsiauw
@felixsiauw
Komentar
Posting Komentar