PARTISIPASI DI DALAM SISTEM KUFUR DEMOKRASI



Soal Jawab:

Partisipasi di dalam Sistem Kufur (Jawaban Amir Hizbut Tahrir Terhadap Penggunaan Hujjah Perbuatan Nabi Yusuf as dan Raja Najasyi)

بسم الله الرحمن الرحيم

Jawab Soal

Partisipasi di dalam Sistem Kufur

Pertanyaan:

Dalam pembahasan tentang haramnya partisipasi seorang muslim di dalam sistem kufur yang tidak memutuskan hukum dengan Islam, salah seorang mereka mengatakan bahwa ia mendengar seorang syaikh memperbolehkan partisipasi ini dengan berdalil bahwa Nabi Yusuf as. telah memutuskan hukum dengan syariah raja di Mesir… dan bahwa Najasyi tinggal beberapa tahun memerintah dengan kekufuran, perlu diketahui bahwa Najasyi adalah seorang muslim dan Rasul saw menshalatkannya dengan shalat ghaib…Kemudian maslahat dan maslahat itu merupakan dalil syar’iy yang mengharuskan hal demikian. 

Seorang muslim dan ia ada di pemerintahan (bisa) memelihara kemaslahatan kaum Muslimin lebih dari orang-orang sekuler …

Pertanyaannya, sejauh mana kesahihan istidlal ini? Kemudian apakah secara riil ada syaikh yang mengatakan ini? Kami mohon jawaban atas pertanyaan kami, dan semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Benar, pendapat itu dikatakan oleh beberapa masyayikh penguasa. Dan itu merupakan pendapat yang tidak tegak didukung dengan hujjah. Sebab memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan itu dalil-dalilnya gamblang dan jelas, qath’iy tsubut qath’iy ad-dilalah dan itu bukanlah sesuatu yang diperselisihkan diantara para ulama. Memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan adalah fardhu. Allah SWT berfirman:

﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنْ الْحَقِّ﴾

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.(TQS al-Maidah [5]: 48)

﴿وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”(TQS al-Maidah [5]: 49)

Nash-nash dalam makna ini banyak. Sedangkan tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan dan memutuskan hukum dengan syariat-syariat (hukum) positif buatan manusia maka itu merupakan kekufuran jika penguasa tersebut meyakininya, dan zalim atau fasik jika penguasa itu tidak meyakininya.Ini dinyatakan di dalam firman Allah SWT:

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS al-Maidah [5]: 44)

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(TQS al-Maidah [5]: 45)

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ﴾

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”(TQS al-Maidah [5]: 47)

Sedangkan apa yang dijadikan dalil oleh masyayikh penguasa, maka seperti yang kami katakan, itu tidak bisa menjadi hujjah. Hal itu sebagai berikut:
  1. Istidlal dengan aktivitas Nabi Yusuf as menurut orang yang mengatakan pendapat itu, bahwa Nabi Yusuf as memutuskan hukum pada beberapa kasus dengan syariah raja Mesir, yakni dengan selain apa yang telah Allah turunkan, istidlal ini tidak pada tempatnya. Sebab yang diperintahkan adalah mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan wahyu dari Allah SWT. Dan kita tidak diperintahkan mengikuti syariah Nabi Yusuf as atau para nabi lainnya. Yang demikian itu karena syariah sebelum kita bukan syariah untuk kita. Syariah sebelum kita itu dinasakh dengan Islam. Allah SWT berfirman:
﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا﴾

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”(TQS al-Maidah [5]: 48)

Makna “muhayminan ‘alayhi” yakni menasakh. Jadi Islam menasakh syariat kitab-kitab terdahulu. Karena itu, syariah orang sebelum kita bukan merupakan syariah untuk kita.
Ada beberapa imam ushul mengambil kaedah dalam bentuk lain yakni:
«شَرْعُ مَنْ قبلَنا شرع لنا ما لم يُنْسَخ»

Syariah orang sebelum kita merupakan syariah kita selama tidak dinasakh

Kaedah itu menentukan bahwa istidlal dengan syariat-syariat terdahulu hanya dengan hukum-hukum dari syariat-syariat itu yang tidak dinasakh. Sedangkan hukum-hukum yang syariah kita datang menasakhnya maka hukum-hukum dari syariat-syariat terdahulu itu tidak boleh diambil. Akan tetapi kita dituntut dengan apa yang dinyatakan di dalam syariah kita. Berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan adalah gamblang dalam Islam. Dan itu menasakh semua syariat terdahulu yang menyalahinya. Atas dasar itu, maka seluruh ulama ushul mu’tabar, baik mereka yang mengatakan kaedah pertama “syar’un man qablanâ laysa syar’an lanâ –syariat orang sebelum kita bukan merupakan syariah untuk kita-“ maupun yang mengatakan kaedah kedua “syar’un man qablanâ syar’un lanâ mâ lam yunsakh –syariat orang sebelum kita merupakan syariah kita selama tidak dinasakh-“, semuanya mewajibkan untuk berhukum dengan apa yang telah Alllah turunkan, sebab itu dinyatakan secara tekstual di dalam Islam secara gamblang jelas dan qath’iy tsubut dan ad-dilalah, dan menasakh syariat-syariat terdahulu jika menyalahi syariah Islam.

Kami katakan itu dengan asumsi bahwa Yusuf as. memutuskan pada beberapa kasus dengan syariah raja Mesir. Padahal yang benar bahwa Yusuf as. adalah seorang nabi dan ia ma’shum. Jadi Nabi Yusuf as. tidak memutuskan hukum kecuali dengan apa yang telah Allah turunkan. Nabi Yusuf as. seperti yang difirmankan oleh Allah SWT di dalam surat Yusuf, beliau berdialog dengan dua orang temannya di dalam penjara bahwa menetapkan hukum itu hanya milik Allah SWT:

﴿يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(TQS Yusuf [12]: 39-40)
Jadi Nabi Yusuf as. mengatakan:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ﴾

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (TQS Yusuf [12]: 39-40)

Jadi al-hâkimiyah adalah milik Rabb semesta alam yang disembah oleh seorang Muslim dan ia ambil syariahnya dari-Nya saja dan tidak mengambil pendapat rabb selain-Nya.

Nabi Yusuf as. perbuatannya tidak menyalahi ucapannya, lalu Anda lihat ia menyerukan hak menetapkan hukum milik Allah SWT dan berikutnya ia memutuskan hukum dengan kekufuran. Ucapan ini maknanya adalah menikam kemaksuman nabi Allah dan membuat kedustaan terhadapnya, dan itu merupakan perkara yang besar… Jadi Yusuf as tidak menghukumi dengan kekufuran, akan tetapi ia menghukumi dengan apa yang telah Allah turunkan terhadapnya, membenarkan dan mukhlis kepada Allah SWT. Sebagaimana kami katakan, meski diasumsikan bahwa Allah SWT memperbolehkan Nabi Yusuf as. di dalam syariahnya untuk menghukumi dalam beberapa kasus dengan undang-undang raja Mesir, maka Islam telah menasakh syariah terdahulu dan yang wajib bagi kita setelah risalah Rasul saw adalah berhukum dengan Islam, tidak yang lain.
  1. Sedangkan istidlal dengan sikap Najasyi maka itu juga tidak pada tempatnya. Siapa saja yang mendalami masalah tersebut niscaya menemukan bahwa Najasyi adalah seorang raja sebelum keislamannya. Ia masuk Islam secara rahasia dan wafat setelah keislamannya pada jangka waktu yang pendek, dan ia tidak mampu menerapkan Islam dan tidak berani mendeklarasikan keislamannya. Kaumnya masih kafir… Ini tidak berlaku bagi orang yang sudah Muslim yang dikenal dengan keislamannya di tengah masyarakat. Kami ingin mendetilkan masalah ini:
  2. Kata Najasyi bukanlah nama person penguasa Habsyah, akan tetapi itu adalah gelar setiap orang yang memerintah Habsyah. Ia dinamakan Najasyi seperti penguasa Persia dinamakan Kisra dan penguasa Romawi dinamakan Qaishar… Najasyi yang masuk Islam dan Rasul shalatkan tidak berjalan di atas keislamannya selama bertahun-tahun seperti yang disebutkan di pertanyaan, akan tetapi hanya dalam jangka waktu pendek tidak lebih dari hitungan hari, satu atau dua bulan… Ia bukanlah Najasyi yang kaum Muslimin berhijrah ke Habsyah dari Mekah. Juga bukan Najasyi yang Rasul mengirimkan Amru bin Umayyah adh-Dhamri kepadanya setelah perjanjian Hudaibiyah ketika beliau mengutus para utusan. Akan tetapi ia adalah Najasyi lain yang menjabat pemerintahan setelah Najasyi yang Rasul mengirim kepadanya surat bersama dengan para penguasa lainnya. Riwayat-riwayat dalam topik ini ada di dalam al-Bukhari dan Muslim. Orang telah beranggapan bahwa Najasyi yang masuk Islam itu adalah Najasyi Habsyah yang kaum Muslimin berhijrah dari Mekah, atau ia adalah Najasyi yang Rasul saw mengutus Amru bin Umayyah ad-Dhamri setelah Hudaibiyah. Riwayat-riwayat dalam hal itu bertentangan dengan apa yang ada di dalam al-Bukhari dan Muslim dan dibantah. Sedangkan dalil-dalil atas apa yang kami sebutkan barusan, diantaranya:
Imam Muslim telah mengeluarkan dari Qatadah dari Anas:

(«أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى، وَإِلَى قَيْصَرَ، وَإِلَى النَّجَاشِيِّ، وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى»، وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم.

“Bahwa Nabi saw menulis surat kepada Kisra, kepada Qaishar, kepada Najasyi dan kepada setiap penguasa diktator, beliau menyeru mereka kepada Allah SWT.”(Anas berkata) bukan Najasyi yang Nabi saw shalatkan.” Selesai.

Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Qatadah dari Anas:

(«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ قَبْلَ مَوْتِهِ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ» وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. “هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ”

“Bahwa Rasulullah saw menulis sebelum wafat beliau, kepada Kisra, kepada Qaishar, kepada Najasyi dan kepada setiap diktator, beliau menyeru mereka kepada Allah.”(Anas berkata) dan bukan Najasyi yang Rasul shalatkan. “Ini adalah hadits hasan shahih.” Selesai.

Jelas dari hadits Muslim dan at-Tirmidzi pernyataan (nash) bahwa Najasyi yang masuk Islam dan dishalatkan oleh Rasul saw bukan Najasyi yang dikirimi surat oleh Rasul saw bersamaan dengan para penguasa lainnya.
  1. Rasul saw mengirimkan surat kepada para penguasa setelah beliau kembali dari Hudaibiyah, yakni setelah Dzulqa’dah tahun keenam hijrah. Dan Najasyi yang masuk Islam itu bukanlah Najasyi yang dikirimi surat oleh Rasul saw bersamaan dengan para penguasa lainnya, akan tetapi Najasyi sesudahnya. Jadi Najasyi yang masuk Islam itu menjabat pemerintahan sekitar tahun ketujuh hijrah.
  2. Dan karena Abu Hurairah bersama dengan Rasul saw dalam shalat beliau terhadap Najasyi yang telah masuk Islam, seperti yang dinyatakan di dalam hadits-hadits shalat atas Najasyi, dan diketahui luas bahwa Abu Hurairah setelah masuk Islam ia pergi ke Madinah bersama delegasi Daws pada sekitar 70 atau 80 orang dan diantara mereka ada Abu Hurairah, sementara Rasul saw di Khaybar, maka mereka berjalan kepada Beliau dan bertemu dengan beliau di Khaybar. Rasul saw membagikan untuk mereka harta dari ghanimah Khaybar. Khaybar terjadi pada tahun ketujuh hijrah. Ini artinya bahwa Najasyi yang telah masuk Islam telah menerima tampuk pemerintahan Habsyah pada sekitar tahun ketujuh hijrah dan wafat pada tahun ketujuh hijrah itu juga, artinya tidak bertahan kecuali hanya hitungan hari atau satu dua bulan saja…
  3. Orang-orang Habsyah waktu itu adalah kafir menganut agama Nashrani. Penguasa mereka yaitu Najasyi masuk Islam secara rahasia tanpa mereka tahu, bahkan tanpa diketahui seorang pun hingga Rasul saw sendiri, seperti yang bisa dipahami dari hadits-hadits shalatnya Rasul terhadap jenazah Najasyi. Beliau mengetahui wafatnya Najasyi dengan wahyu. Mafhum hadits-hadits tentang shalat terhadap Najasyi menunjukkan hal itu:
-                      Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra:

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي اليَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى المُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا»

Rasulullah saw berduka atas Najasyi pada hari dimana najasyi wafat, beliau keluar ke mushalla, lalu beliau membariskan mereka dalam shaf dan bertakbir empat kali takbir.”

Dalam riwayat lain:

«نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الحَبَشَةِ، يَوْمَ الَّذِي مَاتَ فِيهِ»، فَقَالَ: «اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ»

“Rasul berbela sungkawa kepada kami atas wafatnya Najasyi penguasa Habsyah pada hari dimana ia wafat.”Beliau bersabda: “mohonkan ampun untuk saudara kalian.”

-                      Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: “Nabi saw bersabda:

«قَدْ تُوُفِّيَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الحَبَشِ، فَهَلُمَّ، فَصَلُّوا عَلَيْهِ»، قَالَ: فَصَفَفْنَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَنَحْنُ مَعَهُ صُفُوفٌ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: عَنْ جَابِرٍ «كُنْتُ فِي الصَّفِّ الثَّانِي»

“Hari ini telah wafat seorang yang shalih dari Habsyah, maka berbelasungkawalah dan shalatlah kalian atasnya.” Maka kami berbaris dalam shaf dan Nabi saw shalat atasnya dan kami bersama beliau beberapa shaf.”Abu az-Zubair berkata: dari Jabir: “aku ada di shaf kedua.”

Dalam riwayat lain dari Jabir ra, ia berkata bahwa Nabi saw ketika Najasyi meninggal, beliau bersabda:

«مَاتَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَى أَخِيكُمْ أَصْحَمَةَ»

‘Hari ini seorang yang shalih wafat. Maka berdirilah dan shalatlah atas saudara kalian Ashhamah.”

Mafhum kata yang ada di dalam hadits:

«نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الحَبَشَةِ، يَوْمَ الَّذِي مَاتَ فِيهِ»، فَقَالَ: «اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ»

“Rasul berbelasungkawa kepada kami atas wafatnya Najasyi penguasa Habsyah pada hari dimana ia wafat.”Beliau bersabda: “mohonkan ampun untuk saudara kalian.”

«مَاتَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَى أَخِيكُمْ أَصْحَمَةَ»

“Hari ini seorang yang shalih wafat. Maka berdirilah dan shalatlah atas saudara kalian Ashhamah.”

Jadi belasungkawa itu pada hari dia meninggal, sementara Najasyi di Habsyah dan Rasul saw di Madinah. Maka itu artinya berita tersebut datang melalui wahyu. Demikian juga, Rasul saw bersabda:

«اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ»
 “Mohonkan ampun untuk saudara kalian.”

«مَاتَ اليَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَى أَخِيكُمْ أَصْحَمَةَ»

‘Hari ini seorang yang shalih wafat. Maka berdirilah dan shalatlah atas saudara kalian Ashhamah.”
Itu artinya, mereka tidak tahu kematiannya…

  1. Atas dasar itu, kondisi Najasyi tidak berlaku di sini. Ia masuk Islam secara rahasia sementara kaumnya masih kafir. Dan ia meninggal setelah jangka waktu pendek, dan tidak seorangpun tahu keislamannya kecuali Rasul saw dengan wahyu… Jadi kondisi ini tidak berlaku (tidak pas) terhadap partisipasi seorang Muslim yang dikenal keislamannya di dalam pemerintahan dengan selain apa yang telah Allah turunkan. Mereka yang mengatakan bahwa itu berlaku (pas), mereka tidak punya dalil, dan tidak punya syubhat dalil.
  2. Sedangkan istidlal dengan kemaslahatan dan bahwa itu adalah dalil, maka itu juga tidak pada tempatnya. Kami paparkan sebagai berikut:
Ada diantara para ulama ushul fikih, ulama yang mengatakan maslahat sebagai dalil. Akan tetapi mereka mensyaratkan maslahat itu tidak ada di dalam syara’ perintah atasnya atau larangan darinya. Sedangkan jika tentangnya dinyatakan perintah atau larangan, maka tidak diambil dengan hukum maslahat akan tetapi diambil dengan apa yang dinyatakan di dalam syara’. Tidak ada seorang seorangpun ulama ushul mu’tabar yang menelantarkan nash-nash yang dibawa oleh wahyu dengan hujjah maslahat menuntut hal itu.

Riba adalah haram. Syara’ mengharamkannya dengan nash-nash yang dibawa oleh wahyu. Maka jika maslahat menuntutnya, syara’ menolak dan mengharamkannya. Jika beberapa orang dari mereka yang disebut ulama memfatwakannya maka fatwa mereka tertolak dan berbenturan dengan syara’ yang dibawa oleh wahyu.

Masalah berhukum dengan selain yang Allah turunkan adalah haram secara qath’iy semisal keharaman riba, sebab nash-nash dari wahyu datang dengan keharaman itu. Jadi tidak ada ruang untuk berhukum dengan maslahat. Maka di mana ada syariah di situ ada maslahat dan bukan sebaliknya.

Kami dalam pembahasan kami membantah ulama ushul yang menggampangkan dan mengatakan mashalih mursalah. Bahkan hingga madzhab mereka sendiri, tidak ada tempat untuk beristidlal dengan maslahat. Padahal yang benar adalah bahwa mashalih mursalah itu tidak ada. Mashalih mursalah itu ada dalam pandangan orang-orang yang mengatakan bahwa syara’ membiarkan beberapa perkara tanpa memberi perintah atau larangan atasnya. Mereka berkata bahwa mereka menggunakan maslahat dalam area ini. Yang benar bahwa syara’ tidak membiarkan beberapa perkara tanpa menjelaskan hukumnya, sebaliknya syara’ malah menjelaskan hukum segala hal:

﴿تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾

“Untuk menjelaskan segala sesuatu…” (TQS an-Nahl [16]: 89)
﴿مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ﴾

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.”(TQS al-An’am [6]: 38)

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”(TQS al-Maidah [5]: 3)

  1. Ringkasnya adalah bahwa berpartisipasi di dalam sistem kufur dan berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah kekufuran, jika penguasa yang menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan meyakini hukum ini. Dan dia adalah zalim dan fasik jika penguasa yang menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu tidak meyakini hukum ini. Sebagaimana yang dinyatakan di ayat yang mulia:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS al-Maidah [5]: 44)

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(TQS al-Maidah [5]: 45)

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ﴾

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”(TQS al-Maidah [5]: 47)

Dan mereka yang mengatakan bahwa boleh untuk seorang Muslim berpartisipasi di dalam pemerintahan (berhukum) dengan selain apa yang telah Allah turunkan, mereka tidak memiliki dalil dan tidak pula sekedar syubhat dalil, sebab nash-nash melarang hal itu dengan qath’iy tsubut dan qath’iy ad-dilalah.

Saya berharap, jawaban telah menjadi jelas, mencukupi dan memadai, dengan izin Allah SWT.


04 rajab 1435 H
03 Mei 2014 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_35685

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita Dalam Walimah

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

HTI: ISIS TAK PENUHI KRITERIA SYARIAT DIRIKAN KHILAFAH